top of page

Ketika yang Manis Menyingkap Ketimpangan: Jejak Diabetes dan Status Ekonomi di Indonesia

Sumber: dokpri
Sumber: dokpri

Judul Artikel             : Correlation between economic status and severity of type 2 diabetes

mellitus in Indonesia: analysis of claim data from the national health

insurance scheme, 2018–2022

Penulis : Ahsan A. , Baros W. A., Siregar D. R., et al. 

Tahun Terbit : 2025

Jurnal : British Medical Journal Open 2025

Diulas oleh Melvina Garcia


Ketika Diabetes Bertemu Ketimpangan Sosial

Dalam beberapa dekade terakhir, diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) telah menjadi salah satu penyakit tidak menular dengan peningkatan tercepat di dunia. Pada tahun 2019, 463 juta orang diperkirakan hidup dengan diabetes, dan angka ini diproyeksikan meningkat menjadi 700 juta pada tahun 2045 (World Health Organization, 2020). Di Indonesia sendiri, diabetes merupakan penyebab kematian ketiga tertinggi, serta menjadi salah satu kontributor utama beban DALYs (Disability Adjusted Life Years). DALYs sendiri merupakan sebuah ukuran pada bidang kedokteran yang digunakan untuk menghitung tahun kehidupan yang hilang akibat kematian prematur dan tahun kehidupan yang hilang akibat disabilitas (Murray & Lopez, 1990). Diabetes tidak hanya berdampak pada kualitas hidup, ia juga membebani sistem kesehatan, terutama karena komplikasinya yang luas seperti nefropati, retinopati, hingga penyakit kardiovaskular.

Melihat tingginya beban penyakit diabetes dan tantangan akses layanan kesehatan di Indonesia, studi ini hadir untuk menjawab pertanyaan penting mengenai efektivitas perlindungan sosial melalui JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dalam mengurangi kesenjangan kesehatan pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Dengan menganalisis keterkaitan antara status ekonomi, yang direpresentasikan melalui jenis kepesertaan BPJS, dan tingkat keparahan diabetes, penelitian ini berupaya memberikan gambaran nyata apakah sistem asuransi kesehatan nasional telah mampu berperan sebagai penyeimbang akses layanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang paling rentan mengalami komplikasi diabetes.

Perhatian utama dalam studi ini adalah bagaimana faktor sosial ekonomi mempengaruhi keparahan penyakit. Orang-orang dari kelompok ekonomi rendah seringkali menghadapi hambatan struktural dalam mengakses pelayanan kesehatan preventif maupun kuratif. Meski skema JKN telah meliputi lebih dari 84% populasi Indonesia, banyak studi menunjukkan bahwa cakupan administratif belum sepenuhnya menjamin keterjangkauan dan efektivitas layanan. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi apakah skema asuransi kesehatan ini sudah benar-benar berhasil menekan disparitas hasil kesehatan.



Melacak Ketimpangan Melalui Data Klaim Nasional Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan data sekunder yang diperoleh dari klaim JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Fokus analisis adalah pada pasien yang didiagnosis dengan T2DM dan dirawat di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) selama periode 2018-2022, yakni dari tanggal 1 Januari 2018 - 31 Desember 2022. Diagnosis pasien mengacu pada kode ICD-10, dan klasifikasi tingkat keparahan mengikuti pedoman INA-CBG (Indonesian Case Base Groups), yang dibagi menjadi empat kategori, yakni: 

  • Rawat jalan (tingkat 0), tidak dirawat inap

  • Ringan (tingkat I), dirawat inap tanpa komplikasi

  • Sedang (II), dengan komplikasi ringan

  • Berat (III), dengan komplikasi berat

Jumlah awal data klaim adalah 3.199.593 kunjungan, namun setelah dilakukan pembersihan (data cleaning) terhadap entri yang tidak lengkap, jumlah akhir yang dianalisis mencapai 2.989.618 kunjungan. Data ini bersifat cross-sectional pooled, dan karena bersumber dari klaim, maka tidak mengikuti perkembangan suatu individu secara terus menerus. Artinya, satu pasien bisa muncul dalam dataset lebih dari satu kali jika melakukan kunjungan berulang.


