top of page

Jujur atau Bohong? Saat Budaya dan Power Distance Memengaruhi Pilihan Moral


Judul Artikel: Power Distance and Dishonest Behavior 

Penulis: Qian Cao, Jianbiao Li, Xiaofei Niu, Chengkang Zhu 

Tahun Terbit: 2025

Jurnal: Journal of Economic Behavior and Organization Diulas oleh Abyana Zahida 

Berlaku Curang atau Jaga Integritas? Studi Kasus Singkat

Misalkan ada dua mahasiswa, sebut saja A dan B yang sedang mengerjakan ujian ekonomi. Tidak ada pengawas, tidak ada CCTV, dan tidak ada yang bisa tahu jika mereka menyontek. Kesempatannya ada, tapi apakah mereka akan memanfaatkannya?

Pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi jawabannya mungkin jauh lebih kompleks dari sekadar moral pribadi. Bisa jadi A menyontek, sementara B tidak. Lalu, mengapa? Apakah karena A kurang bermoral? Atau karena ia berasal dari budaya yang melihat penyalahgunaan peluang sebagai sesuatu yang wajar, selama tidak ketahuan?

Studi yang akan dibahas dalam ulasan ini mengajak kita melihat lebih dalam: bahwa keputusan untuk berbohong atau bersikap jujur bisa jadi bukan hanya soal hati nurani, tapi juga soal budaya— khususnya seberapa besar seseorang menerima ketimpangan kekuasaan (power distance) dalam lingkungannya.

Power Distance dan Bagaimana Pengaruhnya terhadap Pengambilan Keputusan 

Power distance (PD), atau jarak kekuasaan, adalah konsep budaya yang diperkenalkan oleh Hofstede (1984) untuk menggambarkan seberapa jauh anggota masyarakat yang kurang berkuasa menerima bahwa kekuasaan memang terdistribusi secara tidak merata (Hofstede, 2001). Uniknya, penerimaan terhadap ketimpangan ini bukan hanya datang dari mereka yang berkuasa, tetapi juga dari mereka yang tidak memiliki kuasa. Artinya, ketimpangan itu sering kali dianggap wajar oleh seluruh lapisan masyarakat.

PD tidak hanya berlaku di tingkat negara, tetapi juga pada tingkat individu. Seorang individu dengan PD tinggi cenderung menganggap bahwa ketimpangan kekuasaan adalah sesuatu yang alami dan bahkan perlu untuk menjaga tatanan sosial. Sebaliknya, orang dengan PD rendah melihat ketimpangan sebagai sesuatu yang perlu diminimalkan. Dalam budaya PD tinggi, struktur sosial dianggap sakral—setiap orang harus tahu “tempatnya” (Hofstede, 1984).

Namun, penting untuk dipahami bahwa PD bukan tentang seberapa besar kekuasaan yang dimiliki seseorang, melainkan tentang seberapa jauh seseorang menerima dan mengharapkan bahwa kekuasaan tidak dibagi rata, terlepas dari posisi mereka di dalam hierarki tersebut.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa individu dengan PD rendah cenderung lebih peka terhadap etika dan keadilan (Blodgett et al., 2001), serta lebih dermawan (Winterich dan Zhang, 2012). Sebaliknya, individu dengan PD tinggi memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mentoleransi ketidakadilan atau bahkan berperilaku tidak etis. Berdasarkan temuan-temuan ini, peneliti dalam studi ini mengajukan hipotesis bahwa semakin tinggi tingkat PD seseorang, semakin besar kemungkinan mereka terlibat dalam perilaku tidak jujur.

Lalu, Bagaimana Melihat Korelasi antara Tingkat PD dan Perilaku Tidak Jujur Seseorang? 

Peneliti melakukan empat eksperimen untuk melihat korelasi dan hubungan sebab-akibat antara tingkat PD dan kecenderungan seseorang berbuat curang. Eksperimen yang dilakukan pertama bertujuan untuk melihat hubungan antara tingkat PD dan perilaku tidak jujur. 

Untuk melakukan eksperimen ini, peneliti merekrut 2.000 responden dari lima kota di China yang sebagian besar direkrut melalui iklan di platform WeChat untuk melakukan eksperimen secara daring. Sampel yang diambil memiliki rentang usia 18 sampai 60 tahun, dengan mayoritas berusia 30 sampai 40 tahun (sekitar 45,37% responden). 

