Militer vs Ekonomi: Haruskah Kita Mempertimbangkan Latar Belakang Seorang Pemimpin?
- KANOPI FEB UI
- Apr 25
- 6 min read
Updated: 2 days ago

Judul Artikel: Rich or Alive? Political (In)stability, Political Leader Selection and Economic Growth
Penulis: Shu Yu dan Richard Jong-A-Pin
Tahun Terbit: 2020
Jurnal: Journal of Comparative Economics
Diulas oleh Shaza Kalyla Putri Anwar
Pemimpin sebagai Ujung Tombak Pertumbuhan Ekonomi
Pemimpin politik yang kompeten memiliki peran penting dalam menentukan arah kebijakan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tidak hanya latar belakang pendidikan, karakter pribadi seorang pemimpin juga turut memengaruhi kesediaannya melakukan reformasi ekonomi, menentukan arah kebijakan pertahanan, serta mengambil keputusan diplomatik. Jones dan Olken (2005) menyatakan bahwa pergantian pemimpin yang dilakukan secara tiba-tiba dapat berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, pemilihan pemimpin menjadi hal yang krusial.
Dilema Para Elit Politik
Di negara-negara dengan ketidakstabilan politik, para elit penguasa sering kali lebih memilih pemimpin dengan latar belakang militer yang kuat daripada pemimpin yang kompeten dalam bidang ekonomi. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan situasi coup trap, yaitu situasi ketika satu kudeta berpotensi mendorong kudeta-kudeta lainnya. Pemimpin militer dianggap mampu melindungi posisi dan kepentingan kelompok elit dari ancaman perebutan “kekuasaan”. Akan tetapi, pilihan ini biasanya mengorbankan potensi pertumbuhan ekonomi (Yu & Jong-A-Pin, 2016). Berbeda dengan kondisi adanya ketidakstabilan politik, saat ingin mewujudkan pertumbuhan ekonomi, para elit lebih memilih pemimpin berpendidikan tinggi/kompeten di bidang ekonomi (Besley et al., 2011). Hal ini dikarenakan pemimpin dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung mampu merumuskan kebijakan ekonomi yang lebih baik sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang (Besley et al., 2011).
Oleh karena itu, elit politik menghadapi dilema antara memilih perlindungan kekuasaan dalam jangka pendek melalui pemimpin militer, atau mengejar kemajuan ekonomi jangka menengah hingga panjang melalui pemimpin dengan kompetensi ekonomi yang baik. Melalui dilema tersebut, Shu Yu dan Richard Jong-A-Pin merumuskan hipotesis, yaitu:
Ketika kondisi politik suatu negara stabil → pemimpin dengan tingkat pendidikan yang tinggi (kompeten di bidang ekonomi) lebih mungkin tepilih.
Ketika kondisi politik suatu negara tidak stabil → pemimpin dengan latar belakang militer lebih mungkin terpilih.
Data
Untuk menguji hipotesis, peneliti menggunakan sampel 1.569 pemimpin politik yang berkuasa pada periode 1946–2011. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan stabilitas politik sebagai variable of interest serta latar belakang pemimpin (tingkat pendidikan dan tingkat pencapaian militer) sebagai variabel dependen.
Stabilitas Politik
Menurut Londregan dan Poole (1990), sebuah kudeta mampu meningkatkan kemungkinan munculnya kudeta lainnya. Tidak hanya itu, kudeta juga dapat merusak “budaya stabilitas politik” di negara tersebut (Finer, 1976). Oleh karena itu, peneliti berusaha mengukur tingkat stabilitas politik dengan melihat kondisi negara setelah terjadi percobaan kudeta.
Untuk mengukur tingkat stabilitas politik, peneliti menggunakan data percobaan kudeta dari tahun 1946-2013. Peneliti membagi insiden kudeta ke dalam beberapa jenis, seperti (1) kudeta yang berhasil hingga kepala pemerintahan diganti, (2) kudeta yang terjadi, tetapi gagal “menurunkan” pemerintahan, (3) kudeta yang digagalkan atau dilaporkan oleh pejabat pemerintah, dan (4) dugaan rencana kudeta yang diumumkan oleh pejabat pemerintah. Dalam hal ini, suatu negara dikatakan stabil ketika hasil perhitungan stabilitas politiknya bernilai nol setelah terjadinya percobaan kudeta dan meningkat perlahan seiring berjalannya waktu.
Selain itu, untuk mengukur stabilitas politik, peneliti juga menggunakan proksi lain, seperti 1) data stabilitas politik dari the Database of Political Institutions (2013); 2) kasus pergantian pemimpin secara tidak wajar yang diperoleh dari dataset the Archigos 2.9; serta 3) jumlah demo yang terjadi di negara tersebut.
Latar Belakang Pemimpin

Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa kompetensi di bidang ekonomi berkorelasi negatif dengan pencapaian militer. Untuk memvalidasi asumsi tersebut, peneliti menunjukkan relasi antara tingkat pendidikan dengan pencapaian militer. Gambar 1 menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan pemimpin dari tingkat sarjana hingga doktor, persentase mereka tidak berlatar belakang militer (masyarakat sipil) meningkat dari 57,2% menjadi 93,2%. Sementara itu, persentase masyarakat yang berpangkat jenderal menurun dari 18,5% menjadi 0,9%. Data tersebut menunjukkan adanya hubungan negatif antara tingkat pendidikan pemimpin dan pangkat militer yang dimiliki.

Metode
Dengan menggunakan metode panel fixed effect regression (robust errors dikelompokkan per negara), hubungan antara stabilitas politik dan pemilihan pemimpin dapat digambarkan melalui model:

keterangan:

Bagaimana Hasilnya?

Note: All regressions contain country and time fixed effects. Robust standard errors are in parentheses and are clustered at the country level
***p < 0.01, **p < 0.05, *p < 0.1.
Tabel 1 menggambarkan hubungan antara stabilitas politik dan tingkat pendidikan pemimpin. Pada kolom 1, ditunjukkan bahwa di negara yang lebih stabil, pemimpin yang terpilih cenderung memiliki kompetensi ekonomi yang lebih tinggi. Ketika variabel kontrol (termasuk lingkungan pendidikan dan militer) ditambahkan di kolom 2 dan 3, koefisien stabilitas politik sedikit berubah, tetapi tetap signifikan secara statistik.
Untuk menguji ketahanan hasilnya, peneliti melakukan dua uji tambahan. Pertama, peneliti menghapus negara yang tidak pernah mengalami kudeta setelah Perang Dunia II dari subjek penelitian (kolom 4). Hasilnya serupa dengan pengujian sebelumnya, yaitu ketika kondisi politik stabil; pemimpin dengan kompetensi ekonomi lebih cenderung terpilih. Kedua, peneliti menghapus pemimpin yang berkuasa karena campur tangan asing dari subjek penelitian (kolom 5). Hasil yang diperoleh pun tetap konsisten dengan pengujian sebelumnya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa stabilitas politik berkorelasi positif dengan terpilihnya pemimpin yang memiliki kompetensi ekonomi lebih tinggi.

