top of page

Nilai dari kata “Viral”

ree

Sumber: dokpri


Kesederhanaan dari Rasa Penasaran

Pernahkah Anda berselancar di media sosial, lalu tiba-tiba dihadapkan pada konten ulasan produk yang tengah viral—katakanlah, produk cokelat mewah dari Dubai? Pada mulanya, mungkin Anda hanya merasa sedikit penasaran, menganggapnya sebagai tren sesaat, dan memutuskan untuk berlalu. Namun, seiring berjalannya waktu dan penyesuaian algoritma anda, cokelat tersebut seolah terus mengejar Anda. Intensitas kemunculan para influencer yang serentak mengulas produk tersebut, mengklaimnya sebagai yang terbaik di dunia, secara perlahan mulai mengikis benteng rasionalitas Anda.


Dorongan untuk mencari tahu kebenaran di balik gemuruh digital ini pun tak terhindarkan. Rasa ingin tahu tersebut kian memuncak ketika Anda mendengar langsung dari teman-teman Anda bahwa produk tersebut dinilai biasa saja, bahkan cenderung mahal atau tidak sebanding dengan harga selangit yang ditancapkan. Di satu sisi, ada pertimbangan logis dan kesaksian dari orang-orang terdekat anda, namun, di sisi lain, ada dorongan kuat yang sulit dijelaskan, sebuah konflik internal untuk membuktikan sendiri kebenaran dari viralitas produk tersebut. Inilah titik krusial di mana logika seringkali harus berhadapan dengan daya tarik massa yang bersifat emosional.


Akhirnya, dengan mengabaikan keraguan, Anda memutuskan untuk membeli produk yang relatif mahal tersebut. Setelah mencoba, memang benar rasanya mengecewakan, rasanya tidak lebih istimewa daripada produk sejenis yang jauh lebih terjangkau. Keputusan ini meninggalkan rasa penyesalan karena Anda telah terjerumus dalam fenomena Fear of Missing Out (FOMO). Anda secara sadar telah mengeluarkan biaya yang besar untuk sebuah sensasi sementara dengan manfaat nyata yang tidak sebanding.


Ini adalah gambaran nyata dari perilaku yang seringkali terjadi yakni tindakan yang tidak serasional penggambaran manusia dalam buku-buku ekonomi. Pengalaman ini tentu memunculkan suatu pertanyaan, mengapa seseorang yang tahu bahwa suatu produk tidak memiliki nilai optimal tetap mengambil keputusan untuk membelinya? Fenomena ini memiliki penjelasan tersendiri, dan inilah yang menjadi fokus utama dalam ranah ilmu perilaku ekonomi (Behavioral Economics). Kita akan membedah bagaimana ilmu psikologi sosial bersekutu dengan kekuatan pasar dalam menciptakan anomali pengambilan keputusan yang kita yakini sebagai rasional.


Sebuah Anti-tesis Terhadap Rasionalitas Manusia

Dalam kaidah Ilmu Ekonomi, kita sangat sering mendengar bahwa manusia disebut sebagai Homo Economicus. Konsep yang pertama kali dicetuskan dalam buku milik Bapak Ekonomi Dunia yaitu Adam Smith yang berjudul The Wealth of Nations yang terbit pada tahhun 1776. Smith kala itu mengasumsikan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang sempurna, bergerak murni berdasarkan logika dingin, dan selalu berorientasi untuk memaksimalkan keuntungan yang mereka peroleh dengan biaya yang paling minimal. Dalam model ideal ini, tindakan pembelian cokelat mahal yang rasanya mengecewakan tidak dapat dijelaskan karena ia merupakan kontradiksi dari konsep bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang sempurna.