Sebagai variabel independen utama, jenis kepesertaan BPJS digunakan sebagai pembanding status ekonomi pasien, dengan pembagian sebagai berikut: 

  • PBI (Penerima Bantuan Iuran) dari pemerintah, mewakili kelompok miskin

  • Non PBI, yang terdiri dari 3 subkelompok:

  • PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah), mewakili pekerja sektor informal.

  • PPU (Pekerja Penerima Upah), mewakili pekerja sektor formal.

  • BP (Bukan Pekerja), mewakili kaum non pekerja (mandiri).


Sementara itu, variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini antara lain usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan kelas iuran (kelas 1, 2, dan 3), dengan kelas 1 sebagai kelas tertinggi dan kelas 3 sebagai kelas terendah. Penelitian ini juga menggunakan variabel tipe rumah sakit (kelas A, B, C, dan D), di mana rumah sakit kelas A menawarkan fasilitas dan layanan yang paling lengkap, sedangkan rumah sakit kelas D memiliki fasilitas yang lebih terbatas, serta termasuk klinik utama. Selain itu, variabel wilayah geografis, partisipasi dalam Program Manajemen Penyakit Kronis (Prolanis), keberadaan komplikasi dan komorbiditas, tahun kunjungan, serta lama rawat inap juga digunakan sebagai variabel kontrol.


Teknik analisis yang digunakan adalah regresi logistik ordinal, yang sesuai untuk menganalisis variabel dependen yang bersifat ordinal, seperti tingkat keparahan. Uji multikolinearitas juga dilakukan dengan nilai rata-rata VIF (Variance Inflation Factor) sebesar 6,88 yang masih dalam batas wajar (<10), sehingga semua variabel di atas dapat dimasukkan dalam model.  


ree

Berdasarkan model regresi diatas, variabel Yseverity mewakili tingkat keparahan penyakit pasien, yang merupakan variabel dependen. Variabel independen utama adalah IMC (Insurance Membership Category) atau jenis kepesertaan BPJS. Selanjutnya, terdapat  variabel kontrol, dimulai dengan variabel Age yang menggambarkan usia pasien, variabel Gen mewakili jenis kelamin pasien, MS (Marital Status) sebagai status pernikahan pasien, Prol menggambarkan partisipasi dalam Program Manajemen Penyakit Kronis (Prolanis), PCC (Patient Contribution Class) merupakan kelas iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan yang dibayarkan oleh peserta secara mandiri atau oleh pemberi kerja, variabel Reg menggambarkan wilayah geografis pasien, Year mewakili tahun kunjungan, Comp (Complications) menjelaskan penyakit yang muncul selama periode perawatan, lalu Comb (Comordibity) merupakan penyakit yang menyertai diagnosis utama atau kondisi yang sudah ada sebelum pasien dirawat, HT (Hospital Type) mewakili tipe rumah sakit atau klinik utama yang dikunjungi, LoS (Length of Stay) merupakan lama rawat inap, dan  merupakan variabel error. Model ini dirancang untuk mengisolasi pengaruh dari tingkat kepesertaan JKN terhadap kemungkinan pasien mengalami T2DM yang lebih parah, sembari mengontrol sebanyak mungkin faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil tersebut.


Bagaimana dengan Hasilnya?

Hasil penelitian ini menunjukkan sejumlah temuan penting yang mengkonfirmasi adanya ketimpangan dalam distribusi keparahan penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 (T2DM) berdasarkan faktor sosial, ekonomi, dan demografi. Dari sisi demografi yang ditunjukkan pada Tabel 1, mayoritas pasien berada dalam kelompok usia 55–64 tahun (38%) dan 45–54 tahun (29%), yang menunjukkan bahwa penyakit ini sangat lazim di usia produktif akhir. Sebanyak 59,3% pasien adalah perempuan, sementara 40,7% adalah laki-laki. Selain itu, 84% pasien tercatat sudah menikah dan lebih dari separuhnya (50,5%) tinggal di Pulau Jawa. Temuan ini menunjukkan bahwa beban penyakit terkonsentrasi di wilayah padat penduduk dan pada usia serta gender tertentu.


