top of page

Love Thy Neighbour… and Help Shape Public Policy?

ree

Sumber: dokpri


Judul Artikel : How much do our neighbors really know? The limits of community-based targeting

Penulis : Carly Trachtman, Yudistira Hendra Permana, Gumilang Aryo Sahadewo

Tahun Terbit : 2025

Jurnal : Journal of Development Economics

Diulas oleh Matin Hanafi Wirasena


Apa yang Kita Lihat atau Apa yang Mereka Tahu?

Dalam membuat kebijakan publik, terutama kebijakan bantuan sosial, para pembuat kebijakan tentunya ingin memastikan bantuan yang mereka bagikan akan diterima oleh mereka yang paling membutuhkan. Artinya, lembaga pembuat kebijakan harus bisa mengukur kemiskinan setiap rumah tangga di wilayah yang mereka target. Ketika data penghasilan maupun konsumsi rumah tangga di suatu wilayah susah didapatkan, alternatif populer yang digunakan oleh para pembuat kebijakan adalah Proxy-means tests (PMT). PMT memprediksi konsumsi rumah tangga atau kemiskinan menggunakan sejumlah indikator yang cukup mudah untuk diamati, seperti komposisi rumah tangga, kepemilikan aset, dan kualitas perumahan. Metode ini memiliki trade-off dengan akurasi dan pengukuran yang murah, cepat, dan dapat diaudit.


Namun, juga ada alternatif lain berupa Community-based targeting (CBT), di mana informasi terkait kemiskinan di suatu wilayah dapat didapatkan dari penduduk setempat langsung. Penduduk dari wilayah tersebut juga mendapat kesempatan untuk memberikan suara mereka tentang siapa yang mereka pikir paling membutuhkan bantuan. Maka, metode CBT juga dilihat sebagai alternatif, atau bahkan metode yang lebih baik dibandingkan PMT karena diasumsikan bahwa komunitas di suatu wilayah dapat memiliki informasi yang lebih tepat tentang kondisi ekonomi di wilayah tersebut (Chambers, 1994). 


Apakah Asumsi Benar?

Seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya, CBT jadi kerap digunakan dalam pembuatan kebijakan karena dianggap bahwa pengamatan penduduk setempat atas tetangga-tetangga mereka dapat memberikan informasi yang lebih akurat tentang kesejahteraan komunitas tersebut dibandingkan dengan metode PMT. Namun, ini tetaplah merupakan asumsi, yang juga masih belum banyak diteliti secara lebih lanjut. Para peneliti menyebutkan bahwa dalam melakukan literature review, penelitian-penelitian yang menyinggung topik CBT sebelumnya sering menunjukkan concordance, atau kesesuaian antara laporan masyarakat dan pengukuran survei kesejahteraan (Adams et al., 1997; Bergeron et al., 1998; Takasaki et al., 2000; Macours, 2003). Tetapi, kesesuaian ini tidak dapat mengungkapkan aspek kesejahteraan apa saja yang diamati oleh masyarakat, maupun jika informasi dari masyarakat sebenarnya lebih baik dalam mendeteksi kesejahteraan dibandingkan PMT.


Dengan ini, trade-off antara CBT dan PMT sangat signifikan. Jika benar bahwa CBT dapat secara andal mengidentifikasi kesejahteraan masyarakat setempat, maka CBT dapat diutamakan untuk mengalokasikan bantuan darurat dan membentuk sebuah jaring pengaman yang responsif terhadap krisis. Namun, jika CBT justru hanya mencerminkan kekayaan  rumah tangga secara umum dan terlihat dari jangka panjang, maka keunggulannya lebih kecil. Dalam kasus ini, akan lebih baik jika pembuat kebijakan tetap menggunakan metode PMT. Menunjukkan bahwa CBT tidak lebih unggul dari PMT juga dapat mengubah rekomendasi penargetan bantuan dan pilihan anggaran bagi pembuat kebijakan yang bersangkutan.


Apa yang Ingin Diteliti?

