top of page

Cari Kerja atau… Cari Mati?Perdagangan Manusia berkedok Tawaran Pekerjaan

ree

Sumber: dokpri


Pernahkah terlintas di pikiran, apa yang sedang terjadi sebenarnya di negara Kamboja? Mengapa dalam 5 tahun terakhir, jumlah WNI di negara tersebut tercatat naik hampir sembilan kali lipat? Di jalan-jalan kota, rasanya begitu lazim menemukan toko-toko beraksarakan bahasa Indonesia seakan kita sengaja dibuat nyaman. Apakah karena Angkor Wat yang menjadi pusat, rangkaian pegunungan Cardamom yang hijau pekat, kuliner yang memikat, atau karena… alasan hitam yang coba ditutup rapat?


Inisial Menyelinapnya Kejahatan

Meski penipuan online dengan tawaran pekerjaan bergaji tinggi bukan lagi hal baru di masyarakat, kurangnya pemublikasian berita ini berujung pada rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya besar yang terus memakan korban. Seperti penyusup di tengah negeri yang menelan ribuan korban tanpa disadari, kasusnya mulai marak sejak pandemi. Angka korban WNI terus bertambah mencapai puluhan ribu. Dengan kualifikasi pekerjaan yang begitu tidak realistis dan gaji yang dianggap fantastis, para korban akibat buruknya penyerapan tenaga kerja di Indonesia tanpa mereka ketahui mengumpankan diri menjadi mangsa sindikat perdagangan orang.

Awalnya mereka menawarkan pekerjaan di bidang teknologi informasi atau layanan pelanggan, tetapi sesampainya di lokasi, mereka justru dipaksa bekerja sebagai scammer, contohnya dalam bidang judi online. Dari 10 negara tujuan, Kamboja-lah yang ‘teramai’,  meskipun Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Mukhtarudin, berkata bahwa Kamboja bukan negara tujuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) karena belum memenuhi aspek regulasi, jaminan sosial, dan perjanjian kerja sama resmi (Kompas, 2025). Calon ‘pekerja’ berangkat ke negara Angkor Wat ini secara non-prosedural dan hal ini membahayakan kelancaran proses kepulangan mereka.

Walau WNI pergi ke negara baru dengan harapan yang baru setelah menyetujui pekerjaan ini, mereka akan melalui proses yang sudah dilalui oleh teman-teman setanah air mereka sebelumnya. Seperti musuh dibalik selimut, brosur tawaran pekerjaan menggiurkan itu yang muncul ke laman digital mereka adalah hasil pekerjaan kawan setanah air, yang dulunya juga pernah berada di posisi mereka. Kini, keduanya sama-sama terjebak dalam situasi serba-salah. Jadi, siapa yang sebenarnya ‘baru’ di sini?

Seperti rantai yang terus berputar dalam poros yang sama tanpa ada yang cukup berkuasa memutus besinya, organisasi kejahatan ini menjadi sebuah sistem yang memanfaatkan ketidakstabilan, kemiskinan, dan ketidakmakmuran suatu negara. Jangan lupakan juga ketidakberdayaan orang-orang yang berada di ‘bawah’. Entah di bawah penguasa sistem hipokrit yang selalu mengagungkan kesejahteraan masyarakat atau entah di bawah takdir yang tidak mampu menyelamatkan mereka. Bisa juga… di bawah orang yang sudah berhasil membangun hidupnya tapi tidak punya daya yang cukup untuk mengulurkan tangan. Karena pada dasarnya, semua orang berjuang bukan?


Korban TPPO Tidak Didominasi Kalangan Rentan

Selama ini asumsi orang akan korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) melalui online scam adalah orang berpendidikan rendah dan kehidupan ekonomi menengah ke bawah. Namun, menurut Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, mayoritas korban justru berusia 18-35 tahun dan berpendidikan. Bahkan orang bergelar magister pun jatuh dalam perangkap ini, tergiur oleh job desk yang mudah dengan gaji besar serta berlokasi di luar negeri (Kompas, 2025). Dikatakan juga bahwa banyak korban meninggalkan pekerjaan yang layak demi gaji yang lebih tinggi. 