Sebelum eksperimen dilakukan, para responden diberikan pertanyaan untuk mengukur tingkat PD mereka secara individu, melalui pertanyaan seperti, “Mereka yang berada di posisi tinggi tidak perlu berkonsultasi dengan mereka yang posisinya lebih rendah dalam mengambil keputusan” dan “Mereka yang berada di posisi tinggi tidak perlu terlalu sering meminta pendapat mereka yang posisinya lebih rendah”. Responden kemudian akan menunjukkan persetujuan mereka melalui skala Likert (1= sangat tidak setuju dan 7=sangat setuju). 

Nah, selanjutnya eksperimen dimulai dengan memancing perilaku tidak jujur melalui sender-receiver game. Secara acak, para responden akan dipasangkan dengan 1.000 responden menjadi pengirim pesan (sender) dan 1.000 responden lainnya menjadi penerima pesan (receiver). Pesan yang dikirimkan dalam permainan ini adalah hasil lemparan dadu digital yang telah dilihat oleh si pengirim. 

Dalam permainan ini, hanya pengirim yang mengetahui hasil lemparan dadu sebenarnya, sementara penerima hanya mendapatkan satu-satunya petunjuk berupa pesan dari pengirim: “Hasil lemparan dadu adalah i”, dengan i bernilai antara 1 hingga 6. Setelah menerima pesan ini, penerima harus menebak angka mana yang sebenarnya muncul—tanpa bisa memverifikasi kebenarannya. Pilihan penerima akan menentukan besar insentif yang diterima oleh kedua belah pihak.

Namun, hanya pengirim yang mengetahui aturan lengkap pembayaran:

  • Jika penerima menebak dengan benar, kedua pemain mendapatkan ¥30.

  • Jika penerima salah menebak, pengirim akan mendapat ¥35, sementara penerima hanya mendapat ¥25.

Kondisi ini menciptakan konflik kepentingan yang halus namun nyata. Pengirim memiliki kesempatan untuk berbohong demi keuntungan pribadi, dengan risiko mengecoh pasangannya. Untuk menilai apakah kebohongan yang dilakukan bersifat oportunistik atau disertai strategi, pengirim juga diminta memperkirakan apakah penerima akan percaya pada pesan yang dikirim, meskipun estimasi ini tidak memengaruhi insentif secara langsung.

Setelah permainan usai, peneliti juga mengukur aspek psikologis lain dari peserta, yaitu sense of power (rasa memiliki kendali atau pengaruh), serta inequality aversion (ketidaksukaan terhadap ketimpangan). Di sini, peneliti ingin melihat apakah sensitivitas terhadap ketidakadilan juga berkaitan dengan tingkat PD dan perilaku tidak jujur.

Sebelum menganalisis lebih lanjut, peneliti ingin melihat apakah kebohongan yang dilakukan adalah kebohongan yang “cerdik” atau disebut juga sophisticated deception (Sutter, 2009). Kebohongan jenis ini terjadi saat pengirim mempertimbangkan bahwa penerima mungkin tidak akan langsung percaya pada pesannya sehingga ia perlu menghitung ulang mana yang lebih menguntungkan: berkata jujur atau tetap berbohong. Peneliti menggunakan model matematika untuk menghitung nilai keuntungan yang diharapkan dari dua pilihan tersebut: jujur (VT) dan bohong (VD). Berdasarkan perhitungan itu, seseorang akan memilih untuk tetap jujur jika ia merasa kemungkinan pesannya tidak dipercaya lebih dari 83%. Namun, dalam eksperimen ini, rata-rata peserta hanya memperkirakan kemungkinan itu sebesar 19,29%, dan angka tertingginya hanya 40% yang jauh di bawah ambang 83%. Maka, bisa disimpulkan bahwa kebohongan dalam permainan ini tidak dilakukan secara “cerdik”, tetapi lebih kepada asumsi bahwa mereka bisa berbohong tanpa dicurigai.

Tabel 1. Hubungan antara tingkat PD individu dengan perilaku tidak jujur pada eksperimen 1


Tabel 1 menunjukkan hasil eksperimen pada percobaan pertama. Ditemukan bahwa terdapat korelasi positif antara keputusan untuk berbohong dan tingkat PD individu yang signifikan secara statistik. Pada kolom (2) dimasukkan kontrol berupa inequality aversion dan sense of power serta terdapat kontrol demografi yang dimasukkan pada kolom (3). Walaupun terdapat sedikit perbedaan pada koefisien, hubungan yang ditemukan tetap sama: semakin tinggi keyakinan seseorang terhadap ketimpangan kekuasaan, semakin besar kemungkinan dia berbohong.

Hubungan antara PD dan Ketidakjujuran di Tingkat Negara

Melihat hasil eksperimen pertama di mana ditemukan korelasi positif antara tingkat PD dan ketidakjujuran, peneliti menggunakan studi yang telah dilakukan sebelumnya untuk mempelajari hubungan tersebut pada tingkat negara. 

