Pasca 2045: Siapkah Indonesia untuk Era Populasi Menua?
- KANOPI FEB UI
- Sep 4
- 10 min read

Pembukaan
Indonesia menapaki tahun 2045 sebagai momentum penting melalui visi Indonesia Emas. Optimisme ini muncul dari keyakinan bahwa bonus demografi dapat menjadi modal utama pembangunan. Jumlah penduduk usia produktif yang relatif besar dianggap sebagai peluang untuk mempercepat transformasi ekonomi, khususnya jika disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (Adioetomo & Mujahid, 2014). Literatur tentang transisi demografi juga menunjukkan bahwa negara yang berhasil mengoptimalkan dominasi usia kerja cenderung menikmati lonjakan produktivitas dan pertumbuhan pendapatan per kapita (Lee et al., 2013). Dengan demikian, bonus demografi dapat diposisikan sebagai fondasi bagi percepatan pembangunan jangka panjang.
Namun, optimisme ini tidak semestinya mengabaikan dinamika demografi Indonesia setelah 2045. Pengalaman global menunjukkan bahwa bonus demografi bersifat sementara karena akan diikuti dengan fenomena aging population yang dominan pada abad ke-21 (UNFPA, 2021). Aging population adalah kondisi ketika proporsi penduduk lanjut usia (lansia) dalam suatu negara atau wilayah semakin meningkat dibandingkan dengan kelompok usia muda (United Nations, 2023). Tren ini dapat diamati secara lebih jelas pada Grafik 1 yang memperlihatkan perkembangan proporsi penduduk lansia di berbagai negara dari tahun 1950 hingga 2050 (Kudo, 2015).

Indonesia sendiri diproyeksikan mengalami peningkatan signifikan jumlah lansia pasca-2045, ketika proporsi penduduk berusia 60 tahun ke atas tumbuh dengan lebih cepat (Kudrna et al., 2022; Basrowi et al., 2021). Bahkan, Indonesia diperkirakan akan menjadi salah satu populasi tertua di antara negara-negara D-8 pada tahun 2045 (Mariadas et. al., 2023). Artinya, keberhasilan pembangunan tidak bisa semata diukur dari pencapaian target Indonesia Emas 2045, melainkan juga dari kesiapan menghadapi tantangan baru berupa transisi menuju masyarakat menua. Kegagalan dalam mempersiapkan transisi ini bukan hanya berisiko menghambat laju pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai, tetapi juga dapat menciptakan jebakan demografis yang memperburuk ketimpangan sosial dan fiskal negara dalam jangka panjang.
Kesadaran akan pergeseran ini mendorong perlunya perspektif pembangunan yang lebih berkelanjutan. Alih-alih dipandang sebagai beban, kelompok lansia justru dapat menjadi aset apabila kebijakan mampu menjaga kesehatan, meningkatkan keterampilan, dan memperluas ruang partisipasi mereka dalam perekonomian (Heryanah, 2015; Bloom et al., 2015). Berangkat dari kerangka tersebut, tulisan ini meninjau literatur mengenai potensi dan berban dari aging population serta bagaimana Indonesia dapat merancang strategi pertumbuhan berkelanjutan pasca-bonus demografi sehingga visi 2045 tidak berhenti sebagai capaian sementara, melainkan pijakan bagi masa depan yang inklusif.
Ancaman Jebakan Demografis: Dampak Ekonomi dan Sosial Populasi Menua
Semua aset yang ada tidak akan ada artinya apabila aset yang dimiliki tidak dikelola dengan tepat. Berbeda dengan yang disampaikan Lee, dalam paper yang disampaikan oleh Maestas et al. (2016), penuaan populasi di suatu negara secara signifikan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Mereka menyatakan bahwa kenaikan 10% pada fraksi populasi berusia 60 ke atas menurunkan PDB per kapita sebesar 5.5%. Dampak negatif tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, sepertiganya karena pertumbuhan tenaga kerja mengalami perlambatan. Kedua, dua pertiganya karena pertumbuhan produktivitas tenaga kerja juga melambat.
Bagi negara berkembang, dampak ini menciptakan dilema yang cukup besar. Situasi melimpahnya tenaga kerja produktif seringkali tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Akibatnya, bukannya negara berkembang mampu mengejar ketertinggalan dengan negara maju, tetapi justru terjebak dalam jebakan demografis. Dalam studi yang diungkapkan oleh Pham & Vo (2021), penuaan populasi justru menghambat (berdampak negatif) bagi negara-negara yang berada di level pertumbuhan menengah. Ancaman ini tidak hanya bersifat makroekonomi, tetapi juga merasuk hingga ke tingkat sosial dan keluarga.