Tabel 1. Karakteristik Demografis dan Regional dari Kunjungan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 (T2DM) pada tahun 2018–2022

Sumber: Ahsan A, et al. (2025)
Sumber: Ahsan A, et al. (2025)

Selanjutnya, berdasarkan tabel 2, dari total 2.989.618 kunjungan, lebih dari separuh (55,6%) diklasifikasikan sebagai rawat jalan (tingkat keparahan 0), 25,9% tergolong ringan (tingkat keparahan 1), 13% sedang (tingkat keparahan 2), dan 5,5% berat (tingkat keparahan 3). Ketika dianalisis berdasarkan jenis kepesertaan JKN, kelompok penerima bantuan iuran (PBI) mencatatkan proporsi kasus berat (tingkat III) tertinggi, yaitu sebesar 6,9%. Sebagai perbandingan, hanya 4,9% kasus berat terjadi pada kelompok PBPU & PPU (pekerja formal dan informal), dan 5,5% pada kelompok non-pekerja (BP). Hal ini memperkuat dugaan bahwa kelompok miskin datang ke pusat pelayanan kesehatan dalam kondisi yang lebih parah.


Tabel 2. Distribusi Tingkat Keparahan Kunjungan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 (T2DN) pada tahun 2018–2022

Sumber: Ahsan A, et al. (2025)
Sumber: Ahsan A, et al. (2025)

Dalam analisis menggunakan regresi logistik ordinal pada tabel 3, ditemukan bahwa jenis kepesertaan BPJS sangat mempengaruhi tingkat keparahan. Pembahasan hasil analisis ini akan difokuskan dengan membandingkan Odds Ratio (OR). OR menunjukkan seberapa besar peluang terpapar suatu kondisi atau hasil pada satu kelompok dibanding kelompok referensi (base group). Berikut cara menginterpretasikan hasil rasio yang tertera:

  • OR = 1 → Tidak ada perbedaan risiko antara kelompok referensi dengan kelompok yang diteliti.

  • OR > 1 → Kelompok yang diteliti memiliki peluang lebih besar mengalami kejadian dibanding kelompok referensi.

  • OR < 1 → Kelompok yang diteliti memiliki peluang lebih kecil mengalami kejadian dibanding kelompok referensi.

Dibandingkan dengan kelompok PBI, kelompok PBPU & PPU memiliki Odds Ratio (OR) sebesar 0,740 (CI: 0.735–0.745) dan kelompok BP sebesar 0,718 (CI: 0.711–0.725), keduanya signifikan secara statistik pada p < 0,001. Ini berarti peluang mengalami T2DM berat secara signifikan lebih rendah pada kelompok dengan status ekonomi yang lebih tinggi.


Tabel 3 (potongan). Analisis Regresi Logistik Multivariat mengenai Hubungan antara Tingkat Keparahan Kunjungan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 (T2DN) dengan Jenis Kepesertaan BPJS di Indonesia pada tahun 2018–2022

Sumber: Ahsan A, et al. (2025)
Sumber: Ahsan A, et al. (2025)

Selain itu, usia lanjut menjadi prediktor kuat keparahan. Pasien berusia di atas 75 tahun memiliki OR sebesar 1,568 dibanding kelompok usia 15–24, menunjukkan peningkatan lebih dari 50% risiko keparahan. Jenis kelamin juga menjadi variabel signifikan: pasien perempuan memiliki OR sebesar 1,087 (CI: 1.082–1.092), menunjukkan bahwa perempuan sedikit lebih rentan mengalami diabetes yang parah dibanding laki-laki. Status menikah memiliki efek protektif, pasien yang menikah memiliki OR sebesar 0,969 , sedikit lebih rendah dari yang tidak menikah.


