From Hinterland to Frontier: Rural Tokenization as Indonesia’s Circular Economy Catalyst and the Pathway to Formalizing Informal Labor
- KANOPI FEB UI
- Nov 23
- 5 min read

Sumber: dokpri
Introduction
Indonesia sedang menghadapi paradoks besar dalam pembangunan ekonomi. Di satu
sisi, pemerintah bercita-cita menjadikan negara ini sebagai kekuatan ekonomi maju pada
2045, dengan strategi hilirisasi, industrialisasi, dan transformasi digital. Namun di sisi lain,
struktur pasar tenaga kerja nasional masih didominasi pekerja informal. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2025
menunjukkan bahwa 59,40 persen tenaga kerja Indonesia atau 86,58 juta orang berstatus
informal, meningkat dari 59,17 persen pada Februari 2024 (BPS, 2025). Artinya, meskipun
terjadi penurunan pengangguran terbuka, kualitas pekerjaan tetap rapuh karena mayoritas
angkatan kerja tidak menikmati perlindungan hukum maupun jaminan sosial.
Bank Dunia (2023) menegaskan bahwa informalitas tinggi identik dengan rendahnya
produktivitas, lemahnya basis pajak, serta terbatasnya peluang mobilitas sosial. OECD (2022)
bahkan menyebut informalitas sebagai “silent trap” yang menghambat negara berkembang
naik kelas. Dalam konteks Indonesia, desa merupakan episentrum persoalan ini karena
mayoritas pekerja informal justru terkonsentrasi di sektor pertanian dan UMKM berbasis
desa. Oleh karena itu, problematika dominasi pekerja informal tidak bisa dilepaskan dari
transformasi desa. Esai ini mengajukan gagasan Rural Tokenization & Circular Economy
Sandbox sebagai kerangka inovatif untuk mentransformasi desa dari hinterland pasif menjadi
frontier aktif pembangunan, sekaligus menyediakan jalur transisi pekerja informal menuju
pekerjaan semi-formal yang lebih terlindungi.
Dominasi Informalitas dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Pasar tenaga kerja Indonesia dalam dua dekade terakhir menunjukkan gejala stagnasi
dalam formalisