top of page

The Invisible Prison of Informality: How Gender Norms Trap Women into Informal Employment in Indonesia

ree

Indonesia sedang menatap masa depan dengan visi Indonesia Emas 2045, sebuah cita-cita akan masyarakat yang inklusif, sejahtera, dan berdaya saing global. Namun, di balik optimisme itu, terdapat sebuah ironi yang mendalam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 menunjukkan bahwa lebih dari 59,40% tenaga kerja Indonesia justru beraktivitas di sektor informal, sebuah dunia yang dicirikan dengan ketidakpastian upah,

minimnya perlindungan sosial, dan produktivitas yang rendah.

Inklusivitas menjadi salah satu instrumen yang dikedepankan Indonesia Emas 2045 dalam pembangunannya. Namun, ironi ketenagakerjaan di Indonesia semakin terasa jika kita melihat dari perspektif gender. Kembali merujuk data BPS, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan tertinggal di 56,42% pada 2024, naik dari 54,52% pada 2023 tetapi masih jauh di bawah laki-laki yang TPAK-nya berada di angka 84,66%. Selain itu, pada 2022, BPS mencatat penuruan partisipasi kerja formal perempuan dari yang sebelumnya 36,20% menjadi 35,57%, sementara mayoritas perempuan bekerja di sektor informal (BPS, 2025).

Perempuan mendominasi peran-peran yang paling rentan, seperti sebagai pekerja rumah tangga, buruh tani musiman, pedagang mikro, dan pelaku usaha daring skala kecil. Bahkan, fenomena di lapangan menunjukkan bahwa perempuan-perempuan di Indonesia mulai melakukan pekerjaan-pekerjaan yang umumnya diidentikkan dengan pekerjaan laki-laki, misalnya sebagai pengemudi ojek daring. Fenomena-fenomena ini lantas memunculkan pertanyaan kritis bahwa mengapa tenaga kerja produktif, khususnya perempuan, terjebak dalam sektor informal yang tidak menjamin kesejahteraan mereka?


Gender Norms and the Pathway to Informality

Partisipasi tenaga kerja perempuan stagnan di angka 50% selama dua dekade terakhir meskipun terjadi penutupan kesenjangan gender dalam pencapaian pendidikan. Hal ini menjadi ironi karena terdapat tren peningkatan tingkat pendidikan perempuan yang mana di level pendidikan tersier, tingkat pendidikan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Namun, jika membicarakan pasar kerja, perempuan yang level pendidikannya relatif tinggi malah tidak ada di pasar kerja. Jadi, ada kemungkinan perempuan tak bisa berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan di tempat-tempat good jobs atau well-paid jobs.

Tanggung jawab keluarga dan faktor struktural terus menjadi hambatan utama yang memengaruhi partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja. Di balik hal ini, terdapat norma-norma sosial yang diskriminatif terhadap gender yang membatasi economic opportunity untuk perempuan dan stereotipe gender tentang kemampuan perempuan. Norma-norma gender menjadi penting karena ini memengaruhi perilaku dan mempertahankan ketidaksetaraan (Setyonaluri, 2023).

Dikotomi norma di rumah yang berpusat pada persepsi bahwa perempuan adalah pengasuh keluarga sementara laki-laki adalah pencari nafkah masih mengakar kuat di kebanyakan masyarakat Indonesia. Sebuah studi yang dilakukan oleh Setyonaluri menunjukkan bahwa sebagian besar responden merujuk pada kodrat saat mendefinisikan peran perempuan sebagai pengasuh anak dan suami. Bagi mereka, perempuan ideal adalah yang dapat menjaga keseimbangan dan mengurus rumah tangga meskipun memiliki peran di luar rumah. Pun jika seorang perempuan bekerja, itu harus untuk meningkatkan kondisi ekonomi keluarga dan mendukung peran produktif suaminya.

