Saat Sepakbola Menjadi Arena Sirkus Politik
- KANOPI FEB UI
- Aug 24
- 9 min read

Tahun 2013, masih teringat jelas di benak saya bagaimana gemuruh sorak penonton memecah kesunyian malam kala itu ketika Ilhamudin Armain berhasil mengeksekusi penalti penentu kemenangan Timnas U-19 atas Vietnam di Final Piala AFF U-19.. Malam yang semula sepi mendadak berubah riuh. Kakek saya, yang dikenal gengsi dalam mengekspresikan emosi, tak mampu menyembunyikan raut kebahagiaan di wajahnya ketika menyaksikan skuad Garuda Muda meraih juara di tengah surutnya prestasi sepakbola Indonesia. Dari setiap rumah terdengar sorakan yang serentak pecah. Bahkan tetangga kami, yang kerap berselisih karena perbedaan pilihan politik, malam itu duduk bersama di lapangan, merayakan kemenangan timnas dengan penuh suka cita.
Kala itu, kesuksesan Garuda Muda di Piala AFF 2013 bukan sekadar trofi yang terangkat di atas kepala para pemain, melainkan tonggak harapan akan kebangkitan Indonesia di pentas sepak bola dunia. Lebih dari itu, kemenangan timnas menjadi saksi bahwa sepak bola adalah bahasa universal, bahasa yang tak mengenal sekat suku, agama, apalagi pilihan politik. Malam itu, seluruh masyarakat Indonesia bersorak dalam satu suara, larut dalam euforia yang sama, seakan semua perbedaan sirna.
Namun sayang, euforia kemenangan timnas itu tak bertahan lama. Dua tahun berselang, tepatnya 2015, menjadi tahun kelam bagi sepak bola Indonesia. Bukan karena timnas gagal menjuarai turnamen internasional, apalagi kehilangan pemain andalan, melainkan karena independensi sepak bola kita runtuh akibat intervensi politik. Prestasi Garuda Muda yang tengah menanjak di kancah internasional tercoreng oleh ulah para elit di tubuh federasi tertinggi sepak bola Indonesia, PSSI. Sepak bola, yang seharusnya bebas dari kepentingan politik, justru dijadikan kendaraan perebutan kuasa. Alhasil, Kursi Ketua Umum PSSI dipandang sebagai posisi strategis, hingga memicu pertarungan kepentingan yang melahirkan dualisme liga, Indonesia Super League (ISL) dan Indonesian Premier League (IPL). Kisruh internal itu akhirnya mendorong pemerintah, melalui Kemenpora, turun tangan dengan membekukan PSSI. Namun langkah tersebut justru berbuah pahit, FIFA menjatuhkan sanksi yang melarang timnas Indonesia tampil di ajang internasional. Sejak saat itu, asa Garuda untuk terbang tinggi perlahan pupus. Betapa ironis, momentum kebangkitan sepak bola Indonesia justru terhenti oleh ulah para pengurus federasinya sendiri.
Hari ini, sepuluh tahun sejak FIFA menjatuhkan sanksi, PSSI dengan sokongan pemerintah tampak serius merangkai kembali kejayaan sepak bola Indonesia di kancah internasional. Perlahan, regulasi liga domestik mulai dibenahi, disusul dengan program naturalisasi pemain yang digencarkan demi mempercepat langkah timnas menuju mimpi besar untuk tampil di Piala Dunia. Namun sayang, bayang-bayang politik masih terus menyelimuti. Kehadiran politisi yang kerap mencari panggung lewat asosiasi dengan sepak bola, ditambah kebijakan yang sarat kepentingan, memperlihatkan betapa sulitnya menjaga independensi sepak bola Indonesia dari pengaruh politik. Pada akhirnya, sepak bola tetap menjadi komoditas politik yang terlalu menggiurkan untuk dilepaskan. Pertanyaannya, mengapa harus sepak bola?
