Mengapa Si Miskin Marah pada Si Kaya? Sebuah Permainan Berlatarkan Ketimpangan
- KANOPI FEB UI
- Nov 6
- 10 min read

Judul Artikel: Economic polarization and antisocial behavior: An experiment
Penulis: Maria Bigoni, Stefania Bortolotti, Efşan Nas Özen
Tahun terbit: 2021
Jurnal: Games and Economic Behavior
Diulas oleh Abyana Zahida
Antara Si Miskin dan Si Kaya…
Ketimpangan kerap dipahami sebagai kondisi ketika yang kaya semakin kaya sementara yang miskin semakin tertinggal. Tapi, yang sering memicu kemarahan bukan sekadar kesenjangan itu sendiri, melainkan keyakinan bahwa masalah tersebut seharusnya bisa diatasi, hanya saja mereka yang berkuasa memilih untuk tidak melakukannya. Perasaan ditinggalkan inilah yang mendorong protes dan bahkan tindakan destruktif.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketimpangan yang merugikan umumnya ditolak oleh banyak orang, bahkan ada yang rela “membakar uang” demi menguranginya (Fehr & Schmidt, 1999; Bolton & Ockenfels, 2000; Zizzo, 2003). Namun, tidak semua ketimpangan dipersepsikan sama. Apakah suatu distribusi dianggap adil sangat bergantung pada proses terbentuknya (Konow, 2000; Alesina & Angeletos, 2005; Cappelen et al., 2007).
Dalam konteks ini, peneliti menyoroti distribusi pendapatan yang terpolarisasi dimana hanya ada kelompok kaya dan miskin (Esteban & Ray, 1994; Permanyer, 2018). Kesempatan ditentukan secara eksternal, sementara si kaya (atau dalam eksperimen disebut sebagai pihak “kuat”) memegang kendali atas kesetaraan melalui kemurahan hati. Sebaliknya, Si miskin (pihak “lemah” dalam eksperimen), hanya bisa mengekspresikan ketidakpuasan lewat perilaku antisosial, misalnya “menghancurkan” seluruh uang yang dipertaruhkan, sebuah perlawanan simbolis terhadap kelompok “elite” secara umum.
Merancang Permainan Ketimpangan
Penelitian ini berangkat dari tiga pertanyaan utama:
Apakah dua kondisi berbeda, aman (safe) dan berisiko (risky) dapat menghasilkan tingkat ketimpangan yang berbeda?
Apakah paparan terhadap ekonomi yang sangat terpolarisasi dapat mendorong individu melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan lingkungan sosialnya?
Apakah reaksi tersebut semata-mata dipicu oleh tingkat ketimpangan yang dialami, atau justru juga oleh situasi yang melahirkan ketimpangan tersebut?
Untuk menjawabnya, peneliti merancang eksperimen laboratorium yang disebut Inequality Game. Permainan ini menempatkan peserta pada posisi timpang: pihak “kuat” memiliki kuasa untuk menentukan hasil akhir, sementara pihak “lemah” hanya bisa menerima konsekuensi. Ketimpangan sengaja ditanamkan dalam struktur permainan, tetapi selalu ada peluang bagi si kuat untuk menciptakan hasil yang setara melalui tindakan dermawan.
Perbedaan utama ada pada konteks pengambilan keputusan. Dalam skenario risky, kemurahan hati Si Kuat berisiko dieksploitasi oleh si lemah. Sebaliknya, pada skenario safe, kemurahan hati tidak menimbulkan risiko sama sekali. Kondisi ini menciptakan ekspektasi yang berbeda: pada skenario aman, kesetaraan seolah-olah “mudah” dicapai, sehingga ketiadaan kemurahan hati lebih mengecewakan.
Sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan, peneliti juga menambahkan opsi bagi pemain untuk “keluar” dari permainan. Keputusan ini berarti menghancurkan seluruh sumber daya, sehingga tidak ada pihak yang mendapat keuntungan. Penting untuk diingat bahwa pilihan keluar dilakukan sebelum mengetahui tindakan lawan, sehingga tidak bisa dipahami sebagai balas dendam yang terarah. Dengan demikian, perilaku destruktif yang muncul mencerminkan penolakan terhadap sistem secara keseluruhan.