Ancaman jebakan demografis ini diperparah oleh tekanan hebat pada keberlanjutan fiskal negara. Berbagai studi, termasuk dari Colin, C., & Brys, B. (2019), menunjukkan bahwa penuaan populasi menciptakan tekanan ganda pada anggaran: pengeluaran publik untuk kesehatan dan pensiun melonjak, sementara basis penerimaan pajak dari angkatan kerja yang produktif justru terkikis. Tekanan inilah yang memaksa pemerintah memotong investasi pada sektor krusial, seperti pendidikan dan infrastruktur yang secara langsung menghambat kemampuan negara untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah. Lebih jauh lagi, kegagalan negara dalam menyediakan jaring pengaman sosial yang layak pada akhirnya mengalihkan beban ekonomi tersebut langsung ke pundak keluarga. Fenomena ini digarisbawahi oleh laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations, 2023) yang menemukan bahwa lansia di negara-negara kurang berkembang secara signifikan lebih bergantung pada dukungan keluarga dibandingkan sistem transfer publik yang disediakan negara.
Ketika negara tidak mampu menyediakan jaring pengaman sosial yang layak, jebakan demografis tidak hanya bisa dilihat dari angka-angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tercermin dari pembangunan ekonomi. Penuaan populasi yang tidak diiringi dengan sistem jaringan sosial yang layak berakibat pada rendahnya produktivitas generasi di bawahnya. Banyaknya lansia yang tidak terproteksi oleh jaringan sosial membuat anak-anak mereka mau tidak mau berkorban untuk merawat orang tuanya. Dari situ, pasokan dari tenaga kerja mengalami penurunan, baik dari jam kerja maupun partisipasi. Lebih parahnya lagi, dalam studi mengenai Indonesia oleh Magnani & Rammohan (2009), beban ini terbukti lebih berat bagi perempuan. Artinya, semakin banyak lansia yang butuh perawatan, semakin banyak perempuan yang terpaksa keluar dari dunia kerja atau mengurangi jam kerjanya.
Permasalahan tersebut menjadi semakin kompleks bagi kelompok berpenghasilan menengah ke bawah. Dikutip dari Shi, A. R., & Zhao, H. (2024), terdapat hubungan yang negatif antara penuaan populasi dan pertumbuhan ekonomi. Apabila semakin tinggi adanya penuaan populasi, maka semakin rendah pertumbuhan ekonomi di sebuah negara. Hal itu disebabkan rendahnya investasi di bidang pendidikan dan infrastruktur publik sehingga tidak semua kalangan mendapatkan akses yang sama untuk memperbaiki kondisi dan produktivitas ekonomi mereka. Pada akhirnya, kegagalan mengelola transisi demografi ini berisiko menciptakan lingkaran setan perlambatan ekonomi dan ketimpangan sosial yang mendalam.
Lebih dari Sekadar Beban, Potensi Populasi Menua
Alih-alih menjadi akhir dari pertumbuhan atau dipandang sebagai beban ekonomi, era populasi menua dapat dilihat sebagai awal dari fase ekonomi baru. Kerangka konseptual ini disebut sebagai "Bonus Demografi Kedua" oleh Heryanah (2015). Dalam studinya, bonus demografi kedua didefinisikan bukan sekadar perpanjangan dari bonus demografi pertama, melainkan sebagai fenomena baru ketika suatu negara memiliki populasi lansia yang besar namun tetap produktif, sehat, dan terdidik. Konsep ini secara fundamental mengubah paradigma populasi menua dari mitigasi beban menjadi optimalisasi aset ekonomi.
Potensi populasi menua bagi ekonomi bukanlah wacana teoritis semata. Laporan dari SMERU (2020) menemukan bahwa hampir setengah dari populasi lansia Indonesia masih aktif bekerja. Namun, laporan ini juga mengungkap paradoks yang menyoroti kerentanan populasi menua. Mayoritas dari lansia yang bekerja (sekitar 84,3%) masih terkonsentrasi di sektor informal dengan pendapatan tidak menentu dan tanpa jaring pengaman sosial formal. Hal ini menyoroti urgensi peran kebijakan untuk tidak hanya mendorong partisipasi lansia, tetapi juga memastikan perlindungan dan kesejahteraannya, mengingat mereka merupakan agen ekonomi yang resilien dan aktif.