Meskipun laki-laki menerima bahwa perempuan dapat memperoleh penghasilan lebih tinggi, nilai sosial dan kodrat terus mendorong perempuan menuju pekerjaan yang tidak mengganggu peran mereka di rumah sehingga mengakibatkan penghasilan yang lebih rendah. Tugas-tugas berdasar gender di tempat kerja menciptakan persepsi bahwa idealnya laki-laki memiliki gaji lebih tinggi daripada perempuan karena mereka melakukan tugas yang relatif lebih sulit dan berat ketimbang perempuan (Setyonaluri, 2023).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) membenarkan bahwa masih ada isu ketidakadilan dalam perlakuan terhadap pekerja perempuan. Asumsi tentang laki-laki yang dianggap lebih cekatan dan terampil ketimbang perempuan menjadi faktor penyebab terjadinya kondisi tersebut. Pekerja perempuan seringkali terbatas oleh norma gender sehingga menghambat peluang mereka untuk memiliki jenis pekerjaan. Norma tersebut seperti pembagian peran gender di rumah tangga di mana perempuan bertanggung jawab secara utama atas pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki hanya melakukan tugas pelengkap dengan beban yang lebih ringan. Pemahaman masyarakat atas norma dan peran gender masih sulit dihindari, misalnya pandangan bahwa perempuan sebagai pengasuh yang lebih baik dan laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, banyak perempuan lebih memilih pekerjaan yang menawarkan fleksibilitas waktu agar dapat menyeimbangkan peran ganda yang dimiliki, yakni dengan berpartisipasi pada pekerjaan sektor informal (Setyonaluri, 2023).


Informal Employment as a Forced Choice

Dengan berbagai pertimbangan dan alasan yang telah dipaparkan tersebut, banyak pekerja perempuan yang memutuskan untuk masuk ke sektor informal di mana pada sektor ini tidak memerlukan syarat atau klasifikasi khusus seperti pada sektor formal. Sejatinya, sektor informal hadir sebagai salah satu upaya jika lapangan kerja yang tersedia kurang memadai sehingga angkatan kerja yang tidak terserap di sektor formal dihadapkan pada dua pilihan, yakni bekerja di sektor informal atau menganggur. Pekerjaan informal yang dipilih perempuan seringkali bukanlah pilihan bebas, melainkan sebuah “kepatuhan” terhadap norma dan peran gender yang berlaku. Pekerjaan-pekerjaan ini merupakan perpanjangan alami peran domestik mereka sehingga dapat diterima secara sosial meski statusnya informal dan rentan.

Pekerja informal memiliki perlindungan sosial yang lebih lemah, upah yang lebih rendah, dan prospek mobilitas karier yang buruk. Namun, pekerjaan informal menawarkan beberapa karakteristik yang menarik bagi perempuan, khususnya perempuan yang telah menjadi ibu, yaitu pengaturan kerja yang lebih fleksibel dan jam kerja relatif lebih singkat. Jika seorang perempuan sudah menjadi ibu, umumnya ia akan bertanggung jawab atas perawatan anak sehingga pekerjaan informal mungkin akan “menarik” baginya, terutama jika alternatif pekerjaan masih langka.

Literatur menunjukkan bahwa sulit untuk menyeimbangkan full-time jobs dengan pengasuhan anak karena waktu merupakan kunci dalam perkembangan anak. Orang tua mempertimbangkan trade-off antara jam kerja dan sumber daya finansial yang ditawarkan oleh full-time jobs, dengan hasil bahwa ibu—bukan ayah—memilih mengurangi jam kerja atau bahkan keluar dari pasar kerja agar punya lebih banyak waktu dalam mengasuh anak. Menjadi seorang ibu menyebabkan penurunan tajam dalam pasokan tenaga kerja perempuan, baik dalam aspek kuantitas maupun intensitas, serta penghasilan dari pekerjaan. Rata-rata, tingkat pekerjaan perempuan menurun sebesar 22%, jam kerja 4%, dan penghasilan bulanan dari pekerjaan menurun sebesar 28% selama dekade pertama menjadi ibu (Berniell, 2021).

