top of page

Tantangan Keuangan Negara: Efektivitas Sistem Kompensasi Pengajar

Sumber: dokpri
Sumber: dokpri

Judul Artikel : Double for Nothing? Experimental Evidence on an Unconditional Teacher

Salary Increase in Indonesia

Penulis : Joppe de Ree, Karthik Muralidharan, Menno Pradhan, Halsey Rogers

Tahun Terbit : 2018

Jurnal : Oxford Quarterly Journal of Economics

Diulas oleh Gregorius Samuel Parsaoran Sinaga 


Kompensasi Pendidikan Sektor Publik dalam Konteks Indonesia


Pada tahun 2017, Indonesia memiliki salah satu sistem pendidikan terbesar di Indonesia, dengan lebih dari 50 juta anggota populasi usia pendidikan yang tersebar pada 34 provinsi. Oleh karena besarnya populasi usia pendidikan dan tingginya kebutuhan akan pendidikan, anggaran pendidikan menjadi suatu perhatian tersendiri.  Berdasarkan undang-undang dasar amandemen 2002, 20% dari anggaran belanja negara harus dialokasikan untuk pendidikan. 


Pada tahun 2005, dirancang suatu undang-undang mengenai guru pegawai negeri sipil (PNS) yang memberikan guru PNS hak atas “tunjangan kinerja” atau “tunjangan sertifikasi”, yang nilainya mencapai 100% dari gaji pokok. Dengan adanya tunjangan ini, pendapatan guru-guru PNS di Indonesia meningkat dari persentil 50 (rata-rata) pendapatan lulusan perguruan tinggi strata 1 atau setara, menjadi persentil 90 (top 10%) pendapatan lulusan perguruan tinggi strata 1 atau setara. 


Sejatinya, sertifikasi ini dilakukan dengan ujian kompetensi terkait mata pelajaran yang diampu dan terkait kompetensi mengajar yang bertaraf tinggi. Apabila tidak lulus dalam sertifikasi ini, guru-guru PNS diharuskan mengikuti program pelatihan intensif yang berdurasi sekitar satu tahun. Akan tetapi, karena desakan pihak asosiasi guru-guru yang menganggap sertifikasi ini terlalu sulit, standarnya diturunkan. Guru-guru PNS hanya perlu melaporkan portofolio dengan isi bahan ajar dan pencapaian mereka selama mengajar. Adapun guru-guru PNS yang tidak lulus sertifikasi berdasarkan portofolio ini hanya perlu mengikuti pelatihan khusus selama dua pekan. Hal ini tentunya sangat memudahkan perolehan insentif “tunjangan sertifikasi” sehingga Ree et al. (2018) menyimpulkan bahwa hal ini sama dengan menggandakan bayaran guru-guru PNS secara cuma-cuma. 


Dalam pernyataan dari aparat-aparat pemerintah yang merumuskan kebijakan ini, baik resmi maupun tidak resmi, didapati bahwa kenaikan upah ini memang diharapkan untuk meningkatkan performa mengajar guru sehingga performa akademis peserta didik juga dapat meningkat. Ada beberapa cara hal ini bisa terjadi, pertama, yakni adanya sikap balas budi dari guru-guru PNS yang gajinya ditingkatkan sehingga mereka juga akan meningkatkan usaha mereka dalam mengajar. Kedua, usaha-usaha yang prososial, seperti mewujudkan pendidikan yang berkualitas, adalah sebuah barang normal yang permintaannya (keinginan untuk mewujudkannya) meningkat seiring meningkatnya pendapatan. Ketiga, bahwa peningkatan gaji merupakan suatu tanda akan peningkatan ekspektasi. Ekspektasi ini kemudian menjadi dasar dalam pemberian sanksi maupun imbalan atas performa seseorang. 


Pastinya juga terdapat mekanisme-mekanisme lain selain yang dituliskan tersebut. Kendati demikian, penelitian oleh Ree et al. (2018) tidak berfokus pada hanya salah satu mekanisme, tetapi juga bagaimana secara umum, melalui mekanisme mana pun, penggandaan gaji guru-guru PNS berdampak terhadap peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar. 


