Pertumbuhan Semu, Kebenaran Membisu
- KANOPI FEB UI
- Aug 28
- 8 min read

Judul Artikel : “Governments Manipulate Official Statistics: Institutions Matter ”
Penulis : Andre Briviba, Bruno Frey, Louis Moser, Sandro Bieri
Tahun Terbit : 2024
Jurnal : European Journal of Political Economy
Pengulas Muhammad Aldo
Ketika Angka Resmi Tidak Sepenuhnya Benar
Di atas kertas, perekonomian sebuah negara bisa terlihat stabil dan aman. Angka pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi terkendali, hingga pengangguran rendah. Namun, di balik laporan resmi yang disampaikan pemerintah, kebenaran bisa jadi jauh berbeda. Angka-angka itu tidak selalu murni mencerminkan kenyataan karena sebagian bisa saja hasil dari perbaikan demi kepentingan politik. Praktik merekayasa data ekonomi bukanlah sebuah cerita baru. Yunani dan Italia pernah dituduh mengubah data defisit untuk memenuhi syarat masuk Euro Zone. Argentina, Turki, dan China juga dilaporkan melakukan hal serupa pada berbagai statistik ekonomi. Di Turki, misalnya, penelitian independen pada 2022 memperkirakan inflasi mencapai 160 persen, dua kali lipat dari angka resmi 79 persen, dan mayoritas masyarakat lebih percaya pada hasil penelitian itu dibandingkan data pemerintah (The Economist, 2022).
Di tengah banyaknya kasus manipulasi data yang terekspos media, fakta yang mengejutkan adalah betapa sedikitnya penelitian yang secara langsung membahas seberapa besar manipulasi ini dan apa yang memicunya (Feldstein, 2017). Literatur terdahulu hanya menyinggung bias data tanpa mengupas insentif politik di baliknya. Padahal, dampaknya terasa nyata. Pembuat kebijakan bisa salah mengambil keputusan jika data yang mereka pakai tidak akurat. Bahkan, kalaupun mereka sadar ada manipulasi, ketidakpastian mengenai kondisi riil tetap membuat kebijakan berisiko salah arah. Pejabat di level bawah yang tidak mengetahui adanya manipulasi akan lebih rentan membuat kebijakan keliru karena menganggap angka resmi adalah gambaran sebenarnya.
Dampak yang Meluas dan Tantangan Mengukurnya
Manipulasi data juga berpengaruh di tingkat internasional. Lembaga seperti IMF atau Bank Dunia dapat salah menyalurkan bantuan jika data negara penerima tidak akurat. Ada kemungkinan negara masuk ke sistem moneter baru meskipun tidak memenuhi syarat (Rauch et. al., 2011). Di dunia akademik, konsekuensinya juga sangat besar. Banyak studi empiris menggunakan data resmi untuk memprediksi dan menganalisis perekonomian. Jika datanya bias, kesimpulan yang dihasilkan juga bias. Adapun mendeteksi manipulasi data bukan perkara mudah. Metode seperti hukum Benford, survei, atau wawancara punya keterbatasan.
Lantas, Bagaimana Mengatasinya?
Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini mencoba memberikan pemahaman yang lebih baik tentang fenomena manipulasi data statistik. Studi ini ingin mengetahui sejauh mana pemerintah memanipulasi data resmi, khususnya angka GDP, dan faktor-faktor apa yang memengaruhi praktik tersebut. Peneliti menguji apakah keterbukaan politik, keterbukaan ekonomi, kebebasan pers, desentralisasi, dan independensi lembaga statistik berperan dalam memperbesar atau memperkecil kemungkinan manipulasi.
Untuk melakukan pengukuran data, GDP resmi dibandingkan dengan perkiraan GDP berbasis citra satelit cahaya malam yang sulit dimanipulasi. Cahaya malam yang terekam satelit menjadi indikator aktivitas ekonomi karena wilayah dengan kegiatan ekonomi lebih tinggi biasanya memancarkan cahaya lebih terang dan luas. Data ini bersifat independen, konsisten antarnegara, dan sulit dimanipulasi oleh pemerintah. Selisih antara kedua GDP tersebut digunakan sebagai indikator potensi manipulasi.
Adapun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:
Keterbukaan politik menurunkan manipulasi
Negara yang terhubung secara politik dengan komunitas internasional menghadapi pengawasan lebih ketat dan risiko reputasi lebih besar sehingga insentif memanipulasi data berkurang.
Keterbukaan ekonomi menurunkan manipulasi
Integrasi dalam perdagangan dan investasi membuat data lebih mudah diverifikasi oleh mitra internasional sehingga peluang manipulasi mengecil.
Kebebasan pers menurunkan manipulasi
Media yang bebas dapat menyoroti dan membongkar inkonsistensi data, memberi tekanan agar pemerintah melaporkan angka yang lebih akurat.
Desentralisasi meningkatkan manipulasi
Semakin banyak otoritas lokal yang terlibat dalam pelaporan data, semakin besar risiko perbedaan standar, inkonsistensi, dan manipulasi untuk kepentingan daerah.
Independensi badan statistik menurunkan manipulasi
Lembaga statistik yang otonom dari intervensi politik cenderung menjaga integritas proses pengumpulan dan pelaporan data.
Pengumpulan Data dan Metodologi
Penelitian ini menggunakan data panel yang mencakup 195 negara selama periode 2013 hingga 2019. Periode tersebut dipilih karena data citra satelit cahaya malam (VIIRS Night-Time Lights) tersedia secara konsisten sejak 2013, sekaligus untuk menghindari distorsi besar akibat pandemi Covid-19 setelah tahun 2019. Cakupan negara yang luas memungkinkan analisis perbandingan lintas wilayah dengan karakteristik ekonomi, politik, dan institusional yang beragam. Variabel utama meliputi GDP resmi, estimasi GDP berbasis cahaya malam, indikator keterbukaan politik dan ekonomi, kebebasan pers, desentralisasi, dan independensi badan statistik. Data diperoleh dari berbagai sumber internasional seperti World Bank, KOF Globalization Index, Reporters Without Borders, dan database citra satelit VIIRS. Beberapa variabel, seperti independensi badan statistik, hanya tersedia untuk kelompok negara tertentu sehingga analisis terhadap variabel tersebut dilakukan pada sampel yang lebih kecil.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dua tahap untuk mengidentifikasi potensi manipulasi data GDP dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhinya. Tahap pertama bertujuan menghitung deviasi antara angka resmi dan estimasi independen. Tahap kedua menganalisis hubungan antara deviasi tersebut dan faktor-faktor institusional yang menjadi hipotesis penelitian.
Tahap Pertama: Mengestimasi Deviasi GDP
Hubungan antara GDP resmi dan intensitas cahaya malam diestimasi dengan model