Tabel 3 (potongan). Analisis Regresi Logistik Multivariat mengenai Hubungan antara Tingkat Keparahan Kunjungan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 (T2DN) dengan Jenis Kepesertaan BPJS di Indonesia pada tahun 2018–2022

Sumber: Ahsan A, et al. (2025)
Sumber: Ahsan A, et al. (2025)

Wilayah domisili juga berpengaruh, pasien dari luar Jawa cenderung memiliki risiko keparahan lebih rendah dibandingkan pasien di Jawa, dengan wilayah Bali & Nusa Tenggara menunjukkan OR serendah 0,384. Ini bisa mencerminkan perbedaan dalam sistem rujukan, akses rumah sakit rujukan, atau tekanan jumlah pasien. Dari sisi pelayanan rumah sakit, rumah sakit tipe B memiliki OR yang lebih tinggi dibandingkan rumah sakit tipe A. Hal ini menunjukkan bahwa, pasien T2DM yang menjalani perawatan di rumah sakit tipe B lebih mungkin mengalami penyakit yang lebih parah dibandingkan dengan pasien di rumah sakit tipe A. Di sisi lain,  rumah sakit tipe C, D, dan klinik utama memiliki OR jauh lebih rendah.



Tabel 3 (potongan). Analisis Regresi Logistik Multivariat mengenai Hubungan antara Tingkat Keparahan Kunjungan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 (T2DN) dengan Jenis Kepesertaan BPJS di Indonesia pada tahun 2018–2022

Sumber: Ahsan A, et al. (2025)
Sumber: Ahsan A, et al. (2025)

Partisipasi dalam program Prolanis terbukti memberikan efek protektif, pasien yang terdaftar dalam prograDm ini memiliki OR 0,630 (CI: 0.624–0.637), menunjukkan pengurangan risiko keparahan hingga 37%. Faktor komorbiditas dan komplikasi meningkatkan risiko secara signifikan. Komplikasi memiliki OR sangat tinggi sebesar 1,907, menunjukkan hampir dua kali lipat risiko keparahan dibanding pasien tanpa komplikasi. Lama rawat inap juga sangat berkorelasi dengan tingkat keparahan, pasien yang dirawat 10–19 hari memiliki OR 8,235, dan mereka yang dirawat lebih dari 50 hari memiliki OR 22,395. Semakin lama dirawat, semakin besar kemungkinan pasien berada dalam kondisi berat.


Tabel 3 (potongan). Analisis Regresi Logistik Multivariat mengenai Hubungan antara Tingkat Keparahan Kunjungan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 (T2DN) dengan Jenis Kepesertaan BPJS di Indonesia pada tahun 2018–2022

Sumber: Ahsan A, et al. (2025)
Sumber: Ahsan A, et al. (2025)

Perlindungan Tidak Sama dengan Akses

Melalui studi ini, ditegaskan bahwa status ekonomi merupakan determinan sosial yang signifikan terhadap keparahan T2DM. Walaupun sistem JKN bertujuan menjamin akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kelompok miskin (PBI) tetap berada dalam posisi yang paling rentan. Mereka cenderung datang ke fasilitas kesehatan ketika kondisi sudah parah, baik karena hambatan biaya tidak langsung, kurangnya literasi kesehatan, maupun keterbatasan dukungan sosial. Artinya, cakupan administratif yang luas tidak identik dengan keadilan layanan. Fakta bahwa partisipasi dalam Prolanis mampu menurunkan risiko keparahan memberikan harapan. Program ini, yang menyediakan layanan preventif dan monitoring secara aktif, dapat berfungsi sebagai intervensi utama untuk menahan progresivitas penyakit, terutama jika diperluas ke seluruh wilayah dan didesain lebih inklusif.