Di tingkat makro, Lee et al. (2013) menemukan bahwa penuaan populasi tidak selalu menghambat pertumbuhan ekonomi. Terkait hal ini, Pham & Vo (2021) melakukan analisis regresi kuantil terhadap 84 negara berkembang pada periode 1971-2015 dan menemukan dualitas menarik: meski penuaan populasi bisa menjadi "jebakan demografis" bagi negara yang pertumbuhannya lambat, fenomena yang sama justru menghasilkan sinyal positif di negara yang pertumbuhannya sangat cepat. Mereka menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang, terdapat hubungan positif antara populasi menua dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengisyaratkan bahwa seiring berjalannya waktu, akumulasi modal, pengalaman, dan penyesuaian pasar dapat membuat kontribusi lansia menjadi positif.
Temuan terkait dampak positif populasi menua juga ditemukan oleh Paul Anthony et al. (2019). Dengan menganalisis negara-negara Developing-8 (Indonesia, Bangladesh, Mesir, Iran, Malaysia, Nigeria, Pakistan, dan Turki) menggunakan metode Pooled Mean Group ditemukan bahwa kenaikan 1% pada populasi menua justru memicu kenaikan 1,03% pada partisipasi angkatan kerja. Temuan ini secara kuat menantang asumsi bahwa penuaan populasi secara otomatis mengarah pada penyusutan angkatan kerja.
Namun, berbagai optimisme tersebut perlu diimbangi dengan pemahaman kritis mengenai adanya efek ambang batas (threshold effect) seperti yang dianalisis oleh Lee & Shin (2019). Mereka menemukan bahwa hubungan antara penuaan populasi dan pertumbuhan ekonomi bersifat non-linear. Pada tahap awal penuaan, hubungan antara lansia dan usia kerja bisa jadi positif, sebelum akhirnya menjadi negatif pada level penuaan yang sangat tinggi. Analisis ini krusial karena dapat menjelaskan mengapa terdapat variasi hasil pada studi terkait populasi menua. Untuk mengimbangi efek penuaan populasi, laporan East-West Center (2020) menegaskan bahwa teknologi dapat menjadi faktor penentu (game-changer). Mereka berargumen bahwa teknologi dapat meningkatkan tingkat partisipasi angkatan kerja dari populasi menua dan produktivitas seluruh pekerja.
Pada akhirnya, dampak penuaan populasi bergantung pada kemampuan beradaptasi dan respons kebijakan (Bloom et al., 2015). Dengan demikian, berbagai literatur ini secara kolektif menunjukkan bahwa potensi ekonomi populasi menua merupakan sesuatu yang harus dirancang dan diperjuangkan melalui kebijakan yang tepat. Dengan intervensi yang tepat, populasi menua di Indonesia tidak hanya dapat dikelola tantangannya, tetapi juga dioptimalkan potensinya sebagai mesin pertumbuhan baru di era pasca Indonesia Emas.
Summary Literature Review
Kilas Kebijakan dan Rekomendasi untuk Keberlanjutan
Dalam menghadapi tantangan aging population di Indonesia, pemerintah Indonesia telah merencanakan dan merancang beberapa kebijakan yang relevan. Target kuantitatif dari kebijakan-kebijakan ini meliputi beberapa figur-figur penting. Bappenas (2023) berencana untuk menjaga Total Fertility Rate (TFR) Indonesia yang pada masa bonus demografi ini terus mengalami penurunan, ketika TFR Indonesia mencapai 2 anak per wanita. TFR Indonesia diperkirakan mencapai figur ini pada tahun 2035. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar regenerasi penduduk usia produktif terus berjalan. Selain itu, berkaitan dengan kualitas hidup dan kesehatan, Bappenas (2023) berencana mengakselerasi pertumbuhan usia harapan hidup (UHH) dan penurunan Infant Mortality Rate (IMR). Pada skenario moderat, IMR ditargetkan mencapai 5,8 kematian per 1000 kelahiran, dan UHH meningkat menjadi 78 tahun. Pada skenario optimis, IMR ditargetkan mencapai 4,2 kematian per 1000 kelahiran dan UHH mencapai 80 tahun.
Dalam mencapai target-target ini, Bappenas (2023) telah mencanangkan beberapa hal. Dalam pembangunan modal intelektual manusia, Bappenas menargetkan kenaikan skor PISA dan kenaikan pada keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat. Dalam pembangunan modal kesehatan manusia, Bappenas menyarankan implementasi program Long-Term Care (LTC) dan universal healthcare. LTC adalah program untuk merawat lansia yang tidak bisa mendapatkan dukungan keluarganya dalam menunjang kesehatan, hal ini dilakukan untuk meningkatkan UHH. Selain itu, Bappenas juga mendorong penguatan jaminan sosial dan pemerataan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Inklusi finansial dan keuangan digital juga menjadi salah satu solusi yang dicanangkan oleh Bappenas. Secara umum, Bappenas juga menyarankan integrasi teknologi seperti machine learning dan artificial intelligence dalam proses pengadaan jaminan sosial, layanan kesehatan, dan lain-lain.
