top of page

From Hinterland to Frontier: Rural Tokenization as Indonesia’s Circular Economy Catalyst and the Pathway to Formalizing Informal Labor

ree

Sumber: dokpri


Introduction

Indonesia sedang menghadapi paradoks besar dalam pembangunan ekonomi. Di satu

sisi, pemerintah bercita-cita menjadikan negara ini sebagai kekuatan ekonomi maju pada

2045, dengan strategi hilirisasi, industrialisasi, dan transformasi digital. Namun di sisi lain,

struktur pasar tenaga kerja nasional masih didominasi pekerja informal. Data Badan Pusat

Statistik (BPS) melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2025

menunjukkan bahwa 59,40 persen tenaga kerja Indonesia atau 86,58 juta orang berstatus

informal, meningkat dari 59,17 persen pada Februari 2024 (BPS, 2025). Artinya, meskipun

terjadi penurunan pengangguran terbuka, kualitas pekerjaan tetap rapuh karena mayoritas

angkatan kerja tidak menikmati perlindungan hukum maupun jaminan sosial.


Bank Dunia (2023) menegaskan bahwa informalitas tinggi identik dengan rendahnya

produktivitas, lemahnya basis pajak, serta terbatasnya peluang mobilitas sosial. OECD (2022)

bahkan menyebut informalitas sebagai “silent trap” yang menghambat negara berkembang

naik kelas. Dalam konteks Indonesia, desa merupakan episentrum persoalan ini karena

mayoritas pekerja informal justru terkonsentrasi di sektor pertanian dan UMKM berbasis

desa. Oleh karena itu, problematika dominasi pekerja informal tidak bisa dilepaskan dari

transformasi desa. Esai ini mengajukan gagasan Rural Tokenization & Circular Economy

Sandbox sebagai kerangka inovatif untuk mentransformasi desa dari hinterland pasif menjadi

frontier aktif pembangunan, sekaligus menyediakan jalur transisi pekerja informal menuju

pekerjaan semi-formal yang lebih terlindungi.


Dominasi Informalitas dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Pasar tenaga kerja Indonesia dalam dua dekade terakhir menunjukkan gejala stagnasi

dalam formalisasi. Pada 2019, proporsi pekerja informal tercatat 57,27 persen. Angka ini

sempat menurun menjadi 56,64 persen pada 2020 akibat intervensi pemerintah selama

pandemi, seperti subsidi upah bagi pekerja formal. Namun, pascapandemi proporsinya justru

meningkat lagi: 59,12 persen pada 2022, 59,17 persen pada 2024, hingga mencapai 59,40

persen pada 2025 (BPS, 2025). Dengan kata lain, meskipun perekonomian pulih, pemulihan

lapangan kerja didominasi oleh pekerjaan informal, bukan pekerjaan formal.


ree

Grafik 1. Tren pekerja formal dan informal di Indonesia, 2019–2025 (BPS, Sakernas).


Grafik di atas memperlihatkan bahwa proporsi pekerja informal bukan saja stagnan,

tetapi cenderung meningkat pasca-2020. Hal ini menandakan bahwa informalitas merupakan

fenomena struktural, bukan sekadar siklus ekonomi. OECD (2021) menekankan bahwa

negara dengan tingkat informalitas di atas 50 persen sulit meningkatkan produktivitas jangka

panjang karena mayoritas pekerja terjebak dalam pekerjaan berteknologi rendah dan berupah

minim.


Dampaknya luas. Dari sisi fiskal, BPS (2023) mencatat rasio penerimaan pajak

Indonesia hanya sekitar 10,4 persen dari PDB, jauh di bawah rata-rata OECD yang lebih dari

30 persen. Hal ini terjadi karena mayoritas pekerja informal tidak tercatat dalam sistem

perpajakan. Dari sisi sosial, pekerja informal tidak memiliki jaminan pensiun maupun

perlindungan pengangguran. Bank Dunia (2021) melaporkan bahwa pekerja informal di

Indonesia merupakan kelompok paling rentan saat pandemi karena tidak mendapat

perlindungan pesangon. Dari sisi mobilitas sosial, Financial Times (2024) mencatat bahwa

kelas menengah Indonesia menyusut 20 persen dalam enam tahun terakhir, salah satunya

akibat dominasi pekerjaan informal yang tidak memberikan kestabilan penghasilan.