Berdasarkan semua hal yang didiskusikan di atas, para peneliti ingin mencari tahu batasan dari metode CBT, secara partikular dalam mengukur transient welfare shocks, yang didefinisikan sebagai perubahan jangka pendek dalam kesejahteraan suatu rumah tangga. Transient welfare shocks membuat suatu rumah tangga menjadi lebih miskin di sementara waktu, meskipun situasi jangka panjang mereka tidak banyak berubah. Misalnya, jika seorang petani gagal panen, penghasilannya dapat berkurang secara drastis untuk beberapa bulan, tetapi di musim panen berikutnya dapat kembali ke tingkat pendapatannya yang sebelumnya. Contoh transient welfare shocks lainnya merupakan pemutusan hubungan kerja dan penyakit jangka pendek yang dapat menurunkan pendapatan suatu rumah tangga secara sementara. Orang-orang yang mengalami kasus seperti inilah yang dicari oleh pembuat kebijakan agar bisa diberikan bantuan sosial.


Jadi, penelitian ini bertujuan melihat jika anggota masyarakat di suatu wilayah memiliki informasi yang lebih baik dalam menangkap transient welfare shocks dibandingkan metode PMT, dan jika mereka benar-benar menggunakan informasi tersebut saat diminta memilih rumah tangga yang harus dialokasikan bantuan.


Data dan Pengumpulannya

Penelitian ini mengumpulkan data dari 300 rumah tangga dari 10 komunitas di Jawa Tengah. Komunitas-komunitas tersebut berlokasi di Kabupaten Purworejo dan berasal dari desa-desa Dlangu, Lugurejo dan Wareng. Para peneliti memilih lokasi ini untuk dua alasan. Pertama, dengan luasnya pekerjaan PMT maupun CBT di Indonesia, penelitian yang berfokus pada suatu wilayah yang spesifik memudahkan perbandingan dengan literatur lain di bidang tersebut (Alatas et al., 2012, 2016a,b, 2019; Bah et al., 2019; Banerjee et al., 2020). Kedua, komunitas-komunitas ini dipilih secara sengaja karena mereka bersifat homogen. Mayoritas beretnis Jawa, beragama Islam, dan berorientasi pada pertanian. Karakteristik-karakteristik tersebut menciptakan lingkungan yang relatif erat yang mendorong anggota komunitas saling mengenal satu sama lain. Secara teori, ini seharusnya menjadi lingkungan di mana CBT mampu memiliki keunggulan yang signifikan dibandingkan PMT.


Untuk metode pengumpulannya sendiri, di setiap komunitas, para peneliti memilih 30 rumah tangga melalui proses stratification (pembagian ke kategori-kategori berbeda dan mengambil sampel dari setiap kategori) untuk memastikan data yang dikumpulkan representatif. Selain itu, pengumpulan data terdiri dari dua bagian, yakni survei rumah tangga dan tugas eksperimental. Survei rumah tangga mengumpulkan informasi tentang demografi, pengeluaran/konsumsi, aset, dan lain-lainnya yang berfungsi sebagai acuan untuk mengevaluasi pengetahuan komunitas tentang orang-orang di sekitar mereka. Di sisi lain, “tugas eksperimental” yang dilaksanakan peneliti berupa tugas di mana peserta diminta untuk menilai tetangga mereka dan mengalokasikan transfer tunai. Tugas ini kemudian diulangi setelah jeda tiga bulan. Berikut tabel yang menunjukkan ringkasan statistik dari rumah tangga yang disurvey.


ree

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa rumah tangga rata-rata memiliki sekitar 3 anggota keluarga dan menghabiskan $37.76 (Rp177.472 berdasarkan nilai tukar purchasing power parity di tahun 2020) setiap minggunya, di mana $22.98 (Rp108.006) dari pengeluaran tersebut digunakan untuk pembelian makanan. Menariknya, ditemukan bahwa hampir 92% dari rumah tangga tersebut mendapat bantuan sosial dari pemerintah, sedangkan hanya 30% dari mereka mengalami setidaknya satu transient welfare shock dalam 12 bulan terakhir. Kontras ini menonjolkan masalah yang diangkat di penelitian ini. Meskipun program bantuan sosial sudah memiliki cakupan yang luas, program-program tersebut mungkin tidak responsif terhadap rumah tangga yang mengalami transient welfare shocks. Jadi, hal ini juga memperkuat alasan mengapa para peneliti menguji CBT. Jika hampir semua orang sudah menerima bantuan, apakah anggota komunitas lainnya sebenarnya dapat mengidentifikasi mereka yang terkena dampak transient welfare shocks lebih baik daripada PMTs?


Apa yang Ditemukan?

