We’ll Use the Power of Friendship!
- KANOPI FEB UI
- Jul 10
- 9 min read

Judul Artikel : “Classmates and friends matter! Peer effects on cognitive ability formation”
Penulis : Xin Gu
Tahun Terbit : 2023
Jurnal : China Economic Review
Pengulas Muhammad Aldo
Efek Teman Sebaya: Bagaimana Lingkungan Sosial Membentuk Prestasi Akademik
Dalam film atau anime, tokoh utama sering kali menang bukan karena ia hebat sendiri, melainkan karena dikelilingi oleh teman-teman yang percaya dan selalu mendukungnya. Bahkan ada kutipan terkenal yang mengatakan, “Masa depanmu ditentukan oleh lima orang terdekatmu saat ini.” Hal ini juga berlaku dalam dunia pendidikan. Saat sekolah, sebagian besar waktu kita justru dihabiskan bersama teman. Kita duduk sebangku, kerja kelompok, dan ngobrol setiap hari. Dari situlah perlahan cara pikir, kebiasaan, bahkan semangat belajar kita mulai terbentuk.
Fenomena ini dikenal sebagai peer effects (efek teman sebaya), dimana perilaku dan hasil belajar seseorang dipengaruhi oleh karakteristik teman-teman di sekitarnya. Meski terkesan sederhana, efek ini memiliki dampak sistematis yang terbukti secara ilmiah. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa siswa yang dikelilingi teman-teman berprestasi cenderung memiliki nilai lebih tinggi (Sacerdote, 2001), sementara lingkungan pertemanan yang buruk dapat menurunkan motivasi belajar (Carrell et al., 2018). Fenomena ini seperti social gravity, siapa pun yang berada di orbit pertemanan akan menarikmu ke arah tersebut, entah ke puncak prestasi atau jurang kemalasan.
Sekolah : Insitusi Pendidikan Tempat Bermain dan Belajar
Sistem pendidikan Tiongkok, tempat dilaksanakannya penelitian ini, menyediakan konteks unik untuk mempelajari fenomena peer effects. Sekolah bukan hanya tempat bermain, melainkan juga arena akademik tempat siswa berjuang untuk nilai, peringkat, dan masa depan. Budaya Gaokao (ujian nasional yang menentukan nasib pendidikan tinggi di Tiongkok) telah menciptakan lingkungan yang kompetitif. Siswa tidak hanya bersaing dengan diri sendiri, tetapi juga dengan teman sekelas, yang sekaligus menjadi rival, motivator, bahkan penyelamat saat kesulitan memahami materi.
Menariknya, banyak sekolah di Tiongkok menerapkan penempatan siswa secara acak ke dalam kelas, sebuah kebijakan yang tanpa disadari menciptakan eksperimen alami sempurna bagi peneliti (Gong et al., 2019). Seorang siswa bisa saja terlempar ke kelas berisi kumpulan juara olimpiade sains atau justru dikelilingi teman-teman yang lebih tertarik pada game online daripada buku pelajaran. Tidak adanya "kelas unggulan" ini memutus rantai endogenitas, masalah utama dalam penelitian efek teman sebaya sebelumnya (Gong et al., 2019).
Penelitian sebelumnya tentang peer effects sering kali terbentur pada dua masalah utama. Pertama, kesulitan memisahkan efek teman sebaya yang sebenarnya (causal peer effects) dari bias seleksi sosial. Misalnya, siswa pintar cenderung berteman dengan sesama pintar karena kecenderungan alami. Adapun kedua, ketidakmampuan mengungkap mekanisme spesifik apakah efek teman sebaya bekerja melalui tekanan kompetisi (konformitas) atau transfer pengetahuan (komplementaritas). Penelitian ini mengatasi tantangan tersebut dengan memanfaatkan kebijakan penempatan acak siswa di sekolah-sekolah Tiongkok sebagai eksperimen alami sehingga memastikan bahwa kelompok teman sebaya terbentuk secara eksogen, bukan hasil seleksi diri. Selain itu, penelitian ini memisahkan dan mengukur kedua mekanisme (konformitas dan komplementaritas) secara empiris, menggunakan variabel perilaku seperti jam belajar dan kualitas interaksi pertemanan. Dengan demikian, studi ini dapat memberikan bukti kausal yang lebih kuat.
Mengurai mekanisme dibalik pengaruh teman sebaya, peneliti merancang dua pertanyaan mendasar, yakni bagaimana tepatnya teman sebaya memengaruhi prestasi akademik dan mengapa beberapa siswa lebih terpengaruh daripada yang lain. Dengan menganalisis data dari China Education Panel Survey (CEPS) yang mencakup ribuan siswa, peneliti mengidentifikasi dua mekanisme utama:
Efek Konformitas: Tekanan sosial yang mendorong siswa menyesuaikan perilakunya dengan standar kelompok.
Efek Komplementaritas: Proses saling belajar yang membuat pengetahuan lebih mudah diserap.
Adapun model manusia awal yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