  1. Gächter & Schulz (2016):Studi ini melibatkan lebih dari 2.500 mahasiswa dari 23 negara dan menggunakan eksperimen lempar dadu. Peserta diminta melaporkan hasil lemparan pertama dari dua kali percobaan, meskipun hanya mereka yang tahu hasil aslinya. Tingkat ketidakjujuran diukur dari banyaknya klaim nilai tinggi (angka 3–5) yang dilaporkan. Hasilnya, negara dengan skor PD yang tinggi cenderung memiliki tingkat pelaporan tinggi yang juga lebih besar, yang berarti lebih tidak jujur secara agregat, hubungan ini ditunjukkan pada gambar di bawah ini. 


Gambar 1. Hubungan antara tingkat PD dan pelaporan hasil lempar dadu dengan nilai tinggi

  1. Cohn et al. (2019):Studi ini dilakukan di 355 kota dari 40 negara, menggunakan eksperimen dompet hilang. Beberapa dompet sengaja "hilang" dan berisi uang, sebagian lainnya tidak. Tingkat kejujuran diukur dari seberapa sering dompet dikembalikan. Hasilnya, negara dengan skor PD tinggi menunjukkan tingkat pengembalian dompet yang lebih rendah, yang menandakan tingkat ketidakjujuran yang lebih tinggi.

Dengan menggunakan data dari dua studi tersebut serta skor PD dari Hofstede (2001), peneliti menemukan bahwa semakin tinggi skor PD suatu negara, semakin tinggi pula kecenderungan warganya untuk berperilaku tidak jujur, baik dalam konteks eksperimen maupun dunia nyata. Korelasi ini terlihat kuat dan signifikan dalam dua jenis pengukuran yang berbeda: klaim angka tinggi dalam eksperimen dadu dan rendahnya tingkat pengembalian dompet.

“Mengaktifkan” Kecenderungan PD pada Eksperimen dengan Mahasiswa

Dalam eksperimen ini, peneliti ingin mengetahui apakah orientasi terhadap power distance (PD) bisa “diaktifkan” secara sementara dan apakah hal itu memengaruhi kecenderungan seseorang untuk berperilaku tidak jujur. Hal ini dilakukan untuk menemukan hubungan sebab-akibat antara dua hal tersebut. 

Sebanyak 195 mahasiswa dari Nanjing University of Finance & Economics berpartisipasi, sebelumnya mereka telah dibagi secara acak ke dalam dua kelompok: high PD dan low PD. Untuk mengaktifkan orientasi PD, peneliti menggunakan metode sentence completion priming, di mana peserta diminta menyusun kalimat dari kata-kata acak.

  • Kelompok high PD menyusun kalimat yang menekankan pentingnya ketimpangan kekuasaan untuk menjaga keteraturan sosial (misalnya: “Perbedaan kekuasaan penting untuk menjaga ketertiban”).

  • Kelompok low PD menyusun kalimat yang menekankan nilai kesetaraan sosial (misalnya: “Kesetaraan dalam masyarakat itu penting”).

Setelah priming, peserta mengerjakan tugas lempar dadu selama 10 putaran. Dalam setiap putaran, mereka melempar dadu secara privat dan melaporkan hasilnya. Setengah dari angka yang pada dadu akan menghasilkan uang tunai ¥5, dan sisanya tidak memberikan apa-apa. Karena tidak ada yang bisa mengawasi kejujuran peserta, ini membuka peluang untuk berbohong demi keuntungan pribadi.

Untuk menjaga privasi, setiap peserta melempar dadu ke dalam kotak tertutup dan melaporkan hasil serta apakah ia mendapat imbalan atau tidak. Peneliti tidak bisa mengetahui siapa yang berbohong, tapi bisa mengukur kecenderungan ketidakjujuran di tingkat kelompok dengan membandingkan distribusi laporan peserta terhadap distribusi acak yang diharapkan jika semua orang jujur.

Tabel 2. Hubungan antara priming tingkat PD individu dengan perilaku tidak jujur pada eksperimen 2


Hasil menunjukkan bahwa kelompok yang diaktifkan dengan nilai-nilai high PD lebih banyak melaporkan angka yang menguntungkan (ditemukan korelasi positif di baris pertama), dibandingkan kelompok low PD. Ini menunjukkan bahwa paparan singkat terhadap norma sosial yang hierarkis dapat langsung mendorong perilaku tidak jujur.

Tidak adanya perbedaan signifikan antara kedua kelompok dalam hal demografi, memastikan bahwa efek yang diamati memang berasal dari perlakuan priming PD, bukan dari karakteristik pribadi peserta.