Berdasarkan analisis, ternyata asumsi bahwa metode CBT merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan PMT dalam mendeteksi transient welfare shocks itu salah. Penelitian ini menunjukkan CBT tidak lebih unggul daripada PMT dalam mengidentifikasi rumah tangga yang mengalami transient welfare shocks. Sebaliknya, penilaian dari komunitas setempat sebagian besar mencerminkan indikator kesejahteraan yang terlihat dan bersifat jangka panjang, seperti kepemilikan tanah dan aset. Hal ini berarti bahwa hasil dari CBT tidak lebih sensitif terhadap transient welfare shocks daripada indikator proxy, meskipun dibenarkan atas dasar pengetahuan lokal.


ree

Untuk memperluas pembahasan ini, kita dapat merujuk ke Tabel 2 dari penelitian. Tabel ini menunjukkan Spearman’s rank correlation (ρ) yang digunakan untuk mengukur sejauh mana dua daftar peringkat memiliki urutan yang sama. Dalam konteks penelitian ini, Spearman’s rank correlation membandingkan seberapa sama peringkat kesejahteraan yang dibuat oleh penduduk setempat dan tiga variabel pengukur kesejahteraan yang diperoleh dari survei rumah tangga sebelumnya. Nilai ρ yang mendekati 1 menunjukkan kesesuaian yang tinggi antara persepsi masyarakat dan data survei, sedangkan nilai yang mendekati 0 berarti tidak ada hubungan yang jelas.


Hasil dari Spearman’s rank correlation ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai kondisi kesejahteraan jangka pendek tetangganya sangat terbatas. Korelasi antara peringkat masyarakat dan expenditure (pengeluaran per kapita) hanya sekitar 0.16. Selain itu, korelasi neediness (tingkat kebutuhan rumah tangga yang diukur melalui marginal utility of expenditure) sedikit lebih tinggi yaitu 0,27. Namun, ini masih tergolong sebagai korelasi yang cukup lemah. Sebaliknya, korelasi antara peringkat masyarakat dan indeks asset (kepemilikan aset suatu rumah tangga) mencapai 0,45. 


Maka, dari hasil tabel ini bisa disimpulkan bahwa penilaian masyarakat atas kekayaan tetangganya masih lebih banyak didasarkan pada indikator kekayaan jangka panjang yang mudah diamati, seperti kepemilikan tanah atau rumah. Oleh karena itu, klaim bahwa pengetahuan warga setempat mampu mengidentifikasi rumah tangga yang mengalami transient welfare shocks tidak sepenuhnya terbukti dalam konteks penelitian ini.


ree

Selebihnya, grafik di Gambar 3 melengkapi temuan para peneliti pada Tabel 2. Grafik-grafik tersebut menampilkan distribusi Spearman’s rank correlation bagi setiap partisipan yang diwawancara. Sebagian besar nilai korelasinya berada di sekitar nol, yang menunjukkan bahwa mayoritas anggota masyarakat tidak mampu menilai dengan tepat tingkat kesejahteraan tetangganya. Hanya sedikit individu yang memiliki korelasi sedang, dan hampir tidak ada yang mendekati korelasi sempurna. Pola ini memperkuat kesimpulan bahwa keterbatasan informasi bukan hanya dari beberapa individu saja, tetapi kejadian yang meluas di seluruh komunitas.


Lebih lanjut, sebelumnya sudah disebutkan bahwa suatu “tugas eksperimental” diberikan peneliti kepada peserta, yang meminta mereka untuk menilai tetangga-tetangga mereka, dan bahwa tugas ini kemudian diulangi setelah jeda tiga bulan. Ternyata, setelah tugas ini diulang, hasilnya menunjukkan bahwa tingkat akurasi tidak meningkat secara berarti antara dua periode tersebut. Masyarakat tidak banyak memperbarui persepsi mereka terhadap siapa yang dianggap lebih sejahtera atau lebih miskin, bahkan setelah beberapa rumah tangga mengalami perubahan kondisi ekonomi. Dengan kata lain, penilaian masyarakat terhadap kesejahteraan tetangga bersifat sticky; cenderung tetap. Seperti yang ditemukan di Tabel 2 di atas, hal ini semakin memperkuat bahwa persepsi kekayaan para peserta terhadap tetangga mereka didasarkan pada indikator jangka panjang yang terlihat seperti aset, dan bukan pada perubahan kesejahteraan aktual.