dimana

menunjukkan besarnya manfaat yang didapat dan

merupakan biaya yang harus dikeluarkan. Manfaat diperoleh dari mengalikan utilitas dengan peluang sukses yang bergantung pada usaha (dipengaruhi oleh rekan sebaya), model manusia awal (faktor kemampuan bawaan siswa), dan faktor observable (latar belakang keluarga dan kualitas guru). Komponen biaya kemudian dikurangi oleh spillover pengetahuan (interaksi dengan teman yang pintar mengurangi biaya belajar). Adapun model akhir dari penelitian ini, yaitu:


menggambarkan total efek rekan sebaya yang merupakan gabungan dari

(konformitas) dan

(komplementaritas). Model ini mengintegrasikan konformitas dan komplementaritas dalam satu kerangka (sebelumnya dipisah, misalnya di Blume et al.). Model ini juga menghubungkan dinamika sosial (peer effects) dengan teori investasi modal manusia.
Dalam melakukan sampling, untuk memastikan hasilnya tidak bias maka peneliti memilih sekolah-sekolah yang membagi siswa secara acak ke dalam kelas saat masuk kelas 7 (awal masuk SMP). Hal ini penting supaya teman sekelas atau teman dekat tidak dipilih berdasarkan kemampuan atau latar belakang tertentu. Peneliti juga membandingkan efek teman sekelas (class peers) dengan teman dekat (close friends). Hal ini karena teman dekat bisa lebih berpengaruh secara emosional dan sosial. Survei dilakukan dengan menanyakan lima nama teman dekat siswa dan bagaimana prestasi teman-temannya. Hal ini bertujuan untuk mengukur pengaruh lingkungan sosial yang lebih personal.
Dalam analisisnya, peneliti memakai model matematika untuk memperkirakan seberapa besar pengaruh teman terhadap kemampuan belajar seorang siswa, sambil mempertimbangkan hal-hal lain, seperti jenis kelamin, latar belakang keluarga, kualitas guru, dan lingkungan sekolah. Mereka menggunakan nilai siswa saat pertama masuk sekolah sebagai patokan awal lalu melihat perkembangannya. Pengaruh teman dihitung dari dua sisi: teman sekelas (mewakili lingkungan formal belajar) dan teman dekat (mewakili jaringan sosial pribadi). Peneliti juga berhati-hati supaya tidak menghitung dua kali, dengan cara menghindari pengaruh diri sendiri saat mengukur lingkungan teman. Adapun model matematika yang digunakan adalah :

Adapun hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Statistik Ringkasan Pengukuran Teman dan Kemampuan Kognitif

Tabel 1 menunjukkan gambaran umum tentang teman dan kemampuan belajar anak-anak yang diteliti. Rata-rata anak memiliki sekitar 2,6 sahabat yang rajin belajar, sementara yang suka bolos sekolah hanya sekitar 0,1 teman. Artinya, sebagian besar anak lebih dikelilingi oleh teman-teman yang positif. Untuk mengukur kemampuan otak mereka, digunakan skor tes kognitif. Hasil tes tersebut bervariasi cukup besar antara satu anak dengan yang lain. Selain itu, skor rata-rata teman sekelas juga dihitung, tapi tanpa memasukkan nilai anak itu sendiri. Hal ini dilakukan peneliti supaya bisa melihat seberapa besar pengaruh teman terhadap kecerdasan masing-masing anak.
Tabel 2. Ringkasan Variabel

Tabel 2 menyajikan ringkasan variabel-variabel penting yang digunakan dalam analisis. Hal ini mencakup karakteristik siswa, latar belakang keluarga, kualitas guru, serta beberapa variabel instrumental dan mekanisme yang berkaitan dengan pengaruh teman sebaya. Dari data tersebut, diketahui bahwa sekitar 51% siswa berjenis kelamin laki-laki, dengan rata-rata usia sekitar 14 tahun, dan sebagian besar dalam kondisi kesehatan yang baik. Rata-rata siswa memiliki sekitar setengah saudara kandung, serta orang tua dengan tingkat pendidikan rata-rata 11 tahun, kira-kira setara dengan jenjang SMA. Selain itu, sekitar 8% siswa berasal dari keluarga penerima bantuan hidup, yang menjadi indikator kondisi ekonomi yang kurang mampu.
Tabel ini juga menunjukkan bahwa para guru memiliki pengalaman mengajar yang cukup panjang dengan rata-rata lebih dari 15 tahun. Hal ini mencerminkan kualitas pengajaran yang relatif tinggi. Variabel instrumental seperti waktu tempuh dari rumah ke sekolah dan riwayat pindah sekolah juga dicantumkan untuk membantu analisis lebih mendalam terhadap potensi penyebab tidak langsung dari pengaruh teman sebaya. Selain itu, terdapat pula indikator saluran mekanisme seperti jam belajar di rumah dan hubungan sosial siswa dengan teman sekelas atau teman sekolah yang digunakan untuk memahami lebih lanjut bagaimana pengaruh antarteman dapat terjadi. Informasi dalam tabel ini penting karena membantu memastikan bahwa hasil penelitian tidak hanya dipengaruhi oleh faktor teman sebaya semata, melainkan juga oleh latar belakang pribadi dan lingkungan siswa
Tabel 3. Hasil OLS dalam Mengestimasi Efek Teman Sekelas dan Teman Dekat