Metodologi Penelitian


Karena keterbatasan biaya, umumnya dalam satu tahun, hanya 10% dari guru-guru PNS yang layak untuk mengikuti sertifikasi bisa mengikutinya. Hal ini berarti ada guru-guru PNS yang perlu menunggu lebih lama. Ree et al. (2018) memanfaatkan hal ini. Pendekatan eksperimentalnya dilakukan dengan mempercepat proses sertifikasi guru-guru PNS yang sudah layak, tanpa mengubah kriteria sertifikasi sama sekali. Dari populasi 383 kabupaten/kota yang dapat diakses oleh Ree et al. (2018), mereka mengambil 20 kabupaten/kota secara acak dan terstratifikasi. 


Dari masing-masing kabupaten kota, diambil 12 SD dan 6 SMP secara acak dan terstratifikasi menurut jumlah siswa. Secara total, ada 360 sekolah yang berpartisipasi. Dari 360 sekolah tersebut, 80 sekolah akan diberikan treatment berupa percepatan proses sertifikasi yang disebutkan sebelumnya, sedangkan sisanya akan mengikuti proses sertifikasi seperti sekolah-sekolah lainnya (business as usual). Perlu diketahui juga bahwa guru-guru di seluruh sampel 360 sekolah dibagi menjadi 2 kategori, yaitu guru “target”; yakni yang layak mengikuti tetapi belum mengikuti sertifikasi, dan guru “non-target”; yakni yang belum layak mengikuti sertifikasi. Sekolah dan guru-guru yang layak untuk mengikuti sertifikasi dalam sekolah-sekolah tersebut diinformasikan mengenai projek ini oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Akan tetapi, untuk menjaga agar proyek ini tidak menghadirkan spillover effect, kerahasiaan dari informasi tersebut dijaga dan tidak diberitahukan kepada sekolah-sekolah lain yang tidak terlibat dalam proyek. 


Studi ini dilakukan selama tahun ajar 2009-2010(Y1), 2010-2011(Y2), dan 2011-2012(Y3).  Studi dimulai pada Y1 ketika guru-guru PNS target  kemudian mengikuti sertifikasi. Pada awal Y2, mereka sudah bisa menerima tunjangan senilai 100% dari gaji pokok. Pengumpulan data dilakukan sebelum Y1 sebagai baseline, pada Y2, kemudian pada Y3. 


Data yang digunakan adalah mengenai fasilitas sekolah, keuangan, dan data tingkat sekolah lainnya dari wawancara kepala sekolah. Wawancara guru mencakup pertanyaan tentang demografi, pengalaman, gaji, pekerjaan sampingan, pendapatan (dari pekerjaan sebagai guru PNS dan sumber lain), dan kepuasan kerja. Kami menggunakan kombinasi sekolah dan wawancara guru untuk memetakan guru ke ruang kelas dan mata pelajaran tertentu (yang akan dibutuhkan untuk estimasi dampak IV diajar oleh guru bersertifikat). Selain itu, siswa di semua sekolah juga diuji menggunakan tes pilihan ganda matematika, sains, dan Bahasa Indonesia, dan siswa di sekolah menengah pertama juga diuji Bahasa inggris. Tes tersebut juga mencakup survei demografi singkat untuk mengumpulkan informasi dasar aset rumah tangga dari pelajar. 


Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang akan dibahas pada bagian selanjutnya bersamaan dengan hasil dari penelitian-penelitian yang dilakukan. 


Hasil 

Tahap pertama penelitian dilakukan dengan membandingkan jumlah guru yang mengikuti dan menyelesaikan proses sertifikasi, serta diberikan kompensasi berdasarkan sertifikasi tersebut, pada sekolah-sekolah target dan sekolah-sekolah non-target. Dari tahap ini ditemukan hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Perbedaan Guru Peserta Sertifikasi antara Sekolah-Sekolah Treatment dan Non-Treatment
Tabel 1. Perbedaan Guru Peserta Sertifikasi antara Sekolah-Sekolah Treatment dan Non-Treatment

Hasil dari data tersebut menyatakan bahwa memang terdapat perbedaan yang signifikan antara sekolah-sekolah treatment dan non-treatment dalam hal: (1) Jumlah guru yang memulai atau menyelesaikan proses sertifikasi sebelum Y1 (pada Y0); (2) Jumlah guru-guru yang menyelesaikan proses sertifikasi pada Y2; (3) Jumlah guru-guru tersertifikasi dan menerima tunjangan pada Y3. 