Idealisme dari Homo Economicus ini ternyata tidak bertahan lama. Pada pertengahan abad ke-20, muncul sebuah anti-tesis terhadap keyakinan Smith. Herbert A. Simon (1955), memperkenalkan dalam jurnalnya A Behavioral Model of Rational Choice, sebuah konsep yang dikenal sebagai “bounded rationality” atau rasionalitas terbatas. Simon berargumen bahwa manusia adalah makhluk rasional yang berusaha memaksimalkan manfaat, tetapi upaya ini terbatasi secara fundamental oleh sejumlah batasan kognitif yang meliputi informasi yang tersedia, keterbatasan waktu, dan kemampuan memproses yang tidak sempurna. Rasionalitas manusia, menurut Simon, adalah tindakan memuaskan (satisficing), bukan memaksimalkan (maximizing). Kita memilih pilihan yang cukup baik, bukan yang terbaik secara mutlak. Gagasan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Simon dalam jurnalnya Models of Man: Social and Rational; Mathematical Essays on Rational Human Behavior in a Social Setting dua tahun setelahnya.


Argumen ini kemudian diperkuat oleh peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, Amartya Sen. Dalam karyanya yang berjudul Rationality and Social Choice pada tahun 1995 dan Rationality and Freedom 3 tahun kemudian. Sen menjelaskan bahwa konsep rasionalitas tersebut masih sedikit sempit dan belum sempurna. Ia menekankan bahwa manusia tidak hanya terfokus pada utilitas semata, tetapi juga didorong oleh komitmen, nilai-nilai, dan bahkan perasaan empati yang mereka pegang (Sen, 2002). Keputusan untuk membantu orang lain, misalnya, mungkin tidak secara langsung memaksimalkan utilitas pribadi, tetapi sepenuhnya rasional dalam kerangka komitmen sosial dan nilai etika yang diyakini. Sen menawarkan spektrum rasionalitas yang lebih luas, menegaskan bahwa kompleksitas perilaku manusia tidak mungkin dicakup oleh satu model kaku. Intinya, konsensus ilmiah telah mencapai kesimpulan bahwa manusia sebagai Homo Economicus yang utuh adalah mitos, dan tindakan irasional, seperti FOMO, adalah bukti nyata bahwa manusia memiliki berbagai batasan saat memilih.


Masyarakat Adalah Satu Kawanan Raksasa

Implikasi paling nyata dari kekurangan rasionalitas sempurna adalah munculnya perilaku kawanan (herd behaviour). Fenomena ini menjelaskan mengapa individu cenderung mengabaikan informasi dan penilaian pribadinya demi mengikuti tindakan mayoritas. Perilaku ini dieksplorasi secara fundamental dalam artikel berjudul A Theory of Fads, Fashion, Custom, and Cultural Change as Informational Cascades oleh S Bikhchandani, dalam artikelnya kita diperkenalkan oleh konsep Informational Cascades, yaitu sebuah bentuk dari herding behaviour. Model ini menjelaskan bagaimana serangkaian individu yang membuat keputusan secara berurutan dapat mengabaikan informasi pribadi mereka sendiri dan memilih untuk meniru tindakan yang dilakukan oleh pendahulu mereka, seolah-olah informasi kolektif lebih valid daripada informasi yang mereka miliki sendiri (Bikhchandani, Hirshleifer, & Welch, 1992).


Dalam konsep ekonomi yang lain, terdapat juga istilah Bandwagon Effect. Dalam jurnal seminalnya yang berjudul Bandwagon, Snob, and Veblen Effects in the Theory of Consumers’ Demand, Leibenstein (1950) mendefinisikan Bandwagon Effect sebagai sebuah peningkatan permintaan karena orang lain turut membelinya, sebuah dorongan untuk menyesuaikan diri dengan tren sosial. Leibenstein membuktikan bahwa permintaan tidak hanya berfokus pada utilitas intrinsik produk itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu seberapa banyak orang lain yang mengonsumsinya. Dalam konteks ini, seluruh masyarakat bertransformasi menjadi satu kawanan raksasa yang bergerak berdasarkan momentum kolektif, bukan atas dasar kalkulasi individu. Fenomena FOMO yang kita rasakan sejatinya adalah implikasi nyata dari Bandwagon Effect yang didorong oleh media sosial.