Desa sebagai Episentrum Informalitas

Struktur ketenagakerjaan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari karakter pedesaan. BPS

(2024) mencatat bahwa di sektor pertanian yang identik dengan desa sebanyak 87,3 persen

pekerja masih berstatus informal. Di sektor akomodasi dan makanan, proporsinya mencapai

69,4 persen, sementara di industri pengolahan sekitar 40,8 persen tenaga kerja tetap informal. Data ini menunjukkan bahwa pembangunan desa yang selama ini digadang-gadang justru

belum berhasil mengurangi informalitas.


Inisiatif pemerintah seperti Dana Desa dan BUMDes memang meningkatkan aktivitas

ekonomi lokal, tetapi sering kali bersifat inkremental. Banyak BUMDes beroperasi dengan

tata kelola seadanya, sehingga pekerja tetap informal meski secara administratif usaha

tersebut “resmi”. Dengan kata lain, pembangunan desa konvensional belum menjawab akar

persoalan informalitas.


Kondisi ini memperlihatkan paradoks: desa selalu disebut sebagai tulang punggung

ekonomi nasional, tetapi pekerja desa adalah yang paling rapuh. Tanpa transformasi desa,

upaya mengurangi dominasi pekerja informal akan sulit tercapai. Inilah yang menjadikan

desa bukan sekadar latar belakang, tetapi arena utama reformasi pasar tenaga kerja Indonesia.


Rural Tokenization and Circular Economy: A Framework for Transition

Solusi yang ditawarkan adalah menjadikan desa sebagai frontier ekonomi baru

melalui konsep Rural Tokenization & Circular Economy Sandbox. Tokenisasi

memungkinkan aset desa—seperti kopi, rempah, energi terbarukan mikrohidro, hingga jasa

komunitas—diubah menjadi digital tokens berbasis blockchain yang dapat diperdagangkan

dengan transparansi dan traceability. Dengan koperasi digital desa sebagai pengelola, pekerja

yang semula informal kini tercatat sebagai anggota koperasi dan bagian dari sistem distribusi

nilai, sehingga mereka memperoleh status semi-formal.


Integrasi tokenisasi dengan ekonomi sirkular memperkuat aspek keberlanjutan.

Limbah pertanian dapat diolah menjadi biochar, kotoran ternak menjadi biogas, dan plastik

menjadi material bangunan. Proses ini menciptakan jenis pekerjaan baru yang dapat

dipayungi koperasi, sehingga pekerja informal sektor pertanian atau limbah beralih menjadi

pekerja semi-formal dengan akses BPJS Kesehatan atau jaminan kecelakaan kerja. OECD

(2022) menyebut pendekatan soft formalization ini efektif untuk negara dengan dominasi

informalitas tinggi, karena memungkinkan pekerja masuk sistem formal bertahap tanpa beban

regulasi penuh.


Dari sisi ekonomi, model ini meningkatkan nilai tambah produk desa. Bank Dunia

(2022) mencatat bahwa adopsi digitalisasi dapat meningkatkan produktivitas UMKM hingga

26 persen. Dengan tokenisasi, produk desa tidak hanya dijual sebagai barang, tetapi juga

sebagai sustainability value yang dihargai premium di pasar global. Dari sisi fiskal, transaksi

berbasis token dan koperasi digital tercatat dalam sistem, memperluas basis pajak. Dari sisi

sosial, pekerja informal memperoleh perlindungan minimum dan akses pada kredit mikro.


