top of page

Harga Keringat di Jakarta

Sumber: Dokumen Pribadi
Sumber: Dokumen Pribadi

Indonesia sedang mengalami fenomena “mendadak atlet.” Terutama ketika membuka media sosial, terlihat semakin banyak orang, baik yang kita kenal ataupun influencer, menunjukkan partisipasi mereka akan suatu olahraga yang sedang mereka minati. Fenomena ini didukung oleh fakta, Survey Asia Pacific Health Priority 2023 oleh Herbalife menunjukkan bahwa pascapandemi, 92% responden asal Indonesia telah mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat dengan berolahraga dengan teratur. Pasar ekonomi kebugaran pun mengalami pertumbuhan pesat pada tahun 2022, menghasilkan angka sebanyak 36,4 miliar dollar AS. Angka ini menempatkan ekonomi kebugaran Indonesia berada pada urutan ke-19 dunia dari total 218 negara (Global Wellness Institute, 2023). 

Tren olahraga ini juga tidak terbatas pada olahraga konvensional sebelumnya, seperti gym, lari, bersepeda, dan semacamnya. Akhir-akhir ini bermunculan olahraga-olahraga yang dengan cepat menjadi tren di Indonesia, utamanya di Jakarta. Padel, pilates, yoga, HIIT studio, dan indoor cycling adalah contoh tren kebugaran yang terus berkembang. Beberapa di antaranya merupakan tren baru, sementara yang lain telah ada sejak lama namun kini dikemas ulang dengan konsep atau model bisnis yang lebih segar. Kemunculan beberapa olahraga ini, terutama di Jakarta, memiliki satu benang merah, yaitu harganya yang mahal. Kelas private pilates berdurasi satu jam yang harganya bisa melebihi 1 juta, atau lapangan padel di tempat strategis ibukota ketika peak-hour bisa menembus 1.2 juta per 2 jam. Walaupun demikian, kita juga melihat aplikasi padel dengan lapangan yang fully-booked sampai jam 1 malam, studio pilates yang semakin marak ekspansi cabangnya, fasilitas yoga yang menyajikan konsep anti-konvensional. Maka dari itu, apa yang membuat olahraga-olahraga ini terus diminati masyarakat walaupun adanya opsi kegiatan membakar kalori yang tidak perlu mengeluarkan biaya yang sama?


Melihat Pasar dan Perilaku Konsumen

Teori animal spirit menyatakan bahwa pasar tidak hanya didorong oleh data ataupun suatu hal yang konkret, tetapi juga oleh elemen irasional yang disini merujuk pada psikologi manusia. Emosi yang dirasakan seseorang memengaruhi pengambilan keputusan finansialnya yang kemudian dapat mendorong ataupun menghambat pertumbuhan ekonomi. Dalam ekonomi, tingkat kepercayaan terhadap suatu hal dapat berperan sebagai indikator awal akan pengeluaran atau pendapatan masa depan. Dalam teori animal spirit, hal ini disebut sebagai confidence multiplier. Ketika sebuah individu merasa prediksinya definit, ia akan beraksi, dan ketika mereka beraksi, keyakinan mereka akan terimplementasi. Ketika tingkat kepercayaan di pasar tinggi, investasi akan naik karena investor cenderung akan mengambil kesempatan yang ada (Akerlof & Shiller, 2009). Hal ini tercermin dalam iklim pasar padel, pilates, ataupun olahraga lainnya yang disebutkan sebelumnya di Indonesia, khususnya Jakarta. 

Selain itu, buku ini juga menjelaskan akan kekuatan sebuah narasi atau kisah yang dijual terhadap persepsi seseorang. Walaupun narasi yang dijual ini belum tentu mencerminkan realita asli, tak bisa disanggah bahwa ia dapat memengaruhi keputusan seorang pelaku ekonomi (Akerlof & Shiller, 2009). Narasi ini dilanggengkan melalui partisipasi publik figur dalam olahraga-olahraga ini. Dari media sosial, kita bisa melihat atlet dunia seperti Messi ataupun Ronaldo bermain padel. Di Indonesia sendiri pun, kita melihat banyak sekali influencer atau artis bernama besar yang menyorot aktivitas mereka di olahraga-olahraga ini dalam media sosial mereka. Narasi populer yang diutarakan di media sosial seperti “padel lebih mudah dari tenis” ; “padel mudah untuk diikuti” ; “padel adalah olahraga untuk bersosialisasi” ; “pilates princess” ; “clean girl aesthetic” , melanggengkan pengikut mereka untuk percaya dengan Narasi tersebut, turut mengikuti gaya hidup yang dipromosikan. Akan tetapi, sebuah narasi yang dijual dapat menjadi pedang bermata dua. Ketika sebuah ekspektasi yang tumbuh dari suatu narasi tidak sesuai realita, tren dapat bergeser, dan dapat terjadi pergeseran iklim usaha. 