dimana :

Residual ini digunakan sebagai indikator potensi manipulasi data. Nilai positif mengindikasikan over-reporting, sementara nilai negatif mengindikasikan under-reporting.
Tahap Kedua: Menjelaskan Determinan Deviasi
Residual dari tahap pertama dijadikan variabel terikat dalam model berikut:

Estimasi dilakukan menggunakan Ordinary Least Squares (OLS) dengan standard error robust. Pendekatan ini memungkinkan analisis korelasional antara karakteristik institusional dan kecenderungan manipulasi data lintas negara.

Gambar 1 menampilkan peta dunia yang memvisualisasikan deviasi antara GDP resmi dan estimasi GDP berbasis citra satelit cahaya malam untuk seluruh negara dalam periode 2013–2019. Warna pada peta dibedakan untuk menunjukkan negara yang melaporkan GDP lebih tinggi dari estimasi satelit (over-reporting) dan negara yang melaporkan lebih rendah (under-reporting). Semakin terang warna pada peta, maka semakin tinggi pula nilai over-reporting GDP yang dilaporkan dan begitupun sebaliknya. Pola pada peta menunjukkan variasi geografis yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa kawasan didominasi oleh satu arah deviasi tertentu. Visualisasi ini memberikan gambaran spasial yang ringkas mengenai distribusi perbedaan antara data resmi dan estimasi independen.
Tabel 1 Regresi OLS Negara Over-reporting

Tabel 1 menampilkan hasil regresi OLS untuk negara-negara dengan over-reporting GDP, yaitu ketika GDP resmi lebih tinggi daripada estimasi berbasis cahaya malam. Semua variabel telah distandarisasi sehingga koefisien menunjukkan perubahan dalam deviasi standar. Hasil pada kolom (1) dan (2) menggunakan seluruh sampel, sedangkan kolom (3) dan (4) terbatas pada negara Afrika yang memiliki data independensi badan statistik. Kolom (2) dan (4) juga mengontrol efek tetap tahun. Temuan utama menunjukkan bahwa keterbukaan ekonomi berkorelasi negatif dan signifikan terhadap over-reporting, mendukung hipotesis bahwa integrasi ekonomi global mengurangi insentif manipulasi data. Sebaliknya, desentralisasi memiliki hubungan positif dan signifikan, mengindikasikan bahwa pembagian kekuasaan ke tingkat daerah dapat memperbesar risiko over-reporting. Keterbukaan politik menunjukkan korelasi positif yang tidak sesuai prediksi awal, sementara kebebasan pers dan tingkat demokrasi cenderung negatif namun lemah signifikansinya.
Tabel 2 Regresi OLS Negara Under-reporting

Tabel 2 menyajikan hasil regresi OLS untuk kasus under-reporting GDP, yaitu negara-negara dengan GDP resmi lebih rendah daripada estimasi berbasis citra satelit cahaya malam. Semua variabel telah distandarisasi sehingga koefisien dapat diinterpretasikan dalam satuan deviasi standar. Kolom (1) dan (2) menggunakan seluruh sampel under-reporting, sedangkan kolom (3) dan (4) terbatas pada negara-negara Afrika yang memiliki data independensi badan statistik. Kolom (2) dan (4) mengontrol efek tetap tahun. Hasil menunjukkan bahwa keterbukaan politik (political globalization) dan keterbukaan ekonomi (economic globalization) keduanya berkorelasi negatif dan signifikan terhadap under-reporting. Hal ini berarti semakin terbuka suatu negara, semakin kecil kecenderungannya melaporkan GDP lebih rendah. Sebaliknya, desentralisasi berkorelasi positif, mengindikasikan bahwa pembagian kewenangan ke tingkat daerah dapat memperbesar kemungkinan under-reporting. Kebebasan pers memiliki koefisien positif namun tidak konsisten signifikan, sementara demokrasi cenderung negatif meskipun signifikansinya bervariasi.
Robustness Checks
Untuk memastikan bahwa hasil utama tidak bergantung pada satu definisi variabel atau spesifikasi model tertentu, penulis melakukan serangkaian robustness checks. Uji ketahanan ini mencakup tiga pendekatan utama, yakni mengganti ukuran keterbukaan politik dari political globalization index menjadi passport power index, memisahkan analisis untuk over-reporting dan under-reporting GDP, serta membatasi sampel dengan mengecualikan negara-negara dengan deviasi ekstrem atau membatasi periode waktu pengamatan.
Tabel 3 Regresi OLS dengan Passport p
Power Index untuk Over-reporting

Tabel 3 menunjukkan hasil untuk kasus over-reporting dengan menggunakan passport power index sebagai ukuran alternatif keterbukaan politik. Temuan pada tabel ini konsisten dengan model utama, yakni keterbukaan ekonomi tetap berkorelasi negatif dan signifikan terhadap over-reporting. Sementara itu, desentralisasi konsisten berkorelasi positif. Passport power index menunjukkan hubungan positif dan signifikan, memperkuat indikasi bahwa keterbukaan politik yang lebih tinggi dalam arti kemudahan mobilitas internasional warga negara dapat meningkatkan kecenderungan melaporkan GDP lebih tinggi dari estimasi berbasis citra satelit.
Tabel 4 Regresi OLS dengan Passport Power Index untuk Under-reporting

Uji pada under-reporting tabel 4 memperlihatkan hasil yang berbeda untuk keterbukaan politik. Hal ini dapat dilihat dari passport power index tidak signifikan. Meskipun begitu, keterbukaan ekonomi tetap konsisten berkorelasi negatif dan desentralisasi konsisten berkorelasi positif.
Tabel 5 Robustness Checks