Sepakbola Dalam Pusaran Kekuasaan
Peran sepak bola di dalam arena politik memang tak bisa terelakkan, terutama di Indonesia. Dengan basis penggemar sepak bola yang sangat besar, bahkan diperkirakan mencapai 165,48 juta jiwa (Country Cassete, 2025) sepak bola dianggap menjadi komoditas politik yang sangat berharga. Kasus pernyataan penolakan terhadap keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia Kelompok Umur 20 oleh beberapa politikus, termasuk Ganjar Pranowo, yang kemudian menjadi akar dibatalkannya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia belum lama ini, menjadi contoh nyata betapa besar peran sepak bola dalam kancah perpolitikan Indonesia. Pasalnya, setelah melontarkan pernyataan tersebut, hasil survei Ganjar Pranowo, yang kala itu merupakan bakal calon presiden, menurun secara signifikan (Setuningsih & Guritno, 2023). Hal ini terjadi karena masyarakat menilai Ganjar Pranowo sebagai dalang kegagalan mereka untuk menyaksikan skuad Garuda Muda berlaga di turnamen paling bergengsi dalam dunia sepak bola internasional.
Hal ini seakan menggambarkan bahwa mengasosiasikan diri dengan sepak bola memberikan dampak yang masif terhadap karier politik politisi (PERMANA, 2017). Karena itu, sepak bola kerap menjadi ladang praktik clientelism, di mana politisi rela mengeluarkan program, bahkan mengucurkan dana pribadi, demi merebut hati basis penggemar sepak bola Indonesia (Paradiso, 2014). Maka jangan heran jika ada politisi yang berjanji berinvestasi ratusan miliar untuk sebuah klub, politisi yang mendadak berpura-pura mendukung klub tertentu menjelang pemilu, atau jika pembangunan stadion sepak bola dijadikan program unggulan kampanye. Pasalnya, membangun citra loyalitas terhadap klub sepak bola atau tim nasional merupakan langkah catur politik yang strategis. Hal ini tidak terlepas dari masifnya basis penggemar sepak bola di Indonesia. Terlebih, para penggemar, khususnya ultras, dikenal dengan loyalitas dan militansi yang tiada duanya (PERMANA, 2017). Alhasil, banyak politisi berlomba-lomba tampil sebagai “mesiah” di dunia sepak bola demi memobilisasi dukungan politik dari para penggemar domestik.
Praktik Clientelism di dunia sepak bola bukan hanya terlihat dari politisi individu, tetapi juga melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Di tengah efisiensi anggaran besar-besaran yang dilakukan oleh Pemerintah, menjadi sebuah anomali bagaimana PSSI tetap mendapatkan kucuran dana yang sangat masif dari alokasi APBN yang mencapai angka 277 miliar rupiah di tahun 2025, meningkat 27 miliar dari tahun 2024. Pemerintah berdalih jika ini dilakukan untuk menopang kebutuhan Timnas Indonesia yang saat ini sisa dua langkah lagi menuju Piala Dunia 2026 (Yudi, 2025). Merupakan argumen yang dapat diterima jika memang Pemerintah beralasan bahwa kesuksesan timnas untuk dapat lolos Piala Dunia 2026 akan memberikan timbal balik yang masif bagi perekonomian Indonesia. Pasalnya mampu bertanding di salah satu ajang olahraga paling bergengsi di dunia akan membuat nama Indonesia lebih dikenal di kancah Internasional, hal ini dapat berdampak pada meningkatnya volume perdagangan Indonesia di pasar global (Avsar & Unal, 2014).
Namun, yang menjadi persoalan adalah adanya diskriminasi anggaran yang begitu masif antarcabang olahraga nasional. Ambil contoh cabang basket. Ketika tim nasional diberi kesempatan tampil di ajang paling bergengsi, FIBA World Cup 2023 lalu, pemerintah hanya mengucurkan anggaran sebesar Rp135 miliar kepada PP Perbasi (Triyogo, 2023). Jumlah yang memang masif, tetapi masih jauh lebih kecil dibandingkan dana 277 miliar dialokasikan untuk PSSI dalam menopang timnas sepak bola Indonesia menuju Piala Dunia 2026. Contoh lain dapat dilihat pada cabang akuatik, cabang yang langganan mengirim wakil ke Olimpiade dan rutin menyumbang medali di ajang ASEAN maupun Asian Games. Pada 2025, cabang ini hanya mendapat anggaran Rp9,9 miliar (Meodia, 2025). Lebih ironis lagi, anggaran tersebut turut terkena pemangkasan efisiensi, sehingga para atlet pelatnas renang kini terancam tidak bisa mengikuti turnamen persiapan menjelang ASEAN Games di akhir tahun ini (Salasah, 2025).