Dari sinilah hipotesis penelitian muncul: frustrasi akibat harapan yang dikhianati—bukan ketimpangan itu sendiri—akan mendorong pihak lemah melakukan protes dalam bentuk tindakan antisosial, yakni keluar dari permainan dan menghancurkan seluruh sumber daya. Perbandingan antara kedua skenario memungkinkan peneliti melihat apakah ketimpangan itu sendiri yang memicu perilaku antisosial, atau justru rasa frustrasi akibat ekspektasi yang dikhianati.
Let The Inequality Games Begin!
Eksperimen diikuti oleh 240 partisipan di Cologne Laboratory for Economic Research (CLER) pada bulan Mei 2017. 240 partisipan ini kemudian dibagi menjadi empat perlakuan, yaitu Safe Control (kondisi aman tanpa opsi keluar), Safe Exit (kondisi aman dengan opsi keluar), Risky Control (kondisi berisiko tanpa opsi keluar), dan Risky Exit (kondisi berisiko dengan opsi keluar), sehingga terdapat 60 partisipan untuk setiap perlakuan. Eksperimen terbagi dalam 12 sesi (masing-masing 3 sesi untuk setiap perlakuan). Pada setiap sesi ini, terdapat 20 partisipan yang ikut serta. Partisipan direkrut melalui ORSEE (Online Recruitment System for Economic Experiments). Setelah tiba, peserta diacak ke bilik individual, kemudian instruksi disampaikan secara verbal serta salinannya dibagikan. Peran mereka pada eksperimen ditentukan melalui kode acak. Sebelum memulai permainan, peserta mengikuti tugas kelompok berupa menyelesaikan soal matematika untuk membuka gambar tersembunyi di layar. Tugas ini bertujuan memperkuat pemahaman tentang peran berbeda secara implisit.
Dalam eksperimen utama ini, peneliti menggunakan between-subjects design. Dua dimensi dimanipulasi secara eksogen: tingkat risiko strategis dan ketersediaan opsi keluar (exit). Sebagai perlakuan kontrol, akan dilakukan Inequality Game varian aman (safe) dan berisiko (risky) pada bentuk dasarnya. Lalu, diperkenalkan mekanisme keluar sebagai bentuk perlakuan (treatment) dalam eksperimen.
Untuk membangkitkan ketimpangan secara endogen, penulis merancang sebuah permainan asimetris berbasis zero-sum dua lawan dua, yang melibatkan peran Si Kuat dan Si Lemah. Si Kuat dapat memilih antara strategi Defensif atau Dermawan, sementara Si Lemah dapat memilih antara tindakan Eksploitasi atau Kolaborasi.
Dalam perlakuan berisiko, kedua pemain mengambil keputusan secara bersamaan. Sementara itu, pada perlakuan aman, Si Lemah terlebih dahulu memilih tindakannya, lalu Si Kuat membuat keputusan untuk kedua kemungkinan node melalui metode strategi (strategy method).
Versi simultan (berisiko) dapat dipecahkan melalui dominasi dan menghasilkan single nash equilibrium (Collaborate, Defensive). Sedangkan versi berurutan (safe) memiliki keseimbangan sempurna-subgame yang menghasilkan hasil sama persis. Pada titik ekuilibrium ini, Si Kuat memperoleh 9 euro, sementara Si Lemah hanya 1 euro.
Walaupun hasil ekuilibrium mencerminkan ketimpangan besar, sebenarnya terdapat kemungkinan hasil yang setara: pembagian sama rata. Namun, hal ini hanya bisa dicapai jika Si Kuat memilih strategi Dermawan, sebuah tindakan yang secara rasional terdominasi. Perbedaan utama antara dua perlakuan terletak pada cara hasil setara itu bisa dicapai.