Duta Besar RI di Kamboja, Santo Darmosumarto, mengkategorikan tiga kelompok WNI yang menjadi sasaran empuk sindikat kejahatan ini. Pertama, orang yang sama sekali tidak tahu-menahu akan ujung benang pekerjaan ilegal ini. Kedua, orang yang menjadikan pekerjaan ini sebagai ajang coba-coba. Ketiga, orang yang dengan kesadaran penuh melibatkan diri. Menurut data Kemlu RI, terdapat 10.000 WNI korban penipuan ini sejak 2020. Namun, hanya 1.500 dikategorikan sebagai korban TPPO hingga timbul frasa ‘korban kambuhan’  korban yang pernah terlibat kasus serupa tetapi kembali untuk bekerja lagi (Adit, 2025).


Pengangguran sebagai Batu Sandungan dalam Negeri

Berdasarkan laporan BPS (2025), pada bulan Februari terjadi kenaikan pada partisipasi tenaga kerja sebanyak 0,8% dan penurunan tingkat pengangguran sebesar 0,06% (tahun dasar 2024) dengan gaji rata-rata RP3,09 juta. Di bulan yang sama, pekerja informal Indonesia meningkat hingga 59,40% dari total pekerja per Februari 2025 (BPS, 2025). Bila dianalisa, turunnya tingkat pengangguran menimbulkan tanda tanya. Apakah mereka benar-benar terserap dalam sektor yang layak atau keputusasaan menjadi pengangguran membuat mereka rela melakukan apapun agar dapat mengisi perut? Karena definisi bekerja menurut BPS adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh keuntungan, minimal satu jam dalam seminggu terakhir. Ini berarti pekerja serabutan yang kepastian pekerjaannya terombang-ambing, pedagang kaki lima yang hanya mengejar kecukup hari ke hari, hingga mitra ojek online yang berkata pada pelanggannya, ‘dapat pelanggan aja udah syukur, Mbak,’ juga terhitung sebagai orang yang bekerja.

BBC mewawancarai seorang ‘korban’ yang sudah bekerja sebagai scammer sejak 2024. Baginya, gaji UMR pun tidak mencukupi kehidupannya sebagai tulang punggung keluarga. Walau kemudian menanggung rasa bersalah saat menipu, ia tetap meninggalkan pekerjaan yang dianggap ‘layak’ di Indonesia demi gaji yang lebih memadai. Namun, tidak semua orang seberuntung dia yang tidak disiksa. Ada korban yang meninggal akibat penyiksaan. Keluarganya ditagih Rp80 juta untuk menebus mayatnya agar dipulangkan ke Indonesia. Karena ketidakmampuan menebus, mayatnya dibiarkan dikubur di Kamboja. Setidaknya… itu yang mereka tahu (BBC, 2025)

Korban tersebut adalah lulusan SMK yang bekerja serabutan dan sudah desperate untuk mendapat pekerjaan. Bila mengacu pada definisi BPS, ia termasuk ‘pekerja’. Namun, menurut hati nurani, apakah ia sungguh bekerja?


Asymmetric Information Theory: Ada Harga  Ada Kualitas?

Suatu fenomena ekonomi yang tergambar dengan baik dalam kasus ini adalah fenomena asymmetric information, yaitu di mana dalam sebuah transaksi ekonomi, satu pihak menguasai lebih banyak informasi dari pihak lainnya sehingga merugikan pihak lain tersebut (Akerlof, 1970). Ketimpangan informasi ini berujung pada kegagalan pasar  yang didefinisikan sebagai tidak efisiennya distribusi produk. Akerlof mengilustrasikan dalam pasar penjualan mobil bekas, penjual mengetahui lebih detail akan kondisi barang jualannya termasuk kekurangan yang mungkin tidak diberitahukan kepada pembeli. Hal ini berujung pada pembeli yang membayar pada harga yang lebih tinggi dari harga barang sebenarnya.

Dalam kasus ini, korban perdagangan orang adalah ‘pembeli’ tawaran pekerjaan yang diberi oleh organisasi kejahatan ini yang berperan sebagai penjual. Sebenarnya, ‘harga’ yang ditawarkan sebenarnya juga sedikit irasional dibanding dengan kualitas barang (dalam hal ini gaji yang didapatkan). Bertentangan dengan slogan ‘ada harga ada kualitas’, dengan harga ‘murah’ (dalam hal ini kualifikasi pekerjaan yang terlampau simpel) para calon pembeli ditawarkan kualitas tinggi — gaji dua digit. Namun, terdapat asymmetric information di mana penjual yaitu penyedia pekerjaan tidak memberikan informasi mengenai sistem keji yang sesungguhnya terdapat di balik layar. Tidak ada informasi akan cambukan, siksaan, dan tekanan yang akan diberi pada para pekerja setelah mereka memutuskan untuk menganggukkan kepala pada tawaran bodoh ini.

Memang dari semula patut dicurigai akan hal imbalan yang dijanjikan terlalu ‘jomplang’ dengan harga yang mereka bayarkan. Hal ini memberi euforia bagi korban yang didominasi pemuda bangsa. Pun begitu, bukankah setiap butir keringat pekerja bernilai?


Modern Slavery dari Sudut Pandang Ekonomi

Jelas dalam kasus ini bahwa pekerjaan yang dilakukan para korban adalah kerja paksa. Korban dipaksa bekerja 16 jam sehari tanpa hari libur, disajikan makanan haram tanpa peduli aturan agama, disiksa secara fisik, ponsel ditahan, dan komunikasi dibatasi. Bila ingin resign, korban harus mencari pengganti. Artinya, semakin banyak korban yang akan termakan dan melanjutkan siklus hitam ini. Hal inilah yang memicu terjadinya kericuhan di kota Chrey Thum, provinsi Kandal, negara Kamboja oleh sejumlah WNI beberapa waktu silam.

Kerja paksa adalah salah satu bentuk dari perdagangan manusia. Forced Labour Convention, 1930 (No. 29) mendefinisikan kerja paksa sebagai pekerjaan yang dilakukan seseorang di bawah ancaman penalti dan tidak dilakukan dengan sukarela dan umum juga dibahasakan sebagai ‘modern slavery’. Dalam buku Time on Cross: The Economics of American Negro Slavery (1974), Foger dan Engerman menyebutkan bahwa walau kerja paksa  dalam kasus ini perbudakan, menurunkan social welfare atau kesejahteraan sosial bagi korban, tetapi menunjukkan kenaikan dalam economic efficiency atau net output. Mereka berargumen bahwa ‘sistem’ ini memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Namun, Acemoglu dalam paper-nya berjudul The Economics of Labor Coercion (2010) membuat model ekonomi yang menyanggah hal tersebut dengan menyatakan bahwa kerja paksa tidak meningkatkan efisiensi suatu produksi dikarenakan menurunnya social welfare terlihat dari tekanan yang diberi ‘atasan’  organisasi yang memperbudak manusia, yang lebih besar dari usaha yang dihasilkan oleh pekerja. 


Kerugian Ekonomi akibat Modern Slavery WNI… Seberapa Besar?

Ketika pekerja menginginkan gaji sebesar-besarnya dan perekrut ingin membayar serendah-rendahnya, titik ekuilibrium dalam pasar bebas bisa juga tidak bertemu tetapi menemukan stabilitasnya. Namun, terdapat pekerjaan yang tidak akan menarik minat pekerja walau ada penawaran gaji. Pekerjaan sebagai scammer termasuk ke dalam kategori ini sehingga ada atau tidaknya titik pertemuan atau ekuilibrium antara kurva permintaan dan kurva penawaran tidak bermakna. Akhirnya, korban tidak menerima pembayaran seperti yang seharusnya ia terima dalam pasar bebas.

Perbudakan bermula dari kelangkaan tenaga kerja yang kemudian mempengaruhi jumlah permintaan tenaga kerja. Para atasan lalu berusaha memeras usaha para pekerja dengan memberi tekanan lebih untuk meningkatkan marginal product dari pekerja paksa. Ini berarti ada pencurian nilai ekonomi dari pekerja untuk memaksimalkan profit organisasi ilegal yang disebut dengan victim’s economic loss  kerugian baik secara finansial maupun non-materi yang dialami korban kejahatan dan pelanggaran HAM.