Motherhood berperan besar dalam tingginya tingkat informalitas di kalangan pekerja perempuan dan karenanya berkontribusi pada kesenjangan gender dalam informalitas tenaga kerja. Selain motherhood, kehamilan pekerja perempuan juga memicu permintaan akan fleksibilitas untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Fleksibilitas di pasar tenaga kerja informal sejatinya bertindak sebagai bantalan yang mencegah perempuan meninggalkan pasar tenaga kerja setelah hamil dan menjadi ibu. Namun, memilih pekerjaan informal berarti mengorbankan perlindungan sosial bagi mereka serta kemungkinan mengalami depresiasi keterampilan yang berharga di pasar tenaga kerja. Pada akhirnya, sektor informal menjadi penampung bagi perempuan yang “terpaksa keluar” dari sektor formal. Ini adalah konsekuensi dari sistem yang gagal menyediakan pilihan yang benar-benar layak untuk perempuan.


The Price of Informality: Economic and Social Costs for Women

Perempuan merupakan bagian yang signifikan dari pekerja informal dengan konsentrasi yang lebih tinggi dalam pekerjaan mandiri dan tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar. Batasan sosial, tanggung jawab merawat anak, dan akses terbatas terhadap peluang pekerjaan formal berkontribusi dalam ketergantungan mereka terhadap pekerjaan informal. Masalah kritis lainnya adalah kesenjangan upah gender di mana pekerja perempuan di sektor informal menerima upah lebih rendah dibandingkan sektor formal. Tingkat pendapatan yang rendah semakin memperburuk kemiskinan di kalangan pekerja perempuan informal (Sahu, 2025).

Memang, struktur pasar tenaga kerja formal dan informal terkait erat dengan kelompok gender. Laki-laki sering mendominasi pasar formal sedangkan pekerjaan yang didominasi perempuan relatif tersebar di pasar informal. Studi yang dilakukan oleh Cho (2011) di pasar tenaga kerja Korea menemukan bahwa perbedaan upah antara sektor formal dan informal yang ditemukan di kalangan pekerja perempuan tidak muncul di kalangan pekerja laki-laki. Ini berarti bahwa pekerja perempuan lebih dirugikan dengan berada di pasar tenaga kerja informal dibandingkan pekerja laki-laki.

Dalam kaitannya dengan tingkat pendidikan, penghasilan antara laki-laki dan perempuan pun mengalami perbedaan. Pada laki-laki, tambahan satu tahun pendidikan meningkatkan penghasilan 5,7% bagi pekerja formal dan 3,8% bagi pekerja informal, dengan selisih kedua sektor sebesar 1,9%. Sementara itu, untuk perempuan, tambahan satu tahun pendidikan meningkatkan penghasilan 6,0% untuk pekerja formal dan hanya 2,7% untuk pekerja informal, dengan selisih 3,3% antarsektor. Hal ini mempertegas bahwa berdasarkan selisih tingkat pendidikan antarsektor, pekerja perempuan di sektor informal mengalami lebih banyak kerugian dibandingkan pekerja laki-laki (Cho & Cho, 2011).

Di tingkat perusahaan, perempuan pun seringkali dianggap sebagai “pajak” oleh pemberi kerja dalam mempekerjakannya. Stereotipe bahwa karyawan perempuan lebih “mahal” dan “berisiko” karena akan mengambil cuti hamil dan melahirkan menciptakan disinsentif bagi pemberi kerja. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menggantikan posisi mereka selama cuti dianggap sebagai pemborosan sehingga preferensi mempekerjakan laki-laki menjadi lebih tinggi. Labor cost perempuan pun dipersepsikan lebih mahal yang memperkuat lingkaran setan diskriminasi. Padahal, studi yang dilakukan Cameron (2018) menyebutkan bahwa potensi tambahan PDB Indonesia akan sangat besar jika TPAK perempuan naik hingga 25%. Dengan kata lain, ketimpangan pada pekerja perempuan bukan hanya masalah sosial, melainkan juga masalah ekonomi yang menghambat kemajuan bangsa (Cameron, 2018).