Selain itu, cabang ilmu psikologi juga menyumbang landasan untuk perilaku kawanan ini yang dinamai konsep Social Proof (bukti sosial). Konsep ini, yang dipopulerkan oleh Robert Cialdini (1984) dalam Influence: The Psychology of Persuasion, menyatakan bahwa seseorang seringkali menganggap suatu perilaku benar jika perilaku tersebut dilakukan atau diyakini oleh mayoritas orang lain. Saat terdapat banyak ulasan positif dari berbagai media dan mulut para konsumen terhadap coklat dubai, kita akan cenderung berasumsi: “Jika begitu banyak orang melakukannya, pasti ada nilai kebenaran di dalamnya, dan saya harus menjadi bagian darinya”. Keputusan konsumsi pun bergeser dari perhitungan nilai ke validasi kolektif, kita membeli cokelat bukan karena kita yakin manfaatnya akan melebihi biaya yang kita keluarkan, melainkan karena ketidakinginan kita akan ketinggalan tren yang berenang-renang di masyarakat. Ini menegaskan pula bahwa di hadapan tekanan sosial yang masif, kekuatan nalar individu seringkali melemah.


Jika Temanmu Lompat ke Jurang, Apakah Kamu Akan Mengikutinya?

Kekuatan Social Proof dalam mengalahkan nalar rasional diilustrasikan secara dramatis dalam eksperimen klasik psikologi sosial yang bernama eksperimen Asch. Eksperimen ini menjadi jawaban empiris terhadap pertanyaan pemicu di atas. Eksperimen Asch dibukukan dalam Opinions and Social Pressure oleh Solomon E. Asch (1955). Karya utamanya, yang sering dirujuk oleh Asch, berjudul Effects of group pressure upon the modification and distortion of judgments yang terbit 4 tahun sebelumnya.


Dalam eksperimen ini, subjek ditempatkan dalam sebuah kelompok dengan beberapa konfederasi (orang yang bekerja untuk eksperimen). Mereka diminta untuk melakukan tugas sederhana dan jelas yaitu mencocokkan panjang garis contoh dengan salah satu dari tiga garis perbandingan. Tugasnya sangat mudah dan jawabannya terlihat jelas secara visual.

Namun, dalam setiap putarannya, rekan-rekan Asch secara serentak memberikan jawaban yang salah. Hasilnya bisa dibilang cukup mengejutkan dan memutarbalikkan yang telah diasumsikan sebelumnya. Sekitar 32% dari subjek eksperimen yang memberikan jawaban yang salah mengikuti jawaban mayoritas, meskipun jawaban yang benar sangat jelas terlihat di depan mata mereka. Selain itu, lebih dari 75% dari subjek memberikan setidaknya satu jawaban yang salah akibat menyesuaikan jawabannya dengan kelompok sepanjang eksperimen.


Simpulan Asch menunjukkan bahwa individu sering kali mengesampingkan keyakinan atau persepsi pribadi mereka yang jelas dan benar demi menyesuaikan diri dengan norma kelompok (conformity), bahkan ketika kelompok tersebut tidak memberikan hadiah atau ancaman hukuman formal atas ketidaksesuaian. Dorongan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok dan menghindari ketidaknyamanan sosial mengalahkan fakta objektif. Inilah mekanisme psikologis yang membuat Anda membeli cokelat mahal yang harganya tidak sebanding dengan rasanya, keraguan individu dibungkam oleh pendapat kelompok.


Berawal dari Bunga Tulip

Secara makroekonomi, fenomena FOMO, atau Bandwagon Effect, sebenarnya bisa jadi hal yang baik. Sisi positifnya, secara logis, adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang didorong oleh efek ikut-ikutan ini dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Permintaan agregat yang meningkat akan mendorong pergeseran kurva permintaan ke kanan, yang secara teoritis dapat menggerakkan roda perekonomian dan menciptakan lapangan kerja.