Tantangan dan Prospek Implementasi

Tentu saja implementasi gagasan ini menghadapi tantangan. Pertama, kesenjangan

digital masih besar. BPS (2021) mencatat lebih dari 12 ribu desa di Indonesia belum memiliki

akses internet memadai. Tanpa infrastruktur, tokenisasi tidak bisa berjalan. Kedua, risiko

spekulasi pada aset digital dapat menimbulkan instabilitas jika tidak diatur. Ketiga, regulasi

Indonesia belum mengakomodasi community tokens.


Namun, di sinilah peran sandbox regulasi. Seperti halnya sandbox fintech yang

diinisiasi OJK, sandbox desa memungkinkan inovasi dijalankan dalam kerangka eksperimen

terkontrol. Desa percontohan dapat menguji mekanisme tokenisasi, koperasi digital, dan

skema soft formalization tanpa menanggung risiko hukum penuh. Pemerintah dapat

memantau, mengevaluasi, lalu memperluas skema yang terbukti efektif.


Prospeknya besar. Indonesia memiliki lebih dari 74 ribu desa (BPS, 2022). Jika 10

persen saja mengadopsi model ini, dampak ekonominya dapat melampaui kontribusi

beberapa sektor komoditas utama. Lebih penting lagi, transformasi ini dapat mengubah jutaan

pekerja informal di desa menjadi pekerja semi-formal, mengurangi kerentanan, sekaligus

memperkuat basis kelas menengah. Dengan demikian, tokenisasi desa bukan hanya strategi

ekonomi hijau, tetapi juga strategi reformasi pasar tenaga kerja.


Conclusion

Dominasi pekerja informal di Indonesia adalah cermin dari ironi pasar tenaga kerja.

Meskipun mereka menyerap mayoritas angkatan kerja, mereka bekerja tanpa perlindungan

sosial, produktivitas rendah, dan kontribusi fiskal minim. Desa sebagai episentrum pekerja

informal memegang kunci reformasi. Namun, pembangunan desa konvensional belum

menyelesaikan akar masalah informalitas.


Melalui gagasan Rural Tokenization & Circular Economy Sandbox, desa dapat

berubah dari hinterland menjadi frontier. Tokenisasi aset desa memungkinkan pekerja

informal masuk ke dalam sistem distribusi nilai global, sementara ekonomi sirkular

menciptakan lapangan kerja baru yang lebih layak. Dengan kerangka sandbox, transisi

informal ke formal dapat dilakukan secara bertahap, adaptif, dan berbasis komunitas.


Dengan strategi ini, pekerja informal tidak lagi menjadi ironi, melainkan motor

transformasi. Desa bukan lagi sekadar penopang, melainkan pionir. Jika dijalankan konsisten,

Indonesia tidak hanya mengurangi dominasi pekerja informal, tetapi juga memperkuat

fondasi menuju visi negara maju yang inklusif dan berkelanjutan.


Daftar Pustaka:

Badan Pusat Statistik. (2025, Juni 20). Keadaan angkatan kerja di Indonesia Februari 2025

-angkatan-kerja-di-indonesia-februari-2025.html


Badan Pusat Statistik. (2025, Juni 11). Keadaan pekerja di Indonesia Februari 2025. Jakarta:

n-pekerja-di-indonesia-februari-2025.html


Badan Pusat Statistik. (2024). Indikator pasar tenaga kerja Indonesia Agustus 2024. Jakarta:

aga-kerja-indonesia-agustus-2024.pdf


World Bank. (2010). Indonesia jobs report: Towards better jobs and security for all (Vol. 2).

Skil10Box358333B01PUBLIC1.pdf


World Bank. (2023). Indonesia economic prospects: Investing in people. Washington, DC:


OECD. (2021). OECD employment outlook 2021: Navigating the COVID-19 crisis and

recovery. Paris: OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/19991266


OECD. (2022). OECD economic surveys: Indonesia 2022. Paris: OECD Publishing.


Financial Times. (2024, Mei 14). Indonesia’s shrinking middle class: A new challenge to

growth. Financial Times.

 
 
 

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page