Dalam versi berisiko (risky), Si Kuat yang berorientasi pada keadilan bisa memilih Dermawan dengan harapan Si Lemah akan berkolaborasi. Jika berhasil, hasilnya adil. Tetapi risiko tetap ada: Si Lemah dapat memilih Eksploitasi, yang membuat Si Kuat hanya menerima 10% kekayaan total. Karena itulah, Si Kuat sering memilih Defensif, bukan hanya karena kepentingan pribadi, tetapi juga karena pertimbangan strategis.
Dalam versi aman (safe), risiko itu tidak muncul: pilihan Dermawan dari Si Kuat dapat langsung menghasilkan pembagian yang setara tanpa khawatir dieksploitasi.

Gambar 1. Inequality Games- Exit Treatment
Setelah itu, peneliti menambahkan opsi keluar (exit option) sebagai mekanisme tambahan. Dalam perlakuan ini, semua partisipan, baik Si Kuat maupun Si Lemah apat memilih untuk keluar sebelum membuat keputusan. Jika salah satu memilih keluar, seluruh sumber daya dihanguskan dan kedua pemain mendapat 0 euro. Artinya, opsi ini merugikan kedua pihak sekaligus dan merupakan tindakan yang “destruktif” secara sosial, karena menghasilkan hasil yang lebih buruk dibandingkan tetap bermain. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 di atas.
Keputusan keluar harus diambil sebelum mengetahui tindakan lawan, sehingga tidak bisa dimaknai sebagai balas dendam personal. Peserta yang tetap bermain baru mengetahui di akhir periode apakah lawannya memilih keluar atau tidak. Dengan demikian, baik dalam kondisi yang aman ataupun berisiko, struktur dasar pengambilan keputusan tetap sama, hanya saja ditambah satu opsi ekstra dalam himpunan pilihan. Menurut teori permainan standar, baik Si Kuat maupun Si Lemah tidak memiliki insentif rasional untuk keluar, karena keputusan tersebut selalu membawa biaya tanpa manfaat. Karenanya, model teoritis memprediksi tidak ada perbedaan perilaku antar-perlakuan.
Untuk memberi peserta kesempatan belajar, permainan ini diulang sebanyak 10 periode, dibagi menjadi dua fase dengan panjang yang sama. Setelah setiap periode, peserta menerima umpan balik tentang tindakan lawannya serta hasil pay-off yang diperoleh.
Peran peserta bersifat tetap sepanjang eksperimen: siapa pun yang ditetapkan sebagai Si Kuat atau Si Lemah akan memegang peran tersebut hingga akhir. Setiap sesi terdiri dari 10 Si Kuat dan 10 Si Lemah, dipasangkan dengan protokol perfect strangers dimana tidak ada pasangan yang bertemu lebih dari sekali.
Di akhir Fase 1 (5 periode pertama), peserta menerima informasi agregat tentang rata-rata pendapatan masing-masing peran, serta jumlah total keputusan keluar pada perlakuan Exit. Kemudian pada Fase 2, mereka dipasangkan dengan kelompok lawan yang berbeda dari Fase 1. Artinya, meskipun mereka memiliki gambaran umum tentang pola perilaku di fase sebelumnya, mereka tetap tidak mengetahui perilaku individu yang akan dihadapi selanjutnya.
Bagaimana Perilaku Pemain dalam Eksperimen?
Untuk memahami bagaimana ketimpangan terbentuk dalam Inequality Game, peneliti mula-mula melakukan kontrol tanpa opsi keluar. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas pemain lemah cenderung kooperatif: 92% memilih Collaborate pada kondisi Aman dan 81% pada kondisi berisiko. Perbedaan ini menandakan bahwa lingkungan yang aman lebih kondusif bagi kerja sama. Namun, meski Si Lemah relatif sering bekerja sama, pemain Kuat tetap mendominasi surplus. Mereka hampir selalu memilih strategi Defensive—86% di kondisi berisiko dan 79% di kondisi aman sehingga menghasilkan distribusi keuntungan yang timpang: Si Kuat memperoleh sekitar 82–85% dari total surplus, angka yang dekat dengan prediksi Nash Equilibrium (90%). Dengan kata lain, permainan memang secara endogen melahirkan ketimpangan, dan perilaku Strong tidak banyak dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya risiko.
Ketika opsi keluar diperkenalkan, pola menarik muncul. Hampir tidak ada pemain kuat yang memilih keluar (hanya sekali dalam 600 interaksi). Sebaliknya, sebagian Lemah menggunakan opsi ini sebagai bentuk “pelarian” dari ketidakadilan. Secara agregat, aksi keluar dilakukan 12% kali di kondisi aman dan 7% di kondisi berisiko. Sekitar 30% Lemah mencoba keluar setidaknya sekali, dan proporsinya meningkat seiring waktu, khususnya di Safe. Analisis panel regresi menegaskan bahwa pengalaman berulang memperbesar kemungkinan Si Lemah untuk keluar, dengan efek yang jauh lebih kuat dalam kondisi aman (Safe). Hal ini dijelaskan lebih lanjut pada tabel di bawah:
Tabel 1. Perilaku Pemain saat Diberlakukan Treatment Keluar

Tabel 1 menyajikan estimasi regresi panel dengan efek acak (random effect). Model 1 menegaskan bahwa variabel Exit meningkat signifikan seiring periode pada kondisi Safe (Period × Safe), menandakan akumulasi frustrasi Lemah yang mendorong perilaku destruktif. Model 2 menunjukkan bahwa Exploit tidak berbeda signifikan antara Control dan Exit, sehingga Exit bukanlah substitusi dari eksploitasi. Model 3 mengonfirmasi adanya penurunan kolaborasi: interaksi Period × Safe bernilai negatif signifikan, menandakan kerja sama justru berkurang paling tajam di lingkungan yang relatif aman. Sebaliknya, Model 4 memperlihatkan bahwa perilaku Defensive dari Kuat tidak dipengaruhi oleh perlakuan maupun periode. Secara keseluruhan, regresi ini menegaskan bahwa dinamika utama terletak pada respons Si Lemah terhadap kegagalan ekspektasi, bukan pada perubahan strategi Si Kuat.
Tabel 2. Perbandingan antara Control dan Exit Treatment

Tabel 2 kemudian membandingkan Exit dengan Control untuk melihat apakah sekadar menyediakan opsi keluar sudah cukup mengubah strategi bermain, bahkan sebelum opsi itu benar-benar dipilih. Pada perlakuan Risky (Model 1–3), ketersediaan opsi keluar menurunkan probabilitas Exploit (–0.173) dan meningkatkan probabilitas Collaborate (0.140), menunjukkan bahwa ketika saluran protes formal tersedia, Si Lemah lebih bersedia bekerja sama ketimbang menggunakan eksploitasi sebagai bentuk perlawanan. Sebaliknya, pada perlakuan aman (Model 4–6), efek langsung dari Exit tidak signifikan. Namun, interaksi Exit × Period (–0.023) pada Model 5 menunjukkan bahwa kolaborasi menurun seiring waktu, konsisten dengan pola frustrasi akumulatif yang mendorong Lemah untuk memilih keluar. Dengan demikian, Tabel 2 menegaskan bahwa opsi protes tidak mengubah kemurahan hati Si Kuat, tetapi secara signifikan memengaruhi strategi Lemah: meredakan konfrontasi di dunia berisiko (risky), dan mempercepat transisi dari kerja sama ke protes di dunia aman (safe).