Rencana dari Bappenas (2023) secara umum mengarah ke tujuan-tujuan yang baik. Kebijakan-kebijakan utama yang berpusat pada peningkatan investasi finansial dan tabungan juga didukung oleh literatur-literatur lain, salah satunya pada Madsen (2014). Selain itu, investasi pada kesehatan juga didukung oleh literatur-literatur lain, termasuk pada Bloom et al. (2015).
Namun, rancangan-rancangan kebijakan yang ada belum spesifik. Terutama dalam hal meningkatkan atau menjaga produktivitas populasi Indonesia sehingga pertumbuhan pendapatan masyarakat Indonesia bisa konsisten. Konsistensi dalam peningkatan produktivitas penting untuk menjaga laju pertumbuhan Indonesia agar setelah tahun 2045, kendati tercapainya PDB per kapita yang ditargetkan atau tidak, Indonesia tetap bisa keluar dari middle-income trap.
Mengutip Bloom et al. (2015), produktivitas dapat dijaga secara langsung dengan integrasi teknologi dalam dunia bisnis. Adopsi teknologi-teknologi modern dapat meningkatkan fleksibilitas pekerjaan bagi lansia agar dapat terus bekerja tanpa harus beraktivitas fisik secara berlebihan. Tentunya, hal ini harus ditunjang dengan modal manusia berupa kesehatan yang baik dan pendidikan yang memadai untuk penggunaan teknologi, sehingga life-long education menjadi sebuah keharusan. Dengan adopsi teknologi yang memudahkan lansia agar terus dapat produktif, undang-undang usia pensiun dapat disesuaikan sehingga penduduk dapat terus produktif untuk waktu yang lebih lama.
Terdapat juga kekhawatiran bahwa masyarakat dan pengambil kebijakan akan cenderung menolak peningkatan usia pensiun untuk alasan-alasan kemanusiaan, meskipun secara rasional peningkatan usia pensiun selaras dengan peningkatan usia harapan hidup. Dalam menangani masalah ini, Bloom et al. (2015) juga menyarankan adanya mekanisme kompensasi (dana pensiun) yang tidak mengorbankan produktivitas, seperti investasi dana pensiun pada aset riil yang produktif atau penyesuain nilai pensiun terhadap usia harapan hidup. Mempertahankan produktivitas riil dari lansia merupakan sesuatu yang penting, mengingat bahwa keuangan negara dapat terbebani oleh aging population, seperti pada kasus Jepang yakni pendapatan penduduk usia lanjut sebagian besar ditopang bantuan negara (East-West Center, 2017).
Perhatian yang cukup juga belum diberikan pada isu migrasi penduduk. Menurut Poutvaara (2021), dampak migrasi dan emigrasi penduduk yang berkaitan dengan demografinya bisa memiliki dampak yang beragam. Ada kecenderungan umum bahwa penduduk cenderung bermigrasi ke negara yang sudah mengalami aging population. Hal ini bisa membawa dampak baik dan buruk bagi negara asal maupun negara tujuan migrasi. Bagi negara asal, migrasi dapat menguntungkan apabila hal tersebut menimbulkan insentif untuk peningkatan pendidikan dan keterampilan pada tenaga kerja, juga melalui remitansi. Bagi negara tujuan, migrasi dapat meningkatkan produktivitas, tetapi juga menggerus penduduk asli yang bekerja pada sektor yang sama dengan penduduk migran, umumnya pekerjaan dengan tingkat kemampuan rendah atau menengah (Poutvaara, 2021). Dalam konteks ini, Indonesia dapat memanfaatkan kondisi demografi terkini dengan mengekspor tenaga kerja yang berkualitas dan meningkatkan insentif untuk pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian juga meningkatkan keterampilan tenaga kerja Indonesia. Setelah memasuki masa aging population, Indonesia dapat membuka akses untuk pekerja migran, untuk mempertahankan produktivitas.
Summary Literature Review
Penutup: Dari Beban Demografis Menjadi Kekuatan Ekonomis
Kilas literatur ini menggarisbawahi bahwa penuaan populasi di Indonesia merupakan isu kompleks yang menuntut pergeseran paradigma fundamental. Populasi lansia tidak hanya dianggap sekadar beban, tetapi harus menjadi aktivasi aset di era pasca-bonus demografi 2045. Keberhasilan pembangunan berkelanjutan Indonesia tidak hanya akan ditentukan oleh produktivitas angkatan kerja saat ini, melainkan oleh kemampuan kita mempersiapkan populasi lansia agar tetap produktif, sehat, dan sejahtera. Hal ini merupakan fondasi untuk memastikan bahwa visi Indonesia Emas tidak hanya tercapai, tetapi juga berkelanjutan. Dengan demikian, negara Indonesia dapat mempertahankan momentum pertumbuhan dan ketahanan ekonomi di tengah dinamika demografi yang terus berubah.