Beyond Gender-Based Policy: Shifting the Paradigm

Norma dan peran gender di Indonesia menjadi barrier tak terlihat yang mengarahkan perempuan menjauh dari sektor formal ke sektor informal. Berasal dari persepsi masyarakat yang telah mengakar kuat, norma-norma ini mendikte bahwa laki-laki lebih layak mendapatkan pekerjaan dibanding perempuan. Seperti yang dibuktikan oleh survei World Values Survey di mana mayoritas responden, baik laki-laki maupun perempuan, sepakat bahwa laki-laki lebih pantas mendapatkan pekerjaan terutama dalam kondisi lowongan pekerjaan yang terbatas. Keyakinan ini bukan hanya opini, melainkan telah terinternalisasi dan memengaruhi perilaku baik di level rumah tangga maupun dunia usaha (World Values Survey, 2018).

Tetapi, norma dapat berubah dan bergeser. Pendidikan dan transformasi struktural membantu mengatasi batasan gender dan meningkatkan kemungkinan TPAK perempuan yang berpendidikan. Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia masih cenderung mengikuti norma tradisional, terdapat pergeseran menuju sikap dan praktik gender yang positif terkait perempuan dan pekerjaan (Setyonaluri, 2023). Narasi kebijakan yang digunakan dalam pembangunan berbasis gender juga perlu disederhanakan dan dikomunikasikan mulai dari skala mikro. Program pemberdayaan perempuan juga perlu dilakukan untuk meningkatkan keterampilan kerja mereka. Membuat kerangka regulasi yang menguntungkan bagi usaha milik perempuan juga penting agar perempuan yang bekerja mandiri terus meningkat ketimbang sekadar bertahan hidup (Budiman, 2023).

Pemerintah Indonesia juga sudah menunjukkan nada positif di mana melalui KemenPPPA yang bekerja sama dengan Bappenas dan ILO secara resmi meluncurkan Peta Jalan Ekonomi Perawatan 2025-2045. Ekonomi perawatan merupakan upaya meningkatkan value dari kerja perawatan dan pengasuhan yang umumnya dilakukan perempuan. Dalam roadmap, pemerintah mengidentifikasi tujuh prioritas layanan yang bertujuan memajukan peran perempuan dan melindungi hak anak. Hal ini bisa mendorong kontribusi TPAK perempuan khususnya di sektor formal dan mainstreaming isu gender di ketenagakerjaan Indonesia (World Bank, 2024).



Referensi


Badan Pusat Statistik. (2025). Persentase Tenaga Kerja Formal Menurut Jenis Kelamin

(Persen), 2024. Badan Pusat Statistik.


Badan Pusat Statistik. (2025). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin,

2024. Badan Pusat Statistik.


Berniell, I., Berniell, L., De La Mata, D., Edo, M., & Marchionni, M. (2020). Gender gaps in

labor informality: The motherhood effect. Journal of Development Economics, 150,


Budiman, R. C. P., Rafeinina, D. C., & Arintyas, A. P. R. (2023). Gender-Based Development

Discourse and Its Impact on Women Informal Workers in Yogyakarta. Populasi, 31(2),


Cameron, L., Suarez, D. C., & Rowell, W. (2018). Female Labour Force Participation in

Indonesia: Why Has it Stalled? Bulletin of Indonesian Economic Studies, 55(2), 157–192.


Cho, J., & Cho, D. (2011). Gender difference of the informal sector wage gap: a longitudinal

analysis for the Korean labor market. Journal of the Asia Pacific Economy, 16(4),


Sahu, P. R., & Behera, D. K. (2025). Barriers to women’s empowerment in India’s informal

sector: structural and socio-economic constraints. Discover Sustainability, 6(1).


Setyonaluri, D., Nasution, G., Ayunisa, F., Kharistiyanti, A., & Sulistya, F. (2023). Social

Norms and Women’s Economic Participation in Indonesia. Lembaga Demografi Faculty

of Economics and Business Universitas Indonesia, 1–69.


The World Bank & Social Sustainability and Inclusion Indonesia and Timor-Leste. (2024).

Ekonomi Perawatan di Indonesia: Jalan Menuju Partisipasi Ekonomi dan Kesejahteraan

Perempuan. The World Bank.


World Values Survey. (2018). WVS Wave 7 (2017-2022). World Values Survey.

 
 
 
bottom of page