Namun, di sisi lain, lonjakan permintaan ini juga dapat meningkatkan harga komoditas atau aset yang menjadi objek fenomena tersebut, menciptakan gelembung spekulatif (speculative bubble). Ketika dorongan konsumsi ini melampaui batas rasional dan nilai intrinsik aset, dampaknya bisa menjadi destruktif. Salah satu contoh ekstrem dan paling terkenal yang tercatat dalam sejarah adalah Tulip Mania di Belanda pada abad ke-17 (1636-1637). Peristiwa ini adalah studi kasus abadi tentang kegilaan massa. Fenomena ini didokumentasikan dalam buku klasik Charles Mackay (1841) berjudul Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds.


Tulip Mania dimulai ketika bunga tulip, yang awalnya diperkenalkan dari Kekaisaran Ottoman, dengan cepat menjadi simbol kemewahan dan status sosial di kalangan elit Belanda. Akibat  kenaikan permintaan yang membumbung tinggi, utilitas tulip bergeser dari sekadar nilai estetika menjadi objek investasi. Perdagangan umbi tulip pun berubah menjadi sangat spekulatif. Para pedagang mulai menjual kontrak umbi tulip yang bahkan belum dipanen, praktik yang mirip dengan perdagangan berjangka (futures). Harga terus melambung ke tingkat yang benar-benar tidak masuk akal. Pada puncaknya, harga satu umbi tulip dari varietas langka (Semper Augustus) dicatat setara dengan harga satu kompleks rumah mewah di kanal Amsterdam atau setara dengan pendapatan rata-rata 10 tahun seorang pengrajin terampil.


Nilai ini didasarkan murni pada Social Proof dan keyakinan kolektif bahwa harga akan terus naik. Namun, seperti semua gelembung spekulatif yang didasarkan pada herd behaviour tanpa nilai fundamental, harga akhirnya hancur lebur (crash) dalam waktu singkat, hingga kurang dari 10% dari harga puncaknya. Banyak investor dan pedagang yang menanamkan investasi besar, bahkan menjual properti dan meminjam uang, mengalami kebangkrutan total hanya dalam semalam. Tulip Mania adalah peringatan keras bahwa, ketika Bandwagon Effect bertemu dengan spekulasi pasar, hasilnya bisa menjadi bencana kolektif.


Normalitas dari Abnormal

Melihat dari berbagai kerangka teoritis—mulai dari kritik Simon terhadap Homo Economicus, teori Bandwagon Effect Leibenstein, hingga demonstrasi Social Proof Asch—pengalaman pribadi yang Anda alami terkait pembelian cokelat viral tersebut sebenarnya adalah hal yang normal dalam konteks perilaku manusia. Sifat irasional, dalam batas-batas tertentu, adalah bagian absolut dari kondisi manusia.


Manusia memiliki kecenderungan untuk bertindak mengenyahkan logika jika mayoritas orang lain juga melakukan hal yang sama secara bersamaan. Model Bounded Rationality yang diperkenalkan oleh H.A. Simon sudah sangat membantu dalam menggambarkan batasan kognitif manusia yang kemudian disempurnakan lagi oleh Sen. Simon dan Sen menegaskan bahwa kita bukanlah superkomputer, tidak sepintar Albert Einstein, dan tidak sebijak Mahatma Gandhi, dan pada dasarnya kita adalah makhluk sosial yang bergerak bersama kawanan kita. Jauh di lubuk hati, seringkali kita tahu bahwa pada akhirnya kita akan menyesal atas keputusan impulsif tersebut, namun dorongan untuk menyesuaikan diri (conformity) tetap berlaku karena melihat orang lain melakukan hal yang serupa.