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan. Perbandingan dengan FIBA World Cup misalnya, cukup janggal bagaimana timnas basket pada 2023 lalu tidak memperoleh dukungan anggaran yang setara dengan timnas sepak bola. Padahal, pada tahun tersebut tidak ada kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan pemerintah. Kondisi perekonomian pun relatif berangsur normal, apalagi jika dibandingkan dengan tahun ini yang tengah diterpa badai ketidakpastian global. Seharusnya, pemerintah dapat memberikan dukungan dengan nominal setidaknya setara dengan yang dialokasikan untuk PSSI tahun ini, jika memang tujuan utama pengeluaran di sektor olahraga adalah untuk memberikan timbal balik bagi perekonomian nasional. Terlebih, pada saat itu pemerintah sedang giat-giatnya meningkatkan belanja negara, di mana realisasi belanja Pemerintah Pusat mencapai 115,2% dari alokasi APBN pada tahun 2023 (Saptati, 2024).
Ambisi (Kelewat) Besar Piala Dunia 2026
Besarnya ladang praktik clientelism serta masifnya kucuran dana pemerintah menjadikan kursi Ketua Umum PSSI sebagai jabatan yang sangat strategis. Tidak heran jika posisi ini hampir selalu ditempati oleh para elit politik, dan jarang sekali dipegang oleh profesional yang benar-benar memahami seluk-beluk sepak bola nasional. Di mana dalam dua dekade terakhir, dari sembilan ketua umum PSSI, hanya dua nama yang tidak memiliki latar belakang politik, itu pun masa jabatan mereka masing-masing hanya bertahan di bawah satu tahun (PSSI, 2025).
Akibatnya, dari tahun ke tahun, perkembangan sepak bola Indonesia cenderung berjalan di tempat. Kebijakan dan target yang ditetapkan PSSI selama ini tampak myopic, atau lebih mengedepankan pencapaian jangka pendek dibandingkan visi jangka panjang, sehingga sarat akan kepentingan politik (Daffa, 2014). Sebelum kepengurusan saat ini, misalnya, PSSI lebih berfokus pada turnamen-turnamen regional seperti AFF dan Asian Games, yang saingannya hanya negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, dan Vietnam.
Hal ini tentu tidak mengherankan, mengingat Ketua Umum PSSI hanya memiliki waktu empat tahun dalam satu periode kepengurusan. Betapa strategisnya jabatan tersebut membuat posisi Ketua Umum PSSI selalu berada di sorotan publik. Kondisi ini menimbulkan masalah short-termism, di mana setiap kepengurusan cenderung mengedepankan quick wins di ajang turnamen regional ketimbang melakukan pembenahan sepak bola Indonesia dari akar. Pasalnya, jika timnas gagal meraih prestasi dalam satu periode kepengurusan, karier politik Ketua Umum akan terkena imbasnya, sekaligus meningkatkan potensi untuk tidak terpilih kembali pada periode berikutnya (Core: The Economics, 2017).
Permasalahan inilah yang tampaknya berusaha dibenahi oleh kepengurusan PSSI saat ini di bawah kepemimpinan Erick Thohir. Wacana pembangunan training center, pembenahan kompetisi liga, hingga perbaikan regulasi wasit menunjukkan keseriusan federasi dalam membangun fondasi sepak bola Indonesia. Target pencapaian timnas pun tidak lagi sebatas meraih gelar di turnamen-turnamen regional, melainkan diarahkan pada mimpi besar untuk dapat tampil di Piala Dunia 2026.
Namun, dalam sejumlah kebijakan, masih terdapat hal-hal yang dinavigasi dengan gaya politik yang terkesan myopic dan sekadar mengincar quick wins. Salah satu yang patut disorot adalah akselerasi naturalisasi yang dijadikan senjata utama PSSI untuk mewujudkan ambisi besar meloloskan Indonesia ke Piala Dunia 2026. Di satu sisi, naturalisasi pemain diaspora merupakan langkah positif karena mampu meningkatkan kualitas permainan sekaligus memperkuat tingkat kompetisi antar pemain timnas (Muhammad, 2025). Akan tetapi, di sisi lain, kebijakan naturalisasi yang saat ini ditempuh PSSI cenderung terkesan tergesa-gesa. Hampir di setiap tahapan ronde kualifikasi, selalu ada pemain diaspora baru yang masuk ke dalam skuad Garuda. Kondisi ini tentu berpotensi mengganggu chemistry tim, terutama ketika timnas sedang berada di tengah perhelatan penting. Pelatih pun terpaksa melakukan bongkar pasang susunan pemain, sehingga pemain yang sebelumnya sudah beradaptasi dengan taktik maupun rekan setim harus digantikan oleh pemain baru yang masih memerlukan waktu untuk beradaptasi (Barreira et al., 2019).