Lalu, Apakah Ada Perbedaan pada Orang Dewasa Lainnya?

Jika eksperimen sebelumnya dilakukan pada mahasiswa, eksperimen ketiga memperluas cakupan partisipan ke masyarakat umum. Peneliti merekrut 181 orang dewasa non-mahasiswa dari Nanjing, Tiongkok, yang bekerja di berbagai sektor seperti perbankan, manufaktur, dan teknologi informasi. Usia peserta berkisar antara 23 hingga 43 tahun, dengan rata-rata usia 27 tahun.Sama seperti pada eksperimen sebelumnya, peserta dibagi secara acak ke dalam dua kelompok: high PD dan low PD. Untuk mengaktifkan orientasi PD, peneliti kembali menggunakan metode sentence completion priming. Kali ini, untuk mengukur efektivitas priming, peserta juga diminta mengisi skala Power Distance 8-item milik Hofstede, dan hasilnya menunjukkan perbedaan yang konsisten antara kedua kelompok. Artinya, priming berhasil memengaruhi cara pandang peserta terhadap ketimpangan kekuasaan.

Untuk mengukur perilaku tidak jujur, eksperimen ini menggunakan coin-tossing task (melempar koin) yang lebih praktis untuk eksperimen daring. Peserta diminta melempar koin sebanyak 10 kali, lalu melaporkan hasilnya. Setiap kali peserta melaporkan hasil “yang menguntungkan” (yang sebelumnya ditentukan apakah heads atau tails), mereka berpotensi mendapatkan sekitar ¥10. Karena lemparan dilakukan secara pribadi, peserta memiliki kesempatan untuk berbohong demi mendapatkan lebih banyak uang.


Tabel 3. Hubungan antara priming tingkat PD individu dengan perilaku tidak jujur pada eksperimen 3

Hasil eksperimen menunjukkan bahwa peserta yang mendapat priming high PD melaporkan lebih banyak hasil menguntungkan dibanding kelompok low PD (lebih tinggi 15,6 poin persentase), yang mengindikasikan tingkat kebohongan yang lebih tinggi. Eksperimen ini memperkuat temuan sebelumnya: bahkan dalam kelompok usia kerja dan  metode pengukuran berbeda, orientasi terhadap ketimpangan kekuasaan tetap berkorelasi dengan perilaku tidak jujur.

Bagaimana Orientasi PD Memengaruhi Penilaian Norma Sosial? 

Setelah menunjukkan bahwa power distance (PD) dapat mendorong perilaku tidak jujur secara langsung, peneliti ingin menguji lebih jauh: apakah orientasi PD juga memengaruhi cara orang menilai norma sosial seputar kejujuran dan ketidakjujuran? Dalam kata lain, apakah seseorang yang berpandangan hierarkis juga lebih memaklumi kebohongan—baik sebagai pelaku maupun pengamat?

Untuk itu, 168 mahasiswa dari Nanjing University of Finance & Economics dilibatkan. Mereka dibagi secara acak ke dalam kelompok high PD dan low PD, menggunakan metode priming kalimat yang sama seperti pada eksperimen sebelumnya.

Setelah priming, peserta tidak langsung menjalankan tugas dadu seperti biasa. Kali ini, mereka diminta membaca skenario permainan pengirim-penerima (sender-receiver game), di mana si pengirim bisa menyampaikan informasi palsu untuk keuntungan pribadi. Peserta kemudian menilai sejauh mana tindakan si pengirim dianggap “sesuai” atau “tidak sesuai” dengan norma sosial, dari “sangat tidak pantas” (−2) sampai “sangat pantas” (2). Menariknya, penilaian mereka diberi insentif: peserta diberi uang jika tebakan mereka cocok dengan penilaian paling umum di kelompoknya (modal response).

Hasilnya cukup jelas: peserta yang mendapat priming high PD lebih cenderung menganggap kebohongan sebagai hal yang pantas secara sosial, dibanding kelompok low PD. Secara statistik, hanya 28% peserta high PD yang menganggap kebohongan “sangat tidak pantas”, dibanding 42% di kelompok low PD. Sementara itu, 22% peserta high PD justru menganggap kebohongan itu “sangat pantas”, dua kali lipat dari kelompok low PD (10%).