Faktanya, masih banyak lagi dimensi irasionalitas manusia yang bervariasi, didorong oleh emosi seperti rasa empati, cinta, bahkan hingga keyakinan, paham, agama, atau ideologi yang dianut. Bahkan dalam kondisi paling rasional sekalipun, manusia tidak akan pernah mencapai rasionalitas 100% karena pada dasarnya kita bukanlah mesin. Semua penemuan dalam ilmu perilaku ini menegaskan bahwa teori-teori ekonomi seringkali didasarkan pada asumsi, dan tidak semua asumsi tersebut terjadi sepenuhnya di dunia nyata. Ilmu ekonomi yang kita pelajari adalah ilmu tentang masyarakat, dan masyarakat selalu bergerak, berubah, dan sangat kompleks, sehingga tidak dapat dijelaskan secara utuh hanya dengan formula atau model baku.


Penting untuk disadari bahwa, meskipun kecenderungan untuk mengikuti arus adalah sifat alamiah manusia, kita memiliki tanggung jawab moral dan finansial untuk mempertahankan pendirian yang didasarkan pada prinsip dan pertimbangan yang matang. Dalam menghadapi tekanan Social Proof dan Bandwagon Effect, prinsip pribadi berfungsi sebagai jangkar rasionalitas yang mencegah kita hanyut dalam spekulasi dan konsumsi impulsif yang merugikan, seperti yang terjadi pada keruntuhan Tulip Mania.


Ini bukan berarti kita harus mengabaikan tren sosial sepenuhnya, tetapi kita harus memiliki filter nilai yang kuat. Sebelum mengambil keputusan, tanyakan pada diri Anda tentang apakah keputusan ini sejalan dengan tujuan finansial dan nilai-nilai pribadi Anda? Apakah Anda melakukan ini karena benar-benar membutuhkan utilitasnya, atau sekadar karena takut ketinggalan? Memiliki prinsip yang teguh, didukung oleh kesadaran atas batasan kognitif diri, adalah kunci untuk mengubah Anda dari subjek yang rentan terhadap kegilaan massa menjadi pelaku ekonomi yang lebih mandiri dan berdaulat atas keputusan-keputusan Anda. Ini adalah langkah akhir menuju rasionalitas yang lebih realistis, menerima kelemahan kognitif kita, tetapi menolak untuk menyerah pada tekanannya.


Referensi:

Abel, J. P., Buff, C. L., & Burr, S. A. (2016). Social Media and the Fear of Missing Out: Scale Development and Assessment. Journal of Business & Economics Research (JBER), 14(1), 33–44.


Asch, S. E. (1951). Effects of group pressure upon the modification and distortion of judgments. In H. Guetzkow (Ed.), Groups, leadership and men; research in human relations (pp. 177–190). Carnegie Press.


Asch, S. E. (1955). Opinions and social pressure. Scientific American, 193(5), 31–35.


Bikhchandani, S., Hirshleifer, D., & Welch, I. (1992). A theory of fads, fashion, custom, and cultural change as informational cascades. Journal of Political Economy, 100(5), 992–1026.


Cialdini, R. B. (1984). Influence: The psychology of persuasion. William Morrow and Company.


Leibenstein, H. (1950). Bandwagon, Snob, and Veblen Effects in the Theory of Consumers’ Demand. The Quarterly Journal of Economics, 64(2), 183–207.


Mackay, C. (1841). Extraordinary popular delusions and the madness of crowds. Richard Bentley.


Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of Missing Out: Prevalence, Dynamics, and Consequences of Experiencing FOMO. Motivation and Emotion, 42(5), 725–737.


Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of Fear of Missing Out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848.


Sen, A. K. (1995). Rationality and social choice. The American Economic Review, 85(1), 1–24.


Sen, A. K. (2002). Rationality and freedom. Belknap Press of Harvard University Press.


Simon, H. A. (1955). A behavioral model of rational choice. The Quarterly Journal of Economics, 69(1), 99–118.


Simon, H. A. (1957). Models of man: Social and rational; Mathematical essays on rational human behavior in a social setting. John Wiley & Sons.


Smith, A. (1776). The wealth of nations. W. Strahan and T. Cadell.


 
 
 

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page