Tahap kedua pada penelitian ini mengukur dampak dari percepatan proses sertifikasi (treatment) kepada guru-guru dari sekolah-sekolah sampel. Kemudian didapat hasil sebagai berikut:

Tabel 2. Tabel Ringkasan Dampak Eksperimen Terhadap Guru-Guru
Tabel 2. Tabel Ringkasan Dampak Eksperimen Terhadap Guru-Guru

Dapat diamati bahwa bagi guru, terbukti dengan jelas bahwa proses sertifikasi berkorelasi negatif yang signifikan dengan kecenderungan guru-guru untuk memiliki pekerjaan kedua, secara signifikan meningkatkan pendapatan total dari guru-guru, serta mengurangi masalah-masalah finansial dan meningkatkan kepuasan atas gaji yang diterima. 


Tahap ketiga dari penelitian ini cukup rumit karena dibagi kembali menjadi dua persamaan yang kemudian diregresikan secara terpisah. Regresi yang pertama dilakukan untuk mengetahui dampak peningkatan jumlah guru-guru yang tersertifikasi (dan menerima kompensasi ganda) dalam suatu sekolah akibat dari treatment terhadap nilai tes siswa-siswinya. Modelnya adalah sebagai berikut: 

ree

Di mana Tijks(Yn) adalah ekspresi untuk nilai tes pelajar i pada mata pelajaran j di tingkat (jenjang kelas) k di sekolah s pada tahun kedua (Y2) dan ketiga (Y3). Tijks(Y0)* adalah variabel yang menyatakan nilai rata-rata dari seluruh pelajar dalam suatu sekolah berdasarkan jenjang kelas dan mata pelajaran yang diujikan pada tahun dasar (sebelum treatment). Tijks (Yn) adalah variabel yang menyatakan nilai tes pada tahun dasar. Variabel terpenting yang jadi pusat perhatian dari model ini adalah variabel Treatmentk yang merupakan variabel dummy perlakuan treatment yang digunakan untuk mengukur dampak dari treatment terhadap nilai pelajar di suatu sekolah. Terakhir ada juga variabel  yang merepresentasikan fixed-effect untuk strata (karena pengambilan sampel dilakukan secara acak terstratifikasi). Hasil dari persamaan regresi terkait parameter beta 2 yang menunjukan pengaruh variabel Treatmentk pada model  ini adalah sebagai berikut: 

Tabel 3. Pengaruh Treatment Terhadap Nilai Pelajar
Tabel 3. Pengaruh Treatment Terhadap Nilai Pelajar

Dapat diamati bahwa model regresi ini tidak menghasilkan korelasi yang signifikan dalam subjek dan mata pelajaran manapun. Artinya, treatment tidak memiliki efek yang signifikan dalam meningkatkan nilai siswa dalam mata pelajaran-mata pelajaran tersebut. 


Ada kekhawatiran bahwa dalam model sebelumnya, hasil yang tidak signifikan bisa jadi merupakan akibat dari treatment itu sendiri. Guru-guru yang sertifikasinya diakselerasi mungkin saja sudah berhasil mengajar dengan lebih baik, tetapi guru-guru yang tidak diakselerasi sertifikasinya (karena memang belum layak), mungkin saja merasa iri sehingga mengalami kekurangan motivasi untuk mengajar. Kekhawatiran ini kemudian diuji kembali dengan mendekomposisi dampak treatment yang disajikan pada tabel . Hasilnya didapati sebagai berikut: 

Tabel 4. Dekomposisi Dampak Treatment Terhadap Nilai 
Tabel 4. Dekomposisi Dampak Treatment Terhadap Nilai 

Dapat diamati bahwa baik guru-guru target maupun non-target sama-sama tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil tes pelajar-pelajar dalam suatu sekolah. 

Selanjutnya, model regresi kembali dikembangkan untuk mengakomodasi penggunaan variabel instrumental. Dalam model ini, variabel instrumental digunakan untuk menggambarkan efek dari diajar oleh seorang guru yang bersertifikasi. Variabel instrumental ini diperoleh dari penugasan acara treatment kepada sekolah-sekolah. Modelnya adalah sebagai berikut:

ree

 Dapat diamati bahwa baik guru-guru target maupun non-target sama-sama tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil tes pelajar-pelajar dalam suatu sekolah. 