Note: All regressions contain country and time fixed effects. Robust standard errors are in parentheses and are clustered at the country level
***p < 0.01, **p < 0.05, *p < 0.1.
Peneliti juga melihat korelasi antara stabilitas politik dengan tingkat pencapaian militer. Dengan menggunakan spesifikasi model yang sama seperti sebelumnya, hasil (Tabel 3) menunjukkan bahwa nilai koefisien political stability negatif pada setiap model. Artinya, semakin stabil situasi politik maka kemungkinan terpilihnya pemimpin latar belakang militer menurun.
Random Exit, Real Impact: Saat Ekonomi Kehilangan Nakhodanya
Untuk mengetahui hubungan antara latar belakang pemimpin dan pertumbuhan ekonomi, peneliti mengadaptasi metode dari Jones dan Olken (2005), yakni dengan memanfaatkan pergantian pemimpin yang bersifat acak (random exit), yaitu kejadian ketika seorang pemimpin meninggal dunia saat masih menjabat.
Peneliti menyusun daftar pemimpin yang wafat secara tiba-tiba saat masih menjabat (random exit) sebagai titik analisis perubahan rezim yang tidak direncanakan. Selanjutnya, peneliti menghitung pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah kematian pemimpin tersebut. Oleh karena itu, peneliti memiliki dua variabel, yaitu:
PRE: Rata-rata pertumbuhan GDP per kapita tahunan selama lima tahun sebelum tahun kematian.
POST: Rata-rata pertumbuhan GDP per kapita tahunan selama lima tahun setelah kematian.
Peneliti kemudian menggunakan uji Wald untuk menguji apakah terdapat perbedaan signifikan antara POST dan PRE yang diasumsikan sebagai proksi bagi dampak pemimpin terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tabel 4 menunjukkan bahwa pemimpin dengan latar belakang pendidikan tinggi memiliki pengaruh positif yang nyata terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Hal ini terlihat dari analisis yang dilakukan pada saat pemimpin dengan gelar pendidikan tinggi keluar dari jabatannya secara acak (random exit). Setelah mereka tidak lagi menjabat, pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang cukup besar, yaitu antara 0,98 hingga 1,78 poin. Penurunan ini terjadi secara konsisten dan signifikan yang menunjukkan bahwa kehadiran pemimpin dengan kompetensi akademik benar-benar memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Sebaliknya, ketika yang keluar adalah pemimpin dengan pangkat militer tinggi, hasilnya justru tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Tidak ada penurunan atau peningkatan yang signifikan dalam pertumbuhan ekonomi dan arah dampaknya pun tidak konsisten. Temuan ini menguatkan kesimpulan bahwa
“Pendidikan tinggi pemimpin lebih berkorelasi kuat dengan kinerja ekonomi negara, sementara latar belakang militer tampaknya tidak memberikan efek yang sama.”
Penarikan Kesimpulan dari Sudut Pandang Penulis
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa stabilitas politik memiliki peran penting dalam pemilihan pemimpin yang mampu meningkatkan perkembangan ekonomi suatu negara. Di Indonesia, Pemilihan Umum (Pemilu) baru saja diselenggarakan pada tahun 2024 lalu. Pemilihan yang rutin dilaksanakan selama lima tahun sekali ini ditujukan untuk memilih calon-calon pengisi bangku pemerintahan, salah satunya adalah presiden Indonesia. Terlepas dari dinamika penyelenggaraannya, hasil pemilu akan menentukan presiden terpilih untuk lima tahun ke depan. Oleh karena itu, pemilu dapat dikatakan sebagai langkah awal dari pembangunan Indonesia. Namun, apakah proses pemilu ini benar-benar telah menghasilkan presiden terpilih dengan visi misi terbaik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi? Atau justru, faktor-faktor lain seperti koalisi dan kepentingan politik memiliki pengaruh yang lebih besar? Hal ini dapat menjadi refleksi bagi demokrasi Indonesia.
Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa pemimpin berpendidikan tinggi (kompeten di bidang ekonomi) mampu memberikan dampak positif pada ekonomi suatu negara. Di sisi lain, pemimpin berlatar belakang militer tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Akan tetapi, penelitian ini tidak menunjukkan bahwa latar belakang militer memberikan dampak negatif pada ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, pemimpin berlatar belakang militer tidak serta merta menghapus harapan atas pertumbuhan ekonomi. Transparansi, akuntabilitas, serta pemerintahan yang efektif juga memiliki peran yang krusial.
Terakhir, penelitian ini juga menunjukkan bahwa pergantian pemimpin dari yang kompeten di bidang ekonomi dapat memberikan dampak negatif. Pergantian pemimpin dapat menghasilkan perubahan kebijakan. Pada kasus Indonesia, sebuah kebijakan, seperti kurikulum pendidikan, sering kali mengalami perubahan seiring dengan pergantian kepemimpinan. Perubahan kebijakan memang dapat memberikan dampak positif dan diperlukan sebagai bentuk penyesuaian terhadap kondisi negara serta perkembangan zaman. Akan tetapi, perubahan yang terlalu sering justru menggambarkan adanya inkonsistensi dari pemerintah. Oleh karena itu, memastikan bahwa suatu kebijakan udah disesuaikan dengan kondisi serta kesiapan negara menjadi sangat penting untuk menjaga arah pembangunan Indonesia.
Hasil penelitian ini mendorong kita untuk terus kritis melihat hubungan antara kondisi politik, kualitas pemimpin terpilih, hingga dampaknya pada kesejahteraan ekonomi bangsa. Pada akhirnya,
Satu suara yang kita berikan dapat mengubah nasib jutaan rakyat Indonesia.
Comments