Pekerja sewajarnya berhak atas gaji, keselamatan, pelatihan dan pengembangan kemampuan, serta hak sebagai pribadi yang hidup seperti hak untuk menentukan masa depannya sendiri. Namun, dengan bekerja sebagai ‘budak modern’, seorang pekerja kehilangan semua haknya, bahkan sekedar untuk mempertahankan kewarasannya saja tidak dimampukan. Hal ini juga termasuk pada victim’s economic loss. 

Selain pelanggaran HAM yang sudah jelas, terdapat dampak ekonomi yang tak terhindarkan bagi ‘komunitas’ korban, dalam hal ini negara Indonesia. Hal ini berhubungan dengan economic loss dari segi sumber daya manusia, potensial penerimaan pajak, bahkan potensi pertumbuhan ekonomi dalam berbagai bidang yang mungkin saja muncul dari anak-anak muda yang sayangnya terjebak dalam perbudakan modern. Kajian ILO (International Labour Organization) mengindikasikan bahwa eksploitasi ekonomi buruh melalui kerja paksa dengan mengecualikan industri seks mencapai USD 10,4 miliar. Bayangkan seberapa besar ‘nilai’ tenaga kerja Indonesia yang angkanya menyentuh ribuan orang terbuang sia-sia. Apalagi korban berkemungkinan besar membawa trauma mendalam akan kegiatan bekerja itu sendiri yang dalam jangka panjangnya, trauma psikologis dapat membuat korban menjadi ‘tidak terhitung’ di antara masyarakat dan kesulitan untuk berkontribusi sebagai pribadi yang utuh baik dalam segi sosial maupun ekonomi.


Kebebasan Rakyat = Kekayaan Negara

Salah satu negara yang mengalami perubahan ekonomi yang bernilai secara historis terkait dengan penghapusan sistem perbudakan adalah Amerika Serikat. Setelah berakhirnya Perang Saudara pada tahun 1865, dibuatlah Amandemen ke-13 dari Konstitusi Amerika Serikat yang menghapuskan praktik perbudakan. Walau awalnya mengakibatkan resesi singkat karena hancurnya pilar ekonomi bagian Selatan yang sebelumnya ditopang oleh kejamnya sistem perbudakan belum lagi efek pasca perang, pada akhirnya terjadi revolusi industri besar-besaran yang mengalihkan pusat ekonomi dari agrikultur ke sektor industri. Ledakan ekonomi ini tentu efek dari berakhirnya sistem perbudakan yang memicu ide, inovasi, dan pertumbuhan dari segi sumber daya manusianya dan menggambarkan bahwa dalam suatu negara yang makmur, ada kebebasan rakyatnya. 

Dalam ekonomi ada banyak faktor yang menyebabkan ketidakpastian suatu asumsi tetapi dari kasus yang sering ditemui, suatu negara akan lebih kaya bila para pekerjanya memiliki lebih banyak hak yang kemudian dapat meningkatkan produktivitas mereka (Summer, 2014). Di dalam negara Indonesia sendiri memang jarang terekspos akan kasus perbudakan dalam negeri, tetapi ketiadaan pekerjaan itu sendiri adalah pencurian hak natural dari seorang ‘pekerja’ bukan?


Dari Indonesia, untuk Indonesia

Akar permasalahan bila dilihat dari faktor internalnya adalah tingginya tingkat PHK dan pengangguran saat pandemi yang kemudian menjadi celah. Seseorang yang berada di bawah perbudakan, akan mencari outside option (Acemoglu, 2011). Outside option atau ‘pilihan lain’ adalah pekerjaan yang lebih manusiawi. Namun, hal ini kurang relevan dengan negara Indonesia yang kekurangan lapangan pekerjaan, sehingga bagi para korban sepertinya tidak ada pilihan lain. Maka, pembukaan lapangan pekerjaan lebih lagi sebagai efek dari kebijakan-kebijakan yang bisa diinisiasi pemerintah diharapkan dapat membantu menggerus angka korban TPPO ini dengan menciptakan outside option. Sebenarnya, banyak cara yang bisa dilakukan seperti yang juga sudah diterapkan negara-negara lain yang lebih dulu menang atas permasalahan ini. Pemberian insentif pajak, bantuan finansial, dan proses legalitas yang mudah bagi UMKM sebagai penyerap utama tenaga kerja diekspektasikan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Naiknya penyerapan tenaga kerja berimbas pada kenaikan penerimaan pajak dan kesejahteraan masyarakat yang akan menciptakan win-win solution (seharusnya).

Tangisan para korban wajarnya disuarakan dengan mengangkat kasus ini ke permukaan melalui berbagai media. Hal ini akan membuka mata publik mengenai hal yang sebenarnya terjadi. Pemerintah sewajarnya mengangkat kasus ini, membuat beritanya meledak sehingga mencelikkan mereka yang tadinya tergiur. Secara ekonomi, bukankah naiknya kasus ini meningkatkan kerugian negara? Maka bila berita ini terkubur, apa yang sebenarnya terjadi di belakang tirai? Bukankah ‘dapur’ kita sedang terbakar? Rasanya, kemanusiaan sudah mati bila masih ada ‘pihak’ yang diuntungkan dari tragedi ini.

Seperti tagar yang sempat viral beberapa waktu pada masa maraknya demonstrasi, dalam kasus ini boleh juga penerapan #WargaJagaWarga. Bukan dari provokator, bukan dari kerusuhan, tetapi dari predator manusia yang kadang lebih dulu bertindak sebelum sempat disadari.



References:

Acemoglu, D., & Wolitzky, A. (2011). The Economics of Labor Coercion. Econometrica, 79(2), 555-600. https://doi.org/10.3982/ECTA8963

 

Adit, A. (2025, 4 November). Dubes RI Ungkap Kenapa Banyak WNI Terjebak Kerja di Pusat Scam Kamboja. Kompas. https://www.kompas.com/global/read/2025/11/04/170518170/dubes-ri-ungkap-kenapa-banyak-wni-terjebak-kerja-di-pusat-scam-kamboja?source=sorotan 


Akerlof, G. A. (1970). The Market for “Lemons”: Quality Uncertainty and the Market Mechanism. The Quarterly Journal of Economics, 84(3), 488–500. https://doi.org/10.2307/1879431 


Azwar et al. (2025, 30 April). Makin banyak WNI pergi ke Kamboja, mengapa ini bermasalah? BBC. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cd9l59qvw9lo


Maulana. (2025, 5 November). Memaknai Angka Pengangguran BPS. BPS. https://jakutkota.bps.go.id/id/news/2025/11/05/312 


BPS. (2025). Unemployment rate was 4.76 percent. The average wage of employees was 3.09 million rupiah. https://www.bps.go.id/en/pressrelease/2025/05/05/2432


Inter-American Development Bank. (2006). Human trafficking's dirty profits and huge costs. https://www.iadb.org/en/news/human-traffickings-dirty-profits-and-huge-costs 


International Labour Organization. (2012). ILO Global Estimates of Forced Labour: Results and Methodology. International Labour Office.


Lainufar, I. R. (2025, 22 Oktober). Terungkap, WNI Berpendidikan Justru Mendominasi Korban TPPO Kamboja. Kompas.


Safitri & Akbar. (2025, 28 Oktober). Menteri P2MI Sebut Pekerja Migran di Kamboja Berangkat Secara Ilegal.  Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2025/10/28/16241171/menteri-p2mi-sebut-pekerja-migran-di-kamboja-berangkat-secara-ilegal?source=bacajuga&engine=C 



Scott Summer. (2014, 13 September). Ending Slavery Made America Richer. Econlib. https://www.econlib.org/archives/2014/09/ending_slavery.html 





 
 
 

1 Comment

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Ami
6 hours ago
Rated 5 out of 5 stars.

#wargajagawarga

Like
bottom of page