Penjualan narasi tersebut juga dapat dijelaskan oleh efek bandwagon, kondisi ketika permintaan terhadap suatu barang meningkat karena mengikuti konsumsi orang lain, dalam kata lain, ikut-ikutan. Kurva dibawah merupakan representasi grafis dari efek bandwagon, ketika kurva bergeser ke kanan seiring dengan peningkatan permintaan total, pada harga berapa pun seseorang akan membeli lebih banyak jika orang lain juga membeli lebih banyak (Leibenstein, 1997). 


Figur 1: Bandwagon Effect Demand Curve
Figur 1: Bandwagon Effect Demand Curve

Selain bandwagon effect, fenomena meningkatnya olahraga premium bisa dijelaskan melalui teori hyperbolic discounting, kondisi dimana seseorang cenderung mengambil keputusan yang memberikan hasil yang terasa sekarang, dibanding dengan memilih keputusan yang berorientasi jangka panjang dan berpotensi menghasilkan hasil yang lebih baik. Riset yang dikeluarkan oleh Boston Consulting Group (BCG) menemukan bahwa pengeluaran di masyarakat Indonesia sedang mengalami kenaikan, alasan utamanya adalah tekanan inflasi yang menaikkan harga barang pokok, diikuti dengan kenaikan biaya barang non-pokok dan kurs yang melemah. Tren pengeluaran di Indonesia sedang mengalami pergeseran dengan terjadinya perubahan prioritas konsumen menjadi lebih mendahulukan pengeluaran besar kepada suatu hal yang menjanjikan pengalaman baik bagi konsumen, dibanding dengan barang-barang esensial untuk keseharian. Selain itu, BCG juga mendapatkan fakta bahwa diantara negara Asia Tenggara lain, konsumen Indonesia memiliki optimisme paling rendah mengenai savings. Dalam riset tersebut, ditemukan 40% konsumen memliki tabungan lebih rendah atau tidak menabung sama sekali, sementara itu 56% memperkirakan hal yang sama (JakartaPost, 2025). 

Kasus disini dapat ditarik kepada alasan mengapa seorang konsumen, di tengah menurunnya savings ini, lebih memilih untuk mengeluarkan uangnya sekarang untuk menyewa lapangan padel selama dua jam, ataupun membeli trial class pilates yang harganya 500 ribu dengan kuota tiga kali beserta tenggat waktu seminggu. My diet starts tomorrow, eksperimen yang memberi penjelasan mengenai perilaku konsumen, menunjukkan bahwa walaupun seorang konsumen berencana untuk melakukan suatu hal yang mereka ketahui akan berefek positif (konteks disini: menabung), ia dapat melenceng dari rencana awal yang ia tetapkan ketika rencana itu dapat direalisasikan, dan pada akhirnya memilih opsi yang lebih irasional (pengeluaran untuk olahraga premium). 

Keputusan konsumen, apabila dilihat dari segi ekonomi, akan memilih olahraga-olahraga premium ini, seperti yang dijelaskan dalam animal spirits, atau bagaimana fenomena ini dapat dijelaskan oleh efek bandwagon, serta mengapa konsumen memilih keputusan yang berorientasi sekarang dibanding menabung – hanya dapat disimpulkan menjadi keputusan yang irasional.


Ancaman Gelembung

Dalam ilmu ekonomi, ekonomi gelembung (bubble economy) merujuk pada siklus ekonomi yang dikarakterisasi dengan ekspansi yang besar-besaran diikuti dengan kontraksi (Girdzijauskas, et al., 2009). Ekspansi beriringan dengan lonjakan harga yang naik secara tajam, melejit dari nilai fundamentalnya. Fenomena melonjaknya popularitas fitness premium dalam beberapa tahun terakhir dapat dikaitkan dengan gejala ekonomi gelembung skala mikro (microbubble). 

Terdapat lima tahap kerangka bubble yang dikeluarkan oleh Hunter, Kaufman, dan Pomerleano (2003). Didorong dari tahap pertama, yaitu displacement, pandemi COVID-19 yang menggeser tren kesehatan dan kebugaran di masyarakat. Momentum ini menjadi pivot untuk fase kedua, yaitu boom, ketika permintaan terhadap olahraga-olahraga yang mendapatkan popularitasnya ini meningkat drastis walaupun harganya yang premium. Lalu, euphoria, perilaku konsumsi mulai mengarah ke direksi yang  irasional, didorong oleh efek bandwagon seperti yang dijelaskan oleh Leibenstein (1997). Lalu ke tahap keempat, yaitu profit taking, pelaku industri memonetisasi ekspektasi konsumen dengan ekspansi bak ledakan. Akan tetapi, ketika ekspektasi secara perlahan tidak terpenuhi akibat faktor-faktor seperti fasilitas yang selalu penuh ataupun timbulnya rasa jenuh, berdasarkan teori bubble economy, ekonomi memiliki risiko akan bergeser ke tahap terakhir, yaitu panic. Situasi ini adalah ketika produk menciptakan oversupply, ledakan tren yang hebat membuat perilaku konsumen menjadi irasional. Investor bergerak mengikuti ekspektasi konsumen, keputusan yang dilakukan tanpa analisis pasar jangka panjang dari mereka dapat menciptakan overcapacity. Overcapacity yang dihasilkan ini tidak bersifat berkelanjutan ketika permintaan menurun (Hunter, et al., 2003). Pasar yang sebelumnya naik begitu cepat dapat mengalami kejatuhan apabila tak diikuti dengan perencanaan yang berkelanjutan.