Tak hanya itu, peserta juga diminta menebak seberapa sering orang lain berbohong dalam tugas dadu. Hasilnya, mereka yang berada di kelompok high PD memiliki ekspektasi yang lebih tinggi terhadap ketidakjujuran orang lain. Artinya, bukan hanya lebih mengizinkan kebohongan, mereka juga percaya bahwa kebohongan adalah hal yang umum terjadi. Hal ini dijelaskan lebih lanjut pada hasil regresi berikut:

Tabel 4. Analisis regresi mengenai injunctive norms of dishonesty dan descriptive norms of dishonesty

Variabel independen yang dianalisis adalah High PD, sementara variabel dependen terdiri dari dua jenis norma sosial terkait ketidakjujuran. Pada kolom (1) dan (2), variabel dependennya adalah injunctive norms of dishonesty, yaitu penilaian partisipan terhadap apakah perilaku berbohong dianggap pantas atau tidak. Sedangkan pada kolom (3) dan (4), digunakan descriptive norms of dishonesty, yaitu tebakan partisipan mengenai seberapa sering peserta lain berbohong dalam eksperimen sebelumnya.

Hasil pada tabel menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara High PD dan kedua jenis norma tersebut. Temuan ini memperkuat argumen bahwa individu dengan orientasi PD yang tinggi cenderung menganggap kebohongan sebagai perilaku yang pantas, dan juga mengekspektasikan ketidakjujuran dari orang lain.

Terakhir, peserta menjalani satu dari empat tugas tambahan (secara acak) yang mengukur keengganan terhadap ketimpangan (inequality aversion). Secara keseluruhan, eksperimen ini menyimpulkan bahwa PD memengaruhi bukan hanya tindakan, tapi juga persepsi terhadap etika sosial. Dalam budaya atau konteks berpola hierarki, kebohongan tidak selalu dianggap menyimpang, terkadang justru dianggap wajar, bahkan strategis.

Kesimpulan

  1. Terdapat korelasi positif antara tingkat power distance individu dan perilaku tidak jujur, semakin tinggi orientasi power distance, semakin besar kecenderungan seseorang untuk berbohong demi keuntungan pribadi.

  2. Melalui metode priming, ditemukan bahwa orientasi terhadap power distance dapat diaktifkan secara situasional dan memiliki efek langsung terhadap perilaku curang.

  3. Power distance tidak hanya memengaruhi tindakan, tetapi juga persepsi terhadap norma sosial, termasuk seberapa “pantas” atau “wajar” suatu kebohongan dianggap.

  4. Individu dengan orientasi power distance yang tinggi juga lebih cenderung percaya bahwa orang lain pun bersikap tidak jujur, yang bisa memperkuat siklus normalisasi perilaku curang.

  5. Temuan ini mengindikasikan bahwa budaya tidak hanya membentuk struktur sosial, tetapi juga mengarahkan batasan moral yang dirasakan individu dalam konteks sehari-hari.


Diskusi dari Pandangan Penulis 

Dalam konteks Indonesia, temuan ini sulit untuk tidak terasa relevan. Indonesia termasuk negara dengan skor power distance yang tinggi menurut Hofstede. Kita tumbuh dalam budaya yang menekankan rasa hormat kepada tokoh-tokoh otoritatif. Namun di balik penghormatan itu, bisa jadi tersembunyi kecenderungan lain, yaitu kebiasaan menerima ketimpangan dan tanpa sadar, menoleransi penyalahgunaan kekuasaan.

Apakah budaya sungkan, enggan bertanya, dan terbiasa “ikut saja” akhirnya berkontribusi terhadap normalisasi ketidakjujuran dalam skala kecil di sekitar kita? Mungkin kita tidak merasa itu salah, hanya karena sudah sering melihatnya dilakukan oleh orang yang “berwenang”, baik di sekolah, kantor, atau bahkan lembaga pemerintahan.

Namun, penting untuk diingat bahwa studi ini tetap dilakukan dalam ruang eksperimental yang terkontrol. Perilaku dalam eksperimen tentu tidak sepenuhnya merepresentasikan perilaku di dunia nyata. Apakah kebohongan kecil dalam permainan dadu bisa disamakan dengan menyontek saat ujian, atau bahkan tindak korupsi? Belum tentu. Namun, eksperimen ini membantu kita mengurai lapisan terdalam dari pengambilan keputusan moral.

Mungkin kebohongan tidak selalu lahir dari niat jahat, tapi dari situasi yang secara budaya memungkinkan dan bahkan membenarkannya. Meski budaya memiliki pengaruh besar, pada akhirnya, kita tetap memiliki kendali untuk mengambil keputusan. Maka, pertanyaannya bukan hanya soal budaya, tapi juga:

Akankah kita memilih untuk jujur atau justru menormalisasi sesuatu yang sebenarnya bisa kita lawan?


 
 
 

Comentários

Avaliado com 0 de 5 estrelas.
Ainda sem avaliações

Adicione uma avaliação
bottom of page