Tabel 3 menunjukkan bahwa pengaruh teman, baik teman sekelas maupun sahabat dekat, memiliki dampak yang nyata terhadap perkembangan kemampuan kognitif siswa. Hasil estimasi menunjukkan bahwa rata-rata skor kognitif teman sekelas berpengaruh positif. Peningkatan satu poin dalam rata-rata skor teman sekelas dikaitkan dengan peningkatan sekitar 0,126 poin dalam skor siswa. Selain itu, memiliki sahabat yang berprestasi baik juga memberikan dampak positif, yaitu meningkatkan skor siswa sekitar 0,023 poin. Sebaliknya, pengaruh negatif yang cukup besar ditemukan dari sahabat yang berperilaku buruk yang dapat menurunkan skor kognitif siswa sebesar 0,126 poin. Menariknya, efek negatif dari sahabat yang suka membolos bahkan lebih besar daripada efek positif dari sahabat yang rajin. Hal ini menandakan bahwa pengaruh buruk lebih kuat daripada pengaruh baik dalam konteks ini. Temuan ini menegaskan bahwa lingkungan sosial, khususnya pertemanan dekat, memiliki peran penting dalam membentuk prestasi belajar siswa.
Tabel 4. Mekanisme Efek Teman Sebaya

Tabel 4 menggali lebih jauh mengapa dan bagaimana teman sebaya bisa memengaruhi kemampuan kognitif siswa. Terdapat dua efek utama yang diamati, yaitu konformitas dan komplementaritas. Efek konformitas dijelaskan melalui dua indikator, yakni jumlah jam mengerjakan PR dan sikap belajar siswa. Kedua indikator tersebut meningkat ketika siswa memiliki teman yang rajin atau berprestasi. Hal ini menunjukkan bahwa siswa cenderung menyesuaikan diri dengan norma kelompok.
Namun, efek dari teman yang buruk tidak begitu terlihat dalam aspek konformitas ini. Artinya, walaupun mereka bisa berdampak negatif pada skor kognitif (seperti yang terlihat di Tabel 3), mereka tidak membuat siswa lain jadi malas mengerjakan PR atau punya sikap belajar buruk secara langsung. Kemungkinan besar, pengaruh buruk dari teman yang membolos terjadi melalui mekanisme lain. Hal ini bisa terjadi melalui ajakan main saat waktu belajar atau mengganggu proses belajar secara tidak langsung.
Sementara itu, efek komplementaritas menjelaskan bagaimana hubungan sosial yang positif bisa menurunkan biaya belajar baik secara emosional maupun kognitif. Ketika siswa merasa teman sekelas baik padanya dan merasa dekat dengan orang-orang di sekolah, mereka lebih nyaman untuk bertanya, berdiskusi, atau belajar bersama. Hal ini penting karena anak-anak tidak belajar hanya dari guru, tapi juga dari teman. Data menunjukkan bahwa hubungan positif ini secara signifikan berkorelasi dengan peningkatan skor kognitif, terutama jika teman yang dekat juga memiliki prestasi baik. Hal yang menarik, teman yang suka membolos tidak berpengaruh signifikan dalam efek ini, menunjukkan bahwa untuk bisa saling membantu dalam belajar, perlu ada hubungan yang positif sekaligus kualitas akademik dari teman tersebut.
Tabel 5. Heterogenitas Efek Teman Sebaya berdasarkan Kuantil Kemampuan

Hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pengaruh teman sebaya terhadap kemampuan kognitif tidak sama untuk semua siswa, melainkan bergantung pada tingkat kemampuan awal mereka. Siswa dengan kemampuan rendah (kuartil satu) ternyata paling diuntungkan dari keberadaan teman sekelas yang pintar, karena mereka bisa memperoleh “limpahan pengetahuan” dari interaksi tersebut. Hal ini mencerminkan bahwa efek komplementaritas bekerja paling kuat di kelompok ini. Sebaliknya, siswa dengan kemampuan sangat tinggi (kuartil empat) juga mengalami peningkatan signifikan dari teman sekelas pintar, tapi lebih karena dorongan kompetitif (konformitas). Mereka terpacu untuk mempertahankan keunggulan. Namun menariknya, pengaruh sahabat yang rajin cenderung berkurang di kalangan siswa yang lebih pintar, bahkan menjadi tidak signifikan, yang menandakan bahwa teman dekat hanya memengaruhi siswa berkemampuan rendah hingga sedang. Hal ini karena mereka lebih membutuhkan dan terdorong oleh dukungan sosial. Di sisi lain, teman dekat yang suka membolos paling merugikan siswa dengan kemampuan rendah, yang cenderung lebih rentan terhadap pengaruh negatif. Dengan kata lain, siswa pintar bisa tahan banting terhadap teman yang buruk, sementara siswa dengan kemampuan rendah lebih mudah terpengaruh
Dalam upaya mengatasi endogenitas, peneliti menggunakan pendekatan instrumental variables (IV). Tetapi, penggunaan pendekatan instrumental variables (IV) dalam penelitian ini tampaknya kurang optimal. Hasil estimasi dengan IV menunjukkan efek teman sebaya yang melemah dan tidak signifikan yang kemungkinan besar disebabkan oleh lemahnya kekuatan instrumen seperti frekuensi pindah sekolah atau durasi perjalanan ke sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun strategi identifikasi sudah cukup hati-hati, efektivitas instrumen dalam merepresentasikan variasi dalam jaringan pertemanan masih dipertanyakan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa teman sebaya, baik teman sekelas maupun sahabat dekat memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan kemampuan kognitif siswa SMP di Tiongkok. Efek positif tersebut muncul melalui dua mekanisme utama, yakni konformitas (dorongan untuk berusaha lebih keras karena pengaruh teman yang berprestasi) dan komplementaritas (manfaat dari interaksi dan transfer pengetahuan antar teman). Penelitian ini juga menemukan bahwa pengaruh teman tidak merata. Siswa dengan kemampuan rendah mendapatkan manfaat lebih besar, terutama dari efek komplementaritas, sementara siswa berkemampuan tinggi lebih terdorong oleh efek konformitas. Temuan ini menegaskan pentingnya mempertimbangkan peran teman sebaya dalam kebijakan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia sejak dini.
Pandangan Penulis
Penelitian ini menegaskan bahwa lingkungan sosial, baik dari teman sekelas maupun teman dekat, memainkan peran penting dalam pembentukan kemampuan kognitif siswa. Efek ini terjadi melalui dua mekanisme utama, yakni konformitas (dorongan untuk menyesuaikan diri dengan standar kelompok) dan komplementaritas (saling berbagi pengetahuan yang menurunkan biaya belajar). Temuan ini menjadi sangat relevan ketika dikaitkan dengan sistem pendidikan Indonesia, di mana ketimpangan kualitas sekolah menjadi masalah kronis. Sekolah unggulan cenderung mengumpulkan siswa dengan kemampuan tinggi yang kemudian memperkuat efek positif antar teman sebaya. Sebaliknya, siswa di sekolah non-unggulan, meskipun memiliki potensi tinggi, bisa terjebak dalam lingkungan yang kurang mendukung dan memperbesar risiko ketertinggalan.
Kebijakan zonasi yang diadopsi pemerintah Indonesia pada dasarnya mencoba menerapkan prinsip keadilan dengan mendistribusikan siswa berdasarkan wilayah tempat tinggal, bukan nilai ujian semata. Tetapi, dalam praktiknya, zonasi belum mampu menghapus ketimpangan struktural antar sekolah karena masih minimnya perbaikan kualitas di sekolah-sekolah biasa. Efek teman sebaya yang seharusnya menjadi alat pemerataan justru bisa menjadi membuat terjadinya ketimpangan akibat tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas guru, fasilitas, dan budaya belajar. Dengan kata lain, zonasi tanpa reformasi menyeluruh hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
Lebih jauh lagi, dari sudut pandang ekonomi, temuan ini memperlihatkan bahwa modal sosial di sekolah berperan besar dalam menentukan mobilitas sosial. Kemampuan kognitif yang terbentuk melalui interaksi dengan teman sebaya akan memengaruhi peluang seseorang di masa depan, baik dalam pendidikan lanjutan maupun pasar kerja. Jika lingkungan belajar tidak inklusif, anak-anak dari keluarga kurang mampu bisa kehilangan peluang untuk naik kelas sosial meski memiliki potensi. Program seperti Sekolah Garuda dapat menjadi solusi jika dibangun sebagai pusat pembelajaran kolaboratif lintas latar belakang. Namun, hal ini justru dapat menciptakan elit baru yang terpisah dari sistem pendidikan umum dan memperparah jurang ketimpangan. Oleh karena itu, memastikan bahwa setiap anak berada di lingkungan belajar yang suportif bukan hanya tugas orang tua, tapi juga tugas negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.



Comments