Berdasarkan penemuan sampai titik ini, para peneliti kemudian membandingkan kinerja CBT dengan dua jenis PMT yang umum digunakan, yaitu Poverty Probability Index (PPI) dan Simple Poverty Scorecard (SPS). Kedua metode ini memperkirakan tingkat kesejahteraan rumah tangga berdasarkan variabel-variabel yang mudah diamati seperti kepemilikan aset, tingkat pendidikan, dan kualitas perumahan. Secara teori, jika masyarakat benar-benar memiliki informasi tambahan yang tidak dapat diobservasi melalui data formal, maka hasil CBT seharusnya lebih akurat daripada PMT.


Hasil perbandingan menunjukkan bahwa CBT tidak memberikan kinerja yang lebih baik dibandingkan PMT dalam memprediksi kesejahteraan rumah tangga. Ketika peringkat yang dihasilkan oleh masyarakat dibandingkan dengan peringkat kesejahteraan yang dihitung melalui kedua model PMT (PPI dan SPS), tingkat korelasi yang dicapai relatif sama. Selain itu, para peneliti juga menguji kemungkinan adanya peningkatan akurasi melalui metode hybrid, atau kombinasi antara CBT dan PMT. Mereka menggunakan hasil CBT sebagai tambahan informasi dalam model PMT. Namun, pendekatan hibrida ini juga tidak memberikan peningkatan akurasi yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan penilaian sebagian besar telah tercermin dalam variabel-variabel yang digunakan oleh PMT.


Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, penelitian Trachtman et al. memberikan kontribusi penting dalam memahami efektivitas community-based targeting (CBT) dibandingkan metode proxy-means tests (PMT) dalam program bantuan sosial. Melalui pendekatan eksperimental di sepuluh komunitas di Jawa Tengah, peneliti menunjukkan bahwa CBT tidak memberikan keunggulan informasi yang berarti dibandingkan PMT. Penilaian masyarakat ternyata lebih banyak didasarkan pada indikator kekayaan jangka panjang seperti aset dan kepemilikan lahan, bukan pada kondisi kesejahteraan aktual yang dapat berubah akibat guncangan ekonomi.


Temuan ini memiliki implikasi kebijakan yang jelas, bahwa CBT mungkin tidak sesuai untuk program yang bersifat responsif terhadap transient welfare shocks karena masyarakat tidak memiliki informasi yang cukup mengenai perubahan kesejahteraan jangka pendek. Sebaliknya, metode berbasis proksi seperti PMT dapat memberikan hasil yang setara dengan biaya yang lebih rendah dan implementasi yang lebih konsisten. Oleh karena itu, pemilihan antara kedua metode tersebut sebaiknya didasarkan pada konteks dan tujuan kebijakan yang ingin diimplementasikan, bukan pada asumsi bahwa CBT selalu lebih informatif hanya karena diasumsikan bahwa komunitas di suatu wilayah dapat memiliki informasi yang lebih tepat tentang kondisi ekonomi di wilayah tersebut .


Meskipun penelitian ini berfokus pada konteks komunitas di Jawa Tengah yang relatif homogen, metodologi yang digunakan memberikan kerangka yang kuat untuk menguji keakuratan informasi lokal di berbagai konteks lain. Secara keseluruhan, para peneliti berkesimpulan bahwa temuan dari studi ini menantang adanya romanticizing atau pandangan romantis bahwa kedekatan sosial otomatis menghasilkan pengetahuan yang lebih baik, dan menegaskan pentingnya sistem informasi yang akurat dan terbarukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan.


Pandangan Penulis

Penulis memilih untuk mengulas jurnal ini karena ketertarikan penulis terhadap bidang ekonomi pembangunan yang ditelusuri pada penelitian ini. Dalam ekonomi pembangunan, salah satu alat yang paling penting dalam mengembangkan suatu negara adalah public policy atau kebijakan publik. Namun, kebijakan publik juga menjadi tantangan yang besar jika kebijakan yang direkomendasikan ataupun dilaksanakan tidak tepat untuk mengatasi masalah yang ada dan tidak dapat diimplementasikan dengan efektif. Penelitian ini yang membahas proxy-means tests dan community-based targeting memberikan kita wawasan lebih dalam kepada berbagai cara pembuat kebijakan dapat membuat kebijakan yang tepat sasaran serta memastikan implementasinya bisa efektif. Dalam konteks jurnal ini, kebijakan publik yang dimaksud adalah distribusi bantuan sosial. Jadi, jika metode untuk menyelidiki siapa yang membutuhkan bantuan sosial dapat lebih akurat, maka kebijakan tersebut dapat membantu lebih banyak orang dan membantu mereka yang paling membutuhkan.



 
 
 

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page