DAFTAR PUSTAKA
Adioetomo, S. M., & Mujahid, G. (2014). Indonesia on the threshold of population ageing. Jakarta: UNFPA Indonesia.
Basrowi, R. W., et al. (2021). The road to healthy ageing: What has Indonesia achieved so far? Nutrients, 13(10), 3441. https://doi.org/10.3390/nu13103441
Bloom, D. E., Chatterji, S., Kowal, P., Lloyd-Sherlock, P., McKee, M., Rechel, B., Rosenberg, L., & Smith, J. P. (2015). Macroeconomic implications of population ageing and selected policy responses. The Lancet, 385(9968), 649–657. https://doi.org/10.1016/s0140-6736(14)61464-1
Colin, C., & Brys, B. (2019). Population ageing and sub-central governments: Long-term fiscal challenges. OECD.
East-West Center. (2017). Will population aging squeeze government budgets? A look at the US and Japan. East-West Center.
East-West Center. (2020). Can technology offset the effects of population aging on economic growth? Asian Development Bank. JSTOR. https://www.jstor.org/stable/resrep24987
Heryanah. (2015). Ageing population dan bonus demografi kedua di Indonesia. Populasi, 23(2), 1–16. https://doi.org/10.22146/jp.15692
Kudo, S., et al. (2015). Erratum: Kudo, S.; et al. Population aging: An emerging research agenda for sustainable development. Social Sciences, 6(1), 23. https://doi.org/10.3390/socsci6010023
Kudrna, G., et al. (2021). The fiscal effects of population ageing in the Czech Republic, Hungary, Poland and Slovakia. OECD Economics Department Working Papers, No. 1677. Paris: OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/18151973
Lee, H.-H., Huh, H.-S., Lee, Y.-Y., & Lim, J.-Y. (2013). Effects of population aging on economic growth: A panel analysis. Seoul Journal of Economics, 26(4), 401–432.
Lee, H.-H., & Shin, K. (2019). Nonlinear effects of population aging on economic growth. Japan and the World Economy, 51(C), 1–1. Elsevier.
Maestas, N., Mullen, K., & Powell, D. (2016). The effect of population aging on economic growth, the labor force and productivity. NBER Working Paper Series. https://doi.org/10.3386/w22452
Madsen, E. (2014). Potential and pitfalls: The economic implications of population aging. Georgetown Journal of International Affairs, 15(2), 4–9. http://www.jstor.org/stable/43773621
Magnani, E., & Rammohan, A. (2009). Ageing and the family in Indonesia: An exploration of the effect of elderly care-giving on female labor supply. Journal of Income Distribution, 18(3-4), 110–130.
Mariadas, P. A., et al. (2023). Ageing population and healthcare expenditure impacts on labour force participation rate in Developing-8 countries. International Journal of Academic Research in Economics and Management Sciences, 12(1). https://doi.org/10.6007/ijarems/v12-i1/16358
Penduduk Berkualitas Menuju Indonesia Emas. (2023). Bappenas. https://perpustakaan.bappenas.go.id/e-library/dokumen-bappenas/75e3fab0-d44e-4b9f-8ff7-f51280b4bdc9
Pham, T. N., & Vo, D. H. (2019). Aging population and economic growth in developing countries: A quantile regression approach. Emerging Markets Finance and Trade, 57(1), 108–122. https://doi.org/10.1080/1540496x.2019.1698418
Poutvaara, P. (2021). Population aging and migration. IZA Discussion Papers, 14389. Institute of Labor Economics (IZA).
Shi, A. R., & Zhao, H. (2024). Population aging in ASEAN+3: But is 60 the new 40? SSRN. https://doi.org/10.2139/ssrn.5392636
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), & The SMERU Research Institute. (2020). Situasi lanjut usia di Indonesia dan akses terhadap program perlindungan sosial: Analisis data sekunder. TNP2K.
United Nations. (2023). World social report: Leaving no one behind in an ageing world. United Nations.
United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division. (2024). World population ageing 2023. New York: United Nations.
United Nations Population Fund (UNFPA). (2021). Leaving no one behind in a global crisis through universal access to sexual and reproductive health services and information: Annual report 2021. Jakarta: UNFPA Indonesia.



Comments