Selanjutnya, model regresi kembali dikembangkan untuk mengakomodasi penggunaan variabel instrumental. Dalam model ini, variabel instrumental digunakan untuk menggambarkan efek dari diajar oleh seorang guru yang bersertifikasi. Variabel instrumental ini diperoleh dari penugasan acara treatment kepada sekolah-sekolah. Modelnya adalah sebagai berikut: 

ree

Dalam persamaan ini, 2 adalah parameter yang dijadikan perhatian utama. Akan tetapi, ada juga masalah test score decay, yakni pengurangan skor hasil tes, atau pengurangan kemampuan dari suatu tes untuk menunjukkan perubahan yang diakibatkan treatment karena tes yang dilakukan secara berulang-ulang. Masalah ini kemudian ditangani dengan menyertakan juga parameter  dalam dalam tabel hasil regresi berikut:

Tabel 5. Hasil Regresi dengan Instrumental Variable 
Tabel 5. Hasil Regresi dengan Instrumental Variable 

Dengan fokus pada siswa yang diajar oleh guru target, dapat tidak terbukti adanya efek positif yang lebih besar dari 0,07σ pada tingkat signifikansi 95% dalam data Y2. Dalam data Y3, pada estimasi yang mencakup siswa yang diajar oleh guru target baik di Y2 maupun Y3, ditemukan bahwa efek positif yang lebih besar dari 0,1σ dapat ditolak pada tingkat signifikansi 95%. Bersamaan dengan uji heterogenitas lainnya, dapat disimpulkan bahwa treatment (sertifikasi guru-guru) masih tidak berpengaruh terhadap hasil tes peserta didik. 

Perihal Efektivitas Biaya dan Rekomendasi Kebijakan 

Pertama-tama, harus dipahami bahwa peningkatan gaji guru PNS dalam konteks ini bukan suatu biaya sosial, sebab uang yang digunakan untuk menggaji guru-guru PNS berasal dari pajak masyarakat. Biaya sosial ada pada deadweight loss yang terjadi dengan meningkatkan pajak untuk menambah gaji guru-guru PNS, dan biaya yang dikeluarkan dalam implementasi sertifikasi. Perlu dipahami juga bahwa terkait dengan biaya peluang hanya dibatasi pada program-program pendidikan lainnya dan bukan ke program lain seperti infrastruktur dan lainnya. 

Diketahui dari hasil riset, bahwa karena tidak adanya peningkatan performa akademis pelajar, peningkatan gaji guru-guru PNS dengan cara seperti ini tidaklah efektif. Satu-satunya kemungkinan pendekatan ini dapat efektif adalah apabila diharapkan suatu dampak jangka panjang di mana kenaikan gaji guru-guru PNS akan menarik orang-orang yang kompeten. Berdasarkan model yang dikembangkan de Ree (2016), peningkatan 1σ pada nilai tes guru meningkatkan 0,175σ nilai tes pelajar sehingga dibutuhkan 138 USD per tahun per siswa untuk meningkatkan 0,175σ nilai tes nya. 

Meskipun terdapat mekanisme yang bisa dimanfaatkan, studi dari negara lain telah menunjukkan bahwa ada cara-cara yang lebih efisien dibandingkan dengan apa yang dilakukan di Indonesia. Studi di India telah menunjukkan bahwa dengan memberikan bonus berupa insentif kinerja baik, yang diukur melalui peningkatan kemampuan peserta didik, hanya diperlukan 4 USD per tahun per peserta didik untuk meningkatkan nilai tes pelajar sebesar 0,15σ. 