Kesimpulan: Menjadi Miskin Membuat Sakit Lebih Parah

Ulasan terhadap studi ini menegaskan bahwa status sebagai peserta PBI, yang mewakili kelompok miskin, berkorelasi positif dengan tingkat keparahan diabetes yang lebih tinggi. Kebijakan JKN perlu dievaluasi lebih dalam, tidak hanya dari sisi cakupan jumlah peserta, tetapi juga dari aspek efektivitas intervensi yang dirasakan oleh peserta paling rentan. Memperluas cakupan Prolanis, menyempurnakan targeting PBI, dan menghapus hambatan struktural lainnya dapat menjadi langkah penting agar keadilan dalam kesehatan bisa benar-benar terwujud.


Diskusi dari Pandangan Pengulas

Penelitian ini memberikan gambaran penting mengenai hubungan antara status ekonomi pasien, yang terlihat dari jenis keanggotaan BPJS, dengan tingkat keparahan diabetes tipe 2 di Indonesia. Dengan menggunakan data klaim nasional yang sangat luas, penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa pasien dari kelompok ekonomi rendah cenderung memiliki tingkat keparahan penyakit yang lebih tinggi. Hal ini menjadikan penelitian ini relevan secara nasional, menggambarkan kondisi nyata di lapangan, serta dapat menjadi dasar advokasi kebijakan untuk memperkuat upaya pencegahan dan pengelolaan diabetes secara lebih efektif.

Data yang digunakan dalam penelitian ini juga menggambarkan tiga realitas penting yang perlu menjadi perhatian. Pertama, masih adanya kesenjangan akses layanan kesehatan preventif bagi kelompok ekonomi rendah, yang membuat banyak pasien baru datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi sudah parah. Kedua, adanya tantangan dalam pengelolaan penyakit kronis di tingkat layanan primer, yang terlihat dari tingginya angka keparahan pada kelompok tertentu. Ketiga, tingginya tingkat keparahan ini menunjukkan potensi beban finansial yang besar bagi sistem kesehatan nasional di masa depan, mengingat biaya perawatan pasien dengan komplikasi diabetes jauh lebih tinggi dibandingkan pasien dengan kondisi yang masih terkendali.

Namun demikian, penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan. Desain penelitian yang bersifat cross-sectional hanya dapat menunjukkan hubungan, tetapi tidak dapat membuktikan sebab-akibat secara langsung. Selain itu, penelitian ini menggunakan data sekunder klaim BPJS yang tidak memiliki data klinis seperti kadar HbA1c, gula darah puasa, dan indeks massa tubuh, serta tidak memuat data pola hidup pasien seperti pola makan dan aktivitas fisik. Penelitian ini juga tidak dapat memantau perkembangan pasien secara berkelanjutan karena hanya menggunakan data kunjungan kumulatif, padahal pemantauan jangka panjang sangat penting pada penyakit kronis seperti diabetes.

Berdasarkan hasil penelitian dan temuan di lapangan ini, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pengelolaan diabetes di Indonesia. Penguatan layanan pencegahan dan deteksi dini di tingkat puskesmas, terutama bagi kelompok ekonomi rendah, menjadi langkah penting yang dapat mengurangi tingkat keparahan penyakit. Selain itu, perlu dilakukan edukasi tentang gaya hidup sehat dan manajemen mandiri diabetes melalui kader kesehatan dan komunitas agar pasien dapat mengendalikan kondisi mereka sebelum muncul komplikasi yang lebih serius. Pengintegrasian data klinis dengan data klaim BPJS juga penting dilakukan agar pemantauan kondisi pasien dapat dilakukan secara lebih baik dan intervensi dapat lebih tepat sasaran.

Dengan langkah-langkah tersebut, sistem JKN diharapkan tidak hanya berperan sebagai penyedia pembiayaan kesehatan, tetapi juga sebagai instrumen untuk menekan tingkat keparahan diabetes di Indonesia. Hal ini akan membantu menekan beban sistem kesehatan di masa depan sekaligus meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes, terutama mereka yang berasal dari kelompok ekonomi rendah. Penelitian di masa mendatang juga diharapkan dapat menggunakan desain longitudinal dan menggabungkan variabel klinis serta gaya hidup, agar dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif dan mendukung perbaikan kebijakan kesehatan yang lebih tepat sasaran di Indonesia.



 
 
 

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page