Hal lain yang perlu disorot adalah keputusan PSSI menggantikan Shin Tae-yong dengan Patrick Kluivert di tengah perhelatan ronde kualifikasi Piala Dunia. Keputusan ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, Shin Tae-yong yang telah melatih timnas sejak tahun 2019 dan memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan sepak bola Indonesia, secara mendadak dicopot pada ronde ketiga kualifikasi, hanya beberapa bulan sebelum laga krusial melawan Australia. Keputusan ini sangat berisiko, sebab para pemain harus beradaptasi dengan taktik pelatih baru dalam jangka waktu yang sangat singkat, sekitar tiga bulan sebelum pertandingan berikutnya (Grusky, 1963). Alhasil, timnas tidak mampu tampil maksimal dan harus menelan kekalahan telak 1–5 dari Australia kala itu.
Walaupun tampak sedang berbenah, banyak kebijakan yang terkesan terburu-buru dan berisiko tinggi ini menunjukkan gejala short-termism, seolah-olah Erick Thohir, selaku Ketua Umum PSSI, menggantungkan karier politiknya pada nasib Timnas Indonesia di ronde kualifikasi Piala Dunia 2026. Pasalnya, masa jabatan Erick Thohir hanya tersisa dua tahun, dan setelah kegagalan timnas pada Piala Asia 2023 lalu, kini tersisa panggung Piala Dunia 2026 yang menjadi kesempatan baginya untuk tampil sebagai “mesiah” sepak bola Indonesia. Jika timnas gagal lolos ke Piala Dunia, melihat banyaknya polemik yang muncul dari keputusan PSSI selama ia memimpin, mulai dari perdebatan mengenai penggunaan pemain naturalisasi hingga pencopotan Shin Tae-yong, tentu karier politik Erick Thohir akan terancam. Namun, jika berhasil, popularitas Erick Thohir akan melejit karena dianggap sebagai pahlawan oleh basis penggemar timnas yang jumlahnya sangat besar (Duerden, 2025).
Membenahi Sepakbola Tidak Semudah Menggeser Tiang Gawang
Singkatnya, politik dan sepak bola merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Terlalu banyak insentif bagi para politisi untuk tidak mengaitkan diri dengan sepak bola, sehingga campur tangan dalam tata kelola the beautiful game ini nyaris tak terhindarkan. Sebenarnya, tidak sepenuhnya keliru jika politisi turut serta, bahkan terjun langsung ke dunia sepak bola. Namun, masalah muncul ketika keterlibatan tersebut hanya dilandasi kepentingan pribadi dan popularitas politik semata. Tata kelola PSSI selama ini menjadi contoh nyata bagaimana para elite politik cenderung merumuskan kebijakan berorientasi jangka pendek, tanpa visi jangka panjang untuk menyelesaikan permasalahan struktural yang krusial bagi perkembangan sepak bola di masa depan.
Sama seperti dalam bernegara, membenahi sistem sepak bola nasional tidaklah semudah menggeser tiang gawang. Tentu amat menggugah bagi para pengurus federasi untuk mengeluarkan visi, misi, serta kebijakan yang bersifat populis dan berjangka pendek, mengingat besarnya basis massa penggemar sepak bola. Namun, perlu ada kesadaran bahwa posisi ketua umum PSSI bukan sekadar jabatan administratif, apalagi batu loncatan karier politik. Karena itu, diperlukan penyeimbangan antara aspek politik dan teknokratis, juga antara visi jangka pendek dan jangka panjang, dalam pembangunan sepak bola nasional
Pada akhirnya, olahraga bukanlah sekadar permainan, melainkan bahasa yang mampu menyatukan bangsa yang begitu besar. Karena itu, diskriminasi antar-cabang olahraga tidak sepatutnya terjadi, pembagian anggaran harus benar-benar didasarkan pada kebutuhan serta prestasi masing-masing cabang. Jabatan pengurus federasi pun tidak boleh dipandang sebagai kendaraan politik, apalagi ruang untuk membagi-bagi kekuasaan. Sudah sepatutnya, apa pun cabang olahraganya, tidak dilihat sebagai komoditas politik, melainkan aset berharga bagi Garuda untuk dapat terbang tinggi di kancah internasional.