Penting untuk mengusahakan kebijakan-kebijakan yang sifatnya segera. Argumen mengenai dampak jangka panjang dapat dikatakan tidak memadai karena beberapa hal. Pertama, adanya time value of money sehingga dampak jangka panjang pastinya akan tererosi oleh discount rate tertentu,= dan tidak bisa dinikmati sebesar dampak jangka pendek, apabila terkait dengan perbaikan pendidikan. Kedua, kendatipun peningkatan upah secara cuma-cuma dapat menarik talenta-talenta dari masyarakat, talenta-talenta tersebut bisa saja bekerja di sektor lain yang membuatnya lebih produktif. Adalah lebih penting untuk meningkatkan kompetensi dan hasil dari guru-guru PNS yang saat ini sudah aktif bekerja. Ketiga, ada hasil riset yang menunjukan bahwa pekerja (guru-guru PNS) yang bersedia untuk menerima sistem gaji rata-rata dengan kompensasi yang berdasarkan kompetensi dan produktivitas umumnya adalah orang-orang yang lebih produktif, sehingga hal ini dapat mendorong budaya produktivitas dalam masyarakat (Muralidharan and Sundararaman, 2011). 

Komentar Pengulas 

Terkait dengan aspek-aspek teknis dari Jurnal ini, pengulas merasa sangat tertarik, karena menggunakan metode eksperimental, tapi melalui saluran-saluran yang sudah ada. Hasilnya dapat dibuktikan pula dengan metode-metode statistika yang kuat dan akurat. Dengan metode seperti ini, biaya penelitian bisa saja berkurang apabila dibandingkan dengan memulai eksperimen baru. Akan tetapi, yang lebih penting daripada itu, metode seperti ini dapat diterapkan untuk melakukan uji efektivitas atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang sudah berlaku, dan menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan kinerja kebijakan kedepannya. 

Terkait dengan aspek-aspek relevansi, banyak kontroversi yang terjadi seputar kompensasi untuk guru, terutama guru-guru honorer. Mengutip artikel pada situs IDEAS (2024), 42% dari keseluruhan sampel guru yang mereka survey (mencakup PNS, swasta tetap yayasan tetap, dan honorer) memiliki penghasilan dibawah 2 juta rupiah per bulan. Secara khusus, 74% guru honorer atau kontrak memiliki penghasilan dibawah 2 juta rupiah per bulan. Tentunya rendahnya kompensasi bagi guru memiliki dampak yang besar terhadap kinerja sektor pendidikan di Indonesia. Diketahui bahwa 55,8% guru memiliki pekerjaan sampingan, hal ini tentunya akan berdampak, setidaknya dalam hal biaya peluang. Ada usaha yang seharusnya bisa dialihkan ke perbaikan pendidikan di Indonesia. Selain itu, rendahnya gaji juga menimbulkan masalah-masalah finansial lain, seperti lilitan hutang dan keperluan menggadaikan barang-barang, yang tentunya secara psikis dapat mempengaruhi kinerja guru. 

Di sisi lain, berdasarkan undang-undang dasar 1945, Indonesia wajib mengalokasikan 20% dari APBN nya untuk sektor pendidikan. Pada tahun 2025, nilainya mencapai 724,3 triliun rupiah (kemenkeu, 2025). Masalah utama bukanlah besar atau kecilnya nilai alokasi APBN untuk pendidikan, tetapi apakah alokasi tersebut menimbulkan dampak yang optimal untuk mencapai tujuan-tujuannya. Pada nota keuangan APBN, tercantum tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui APBN, kemudian hasil yang diharapkan dan berhasil didapatkan. Bahkan hal-hal seperti skor matematika dan literasi juga menjadi target. Sayangnya, target yang dicantumkan hanya berupa volume (kuantitas), dan belum ada target yang sifatnya peningkatan kualitas akademik. Kalaupun disebutkan bahwa terdapat perbaikan yang sifatnya kualitatif dalam dokumen-dokumen yang berhubungan dengan APBN, umumnya metodologi yang digunakan tidak dijelaskan secara detail, sehingga validitasnya tidak diketahui. Maka dalam hal ini, adalah tanggung jawab dari negara untuk menjamin, setidaknya mengusahakan sebaik mungkin, bahwa rancangan dan eksekusi penggunaan anggarannya berjalan dengan efektif dan efisien. Transparansi dan komunikasi publik yang baik menjadi kunci dalam memperbaiki arah jalannya kebijakan, dan kompensasi bagi PNS yang berasal dari pajak warga negara harus sebesar-besarnya diarahkan untuk kebaikan masyarakat yang objektif, aktual, dan manfaatnya benar dirasakan. 



 
 
 

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page