Pelaku ekonomi di Jakarta perlu melakukan keputusannya secara rasional agar menghindari risiko dari jatuhnya iklim olahraga premium yang sedang menanjak ini menjadi situasi bubble economy. Kasus yang dapat mencerminkan tahapan bubble terjadi kepada olahraga seperti ini adalah kejatuhan padel di Swedia. Swedia mengalami boom padel lebih dulu dibanding Indonesia, yaitu pada 2018 hingga 2021. Terhitung pada 2023, Swedia memiliki lapangan padel sebanyak 4000. Di salah satu kotanya, Uppsala, terjadi kenaikan jumlah lapangan dari 14 hingga 100 dalam kurun waktu boom tersebut. Banyak yang berpendapat bahwa kota sebesar Uppsala seharusnya tidak memiliki ruang yang cukup untuk menampung lebih dari 20 lapangan usaha. Keadaan setelah pandemi nyatanya menunjukkan pergeseran iklim usaha padel di Swedia, dengan adanya kurang lebih 90 perusahaan padel yang menyatakan bangkrut (Creditsafe, 2023). Kasus tutupnya banyak lapangan usaha ini disebabkan oleh persaingan dalam pasar yang terlalu penuh, inflasi yang meningkat, dan pergeseran ketertarikan dari kelas menengah. Industri yang sebelumnya memiliki hambatan untuk masuk yang rendah beserta confidence multiplier yang tinggi menyebabkan pelaku usaha bereaksi berlebihan, dan pada akhirnya menyebabkan oversupply


Penutup

Ledakan olahraga premium di Indonesia mencerminkan pergeseran besar dalam cara masyarakat memandang kesehatan—bukan lagi semata kebutuhan fisik, tapi bentuk aspirasi sosial dan identitas diri. Didukung teknologi, sosial media, dan munculnya banyak narasi tentang new lifestyle, transformasi fenomena ini menjadi ekonomi tersendiri. Namun, pertumbuhan yang pesat ini juga membawa konsekuensi. Dalam hal ini, ketimpangan akses, jebakan perilaku konsumsi irasional, serta potensi terbentuknya microeconomic bubble berpandangan bahwa pasar ini tidak tumbuh dalam ruang hampa. 

Sementara itu, dari meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan juga peluang di dalam dunia olahraga itu ada banyak hal yang dapat membuka peluang inovasi di dalam dunia kebugaran. Namun, perlu diingat juga bahwa menjadi sehat sangat dibutuhkan keseimbangan: antara aspirasi yang diinginkan dan kesadaran agar tidak menjadi euforia belaka, tetap berkesinambungan dan terintegrasi dalam ekosistem keseharian yang berdaya tahan.


Referensi

Agarwal, T., Cheong, L., & The Jakarta Post. (2025). Spending on the rise, savings strain: Indonesia's Financial Tightrope. https://www.thejakartapost.com/business/2025/05/26/spending-on-the-rise-savings-strain-indonesias-financial-tightrope.html 

Akerlof, G. A., & Shiller, R. J. (2009). Animal spirits: How human psychology drives the economy, and why it matters for global capitalism. Princeton University Press. 

CORE Team. (2023). The economy: Economics for a changing world (2nd ed.). Oxford University Press. 

Furinto, A., Tamara, D., Maradona, C., & Gunawan, H. (2023). How TikTok and Its relationship with narcissism and bandwagon effect influenced conspicuous consumption among Gen Y and Gen Z.

Girdzijauskas, S., Štreimikiene, D., Čepinskis, J., Moskaliova, V., Jurkonyte, E., & Mackevičius, R. (2009). Formation of economic bubbles: Causes and possible preventions.

Leibenstein, H. (1997). Bandwagon, Snob, and Veblen Effects in the Theory of Consumers’ Demand. Frontier Issues in Economic Thought, Volume 2: The Consumer Society.

Rancer, N., & Ekbom, J. (2023). Sweden Holds Grim Warning for the $4 Billion Padel Craze. Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/features/2023-09-16/sweden-holds-warning-for-potential-crash-of-the-the-4-billion-padel-craze 

Suominen, A. . Animal Spirits on the Court: How Psychology Drives the Rise – and Risk – of Padel. Padel1969. https://padel1969.com/animal-spirits-in-padel/


 
 
 
bottom of page