Reference:
Avsar, V., & Unal, U. (2014). Trading effects of the FIFA World Cup. Kyklos, 67(3), 315–329. https://doi.org/10.1111/kykl.12056
Barreira, J., De Sousa, G. C., & Galatti, L. R. (2019). Player turnover and team performance in FIFA Women’s World Cup. Motriz Revista De Educação Física, 25(3). https://doi.org/10.1590/s1980-6574201900030002
Country Cassette. (2025). (Soccer) Football Fans by Country 2025. Country Cassette. https://countrycassette.com/rankings-sports-football-fans-by-country/
Daffa, I. (2024). Olah Raga dan Politik: Analisis Jabatan Ketua Umum PSSI Sebagai Kendaraan Politik Periode 2016-2022 [Thesis, Universitas Nasional]. http://repository.unas.ac.id/id/eprint/10385
Duerden, J. (2025, January 14). The future is Oranje: Kluivert arrival underpins Indonesia’s Dutch shift. The Guardian. https://www.theguardian.com/football/2025/jan/14/the-future-is-oranje-kluivert-arrival-underpins-indonesia-going-dutch
Grusky, O. (1963). Managerial Succession and Organizational Effectiveness. American Journal of Sociology, 69(1), 21–31. http://www.jstor.org/stable/2775308
Meodia, A. (2025, April 17). Pengamat minta anggaran Kemenpora untuk federasi olahraga diawasi. Antara News. https://www.antaranews.com/berita/4777597/pengamat-minta-anggaran-kemenpora-untuk-federasi-olahraga-diawasi
Muhammad, B. (2025, August 22). Dampak Positif Naturalisasi Pemain Keturunan untuk Timnas Indonesia PSSI. Good News From Indonesia. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2024/05/01/dampak-positif-naturalisasi-pemain-keturunan-untuk-timnas-indonesia-pssi
Paradiso, E. (2014). Football, clientelism and corruption in Argentina: an anthropological inquiry. Soccer and Society, 17(4), 480–495. https://doi.org/10.1080/14660970.2014.919269
PERMANA, Y. S. (2017). When the Supporters Do Not Support: Politicizing a Soccer Fan Club in an Indonesian Election. Contemporary Southeast Asia, 39(3), 552–573. http://www.jstor.org/stable/44684055
PSSI. (2025). Daftar Ketua Umum PSSI. PSSI - Football Association of Indonesia. https://www.pssi.org/about/chairman
Salasah, R. (2025, March 13). Perjuangan ganda para perenang Indonesia. Kompas.id. https://www.kompas.id/artikel/perjuangan-ganda-para-perenang-indonesia
Saptati, R. S. (2024, January 2). Kinerja APBN 2023 Luar Biasa, Capai Target Lebih Cepat dan Sehatkan Ekonomi Nasional. Media Keuangan Kemenkeu. https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/kinerja-apbn-2023-luar-biasa-capai-target-lebih-cepat-dan-sehatkan-ekonomi-nasional
Setuningsih, N., & Guritno, T. (2023, May 23). Survei Litbang “Kompas”: Elektabilitas Ganjar Turun Imbas Tolak Timnas Israel di Piala Dunia U20. KOMPAS.com. https://nasional.kompas.com/read/2023/05/24/05575291/survei-litbang-kompas-elektabilitas-ganjar-turun-imbas-tolak-timnas-israel
Susila, A. (2024, December 24). Kegagalan Timnas di Piala AFF: Realitas Kompetisi dan Ilusi Prestasi. Olahraga. https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20241223212146-142-1180433/kegagalan-timnas-di-piala-aff-realitas-kompetisi-dan-ilusi-prestasi
Triyogo, A. W. (2023, May 24). Kemenpora Gelontorkan Dana Rp 135 Miliar untuk FIBA World Cup 2023 di Indonesia. Tempo. https://www.tempo.co/olahraga/kemenpora-gelontorkan-dana-rp-135-miliar-untuk-fiba-world-cup-2023-di-indonesia-184511
Yudi, A. L. (2025, June 9). Pemerintah Gelontorkan Rp 277 Miliar untuk Dukung Timnas. Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/pemerintah-gelontorkan-rp-277-miliar-untuk-dukung-timnas-1673512



Bagus