Tabel 5 menyajikan sebuah robustness check yang krusial. Pada kasus ini, peneliti mengganti metode pengukuran "kualitas data" dari selisih PDB dengan cahaya malam menjadi dua indeks resmi, yaitu ODIN dan ODB. Dalam uji ini, hasil yang ditemukan justru menunjukkan adanya inkonsistensi signifikan dengan temuan utama penelitian. Contoh paling jelas adalah variabel desentralisasi yang sebelumnya terbukti meningkatkan manipulasi data, kini malah menunjukkan hubungan positif dengan kualitas data yang lebih baik. Oleh karena itu, tabel ini membuktikan bahwa kesimpulan mengenai dampak beberapa faktor institusional sangatlah kompleks dan sensitif terhadap metode pengukuran yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut, tidak semua temuan awal memiliki ketahanan yang sama terhadap pengujian alternatif.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik institusional memiliki hubungan yang signifikan dengan kecenderungan manipulasi data GDP oleh pemerintah. Keterbukaan ekonomi konsisten berkorelasi negatif dengan deviasi, menunjukkan bahwa integrasi ekonomi global dapat menekan praktik over-reporting maupun under-reporting. Sebaliknya, desentralisasi berkorelasi positif, mengindikasikan bahwa pembagian kewenangan ke tingkat daerah dapat meningkatkan risiko deviasi. Keterbukaan politik, diukur melalui passport power index, berhubungan positif dengan over-reporting tetapi tidak berpengaruh signifikan pada under-reporting. Namun, klaim bahwa semua hasil ini konsisten pada berbagai uji ketahanan tidaklah tepat. Secara khusus, uji ketahanan menunjukkan bahwa temuan mengenai desentralisasi tidak konsisten dan bahkan berbalik arah saat kualitas data diukur dengan metode alternatif. Meskipun bersifat korelasional dan bukan bukti kausal, temuan ini secara meyakinkan menegaskan pentingnya memperhatikan aspek institusional dalam upaya meningkatkan akurasi dan kredibilitas data ekonomi resmi.
Pandangan Penulis
Penelitian ini menunjukkan sebuah ironi bahwa data ekonomi yang seharusnya menjadi kompas bagi kebijakan publik, justru bisa dimanipulasi oleh pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah. Padahal, data bukan hanya milik segelintir orang. Data adalah milik publik yang digunakan untuk merancang kebijakan, mengalokasikan sumber daya, dan mengukur kemajuan pembangunan. Ketika data tidak dimanipulasi, maka kepercayaan publik tentunya akan meningkat, kebijakan tepat sasaran, dan potensi ekonomi maupun sosial membesar.
Namun, permasalahan data tidak hanya berhenti pada manipulasi. Aksesibilitas data di Indonesia juga masih sangat terbatas. Banyak situs resmi pemerintah yang seharusnya menjadi sumber utama informasi justru tidak ramah pengguna. Beberapa permasalahan yang sering terjadi meliputi antarmuka berantakan, pencarian tidak efisien, dan kerap mengalami error. Data mikro di Indonesia juga masih dipatok dengan harga tinggi. Hal ini kemudian menimbulkan ironi baru. Di satu sisi, pemerintah menyerukan transparansi, tapi di sisi lain publik dipaksa membayar mahal untuk mendapatkan informasi yang seharusnya bersifat public good.
Pada bulan Agustus 2025, Badan Pusat Statistik Indonesia merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,12 persen. Hal ini menimbulkan perdebatan di kalangan ekonom yang telah melakukan estimasi pertumbuhan ekonomi di bawah angka 5 persen. Perbedaan ini dapat terjadi apabila metode dan asumsi yang digunakan juga berbeda. Akan tetapi, persoalan mendasar muncul jika transparansi metodologi tidak dijaga dengan baik. Hal ini dapat menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas data. Transparansi seharusnya bukan hanya sekadar jargon, melainkan syarat mutlak agar angka benar-benar dipercaya.
Pada akhirnya, angka hanyalah angka. Angka bisa dipoles, dipangkas, atau diperbesar sesuai kepentingan. Hal yang menentukan nilainya bukan sekadar siapa yang menghitung, tetapi seberapa jujur proses di baliknya. Ketika kejujuran itu hilang, data berhenti menjadi alat pencari kebenaran, tetapi berubah menjadi senjata propaganda. Pemerintah yang ingin dipercaya rakyatnya tidak cukup hanya mengumumkan angka, tetapi harus memastikan setiap data lahir dari proses yang kredibel dan bebas dari intervensi kepentingan.



Comments