Tabel 3. Hasil Analisa Tingkat Individu

Akhirnya, analisis diperbesar ke level individu melalui Tabel 3, yang menggunakan regresi probit khusus pada pemain Lemah. Variabel Observed Generous berkoefisien negatif signifikan di seluruh model (–0.051 pada Model 1, –0.040 pada Model 5), menunjukkan bahwa setiap pengalaman kedermawanan Kuat menurunkan probabilitas Exit. Efek ini semakin kuat di kondisi aman (–0.086 pada Model 2), di mana kemurahan hati lebih konsisten dengan ekspektasi keadilan. Selain itu, ketidaksetaraan awal berperan penting: koefisien Payoff ratio (ph.1) × Safe sebesar –1.590 (Model 3) menegaskan bahwa menyaksikan distribusi yang relatif setara menekan kecenderungan protes pada fase berikutnya. Sebaliknya, variabel Exit by other Weak tidak signifikan, sehingga keputusan untuk keluar lebih dipengaruhi interaksi langsung dengan Si Kuat daripada perilaku sesama Si Lemah. Dengan demikian, Tabel 3 menunjukkan bahwa Exit merupakan respons adaptif berbasis pengalaman: kemurahan hati memulihkan harapan, sementara kekecewaan berulang mendorong perilaku destruktif dan antisosial.
Ketika Ekspektasi Dihadapkan dengan Realita
Setelah melihat bahwa perilaku exit di perlakuan Safe lebih sering muncul akibat frustrasi akumulatif, peneliti berusaha memastikan apakah penyebab utamanya benar-benar berasal dari ekspektasi awal yang terlalu optimis terhadap kemurahan hati si Kuat. Untuk menguji ini, mereka menyusun eksperimen lanjutan yang terpisah dari main experiment, yaitu Belief Experiment.
Sebanyak 122 partisipan baru direkrut, yang sama sekali tidak terlibat dalam eksperimen utama, untuk menghindari bias pengalaman. Masing-masing dibagi ke dalam perlakuan aman atau berisiko, lalu diminta membaca instruksi permainan dengan opsi exit persis seperti yang ada di eksperimen utama. Namun, mereka tidak benar-benar bermain, melainkan hanya melakukan dua tebakan:
Berapa banyak pemain Kuat (dari 10) yang akan memilih Defensive pada periode pertama.
Berapa banyak pemain Lemah (dari 10, yang tidak exit) yang akan memilih Collaborate pada periode pertama.
Tebakan ini tidak asal, karena diberi insentif menggunakan quadratic scoring rule: semakin dekat tebakan dengan data asli dari eksperimen utama, semakin besar bonus uang yang mereka terima. Dengan begitu, partisipan punya motivasi serius untuk berpikir realistis.
Sebelum menjawab, mereka wajib menyelesaikan 10 pertanyaan kontrol yang sama seperti di eksperimen utama, agar peneliti yakin instruksi benar-benar dipahami. Bahkan ada imbalan tambahan kecil untuk setiap jawaban benar di percobaan pertama. Total sesi berlangsung sekitar 45 menit, dengan rata-rata pendapatan €15,50 (sudah termasuk biaya hadir €4).

Gambar 2. Ekspektasi terhadap Aksi Si Kuat dan Si Lemah
Hasilnya menarik: partisipan yang membaca instruksi versi Aman lebih optimis. Mereka menebak pemain Kuat lebih jarang Defensive (rata-rata 7,5 dari 10) dibanding partisipan yang membaca instruksi versi berisiko (8,2 dari 10). Artinya, mereka mengira pemain Kuat di kondisi aman lebih sering mau bersikap murah hati (Generous). Hal serupa muncul di sisi Lemah: partisipan Safe memperkirakan lebih banyak Lemah yang akan Collaborate (7,4 vs 6,8 pada Risky).
Desain ini jadi penting karena menegaskan bahwa ekspektasi awal berbeda antar perlakuan meskipun instruksi yang dibaca hanya berbeda di konteks aman atau berisiko. Dengan kata lain, exit yang lebih tinggi di situasi aman bukan sekadar akibat ketidaksetaraan hasil, tapi berakar dari gap antara harapan yang terlalu positif dan realita perilaku Si Kuat yang tidak berubah banyak.
Kesimpulan dari Ketimpangan, Harapan, dan Frustrasi
Ketimpangan memicu protes terutama ketika dianggap bisa dihindari, bukan semata karena hasilnya timpang. Ekspektasi yang dikhianati lebih menentukan dibandingkan tingkat ketimpangan itu sendiri.
Eksperimen Inequality Game menunjukkan ketimpangan muncul secara endogen, karena pemain kuat hampir selalu memilih strategi defensif meski pemain lemah cenderung kooperatif.
Opsi keluar (exit) menjadi bentuk protes destruktif, digunakan terutama oleh pemain lemah sebagai simbol penolakan terhadap sistem yang tidak adil.
Lingkungan aman (Safe) justru menghasilkan lebih banyak exit dibanding Risky, karena ekspektasi kemurahan hati lebih tinggi namun jarang terpenuhi, sehingga frustrasi menumpuk.
Hasil eksperimen keyakinan menegaskan peran ekspektasi, di mana partisipan yang membaca instruksi untuk kondisi aman lebih optimis terhadap kemurahan hati Si Kuat, jarak antara harapan dan kenyataan inilah yang mendorong tindakan antisosial.
Diskusi dari Pandangan Penulis
Eksperimen dalam penelitian ini memang dilakukan di laboratorium dengan desain yang terkontrol. Kesederhanaannya membuat mekanisme inti dapat terlihat jelas: bagaimana ekspektasi yang dikhianati bisa melahirkan protes destruktif. Tetapi di sisi lain, justru kesederhanaan itu pula yang menjadi batasannya. Dunia nyata jauh lebih kompleks, dipenuhi faktor politik, budaya, dan institusi yang saling berinteraksi. Karena itu, hasil penelitian ini tidak bisa serta-merta digeneralisasi, meski tetap memberikan sudut pandang yang berharga untuk memahami dinamika ketidakpuasan sosial.
Relevansi temuan ini makin terasa ketika dikaitkan dengan Indonesia belakangan ini. Pengumuman kenaikan tunjangan DPR di tengah kondisi ekonomi sulit memicu gelombang demonstrasi pada akhir Agustus hingga awal September 2025. Di Indonesia, UMR Jakarta 2025 sebesar kurang lebih Rp 5,4 juta per bulan (CNN, 2025), sementara gaji dan tunjangan DPR sebelum pemangkasan menyentuh Rp 100 juta termasuk tunjangan, lalu setelah protes diturunkan ke Rp 65 juta (Kompas, 2025). Artinya, penghasilan DPR masih sekitar 12–20 kali UMR Jakarta, tergantung perhitungan dan komponen tunjangan yang dimasukkan. Situasi ini mirip yang dijelaskan eksperimen bahwa ketika efek dari posisi kekuasaan terlihat sangat jauh, frustrasi publik pun meningkat.
Respon publik tersebut sejalan dengan gambaran eksperimen: kemarahan bukan hanya soal ketimpangan hasil, tetapi lebih pada rasa ditinggalkan dan keyakinan bahwa mereka yang berkuasa sebenarnya mampu menciptakan keadaan lebih adil, tetapi memilih untuk tidak melakukannya.
Bentuk protes ekstrem seperti penjarahan memperlihatkan sisi paling destruktif dari frustrasi sosial. Sama seperti opsi exit dalam eksperimen, ia menjadi penolakan simbolik terhadap sistem yang dianggap tidak adil. Namun, cara ini tidak menyelesaikan masalah dan justru merugikan semua pihak, melemahkan legitimasi moral protes, dan meninggalkan luka sosial yang lebih dalam. Pada akhirnya, ada satu pelajaran yang bisa diambil:
“Ketimpangan memang melukai, tetapi yang paling berbahaya adalah ketika harapan bertemu kekecewaan.”
Sumber:
Kompas. (2025). Gaji DPR masih Rp 65 juta usai tunjangan rumah dihapus, Publik: Terlalu Besar, Belum Puas.”. Kompas Megapolitan. https://megapolitan.kompas.com/read/2025/09/06/15142171/gaji-dpr-masih-rp-65-juta-usai-tunjangan-rumah-dihapus-publik-terlalu
CNN Indonesia. (2025). Segini gaji UMP Jakarta 2025 dan perbandingan dengan wilayah lain. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250220224138-97-1200779/segini-gaji-ump-jakarta-2025-dan-perbandingan-dengan-wilayah-lain?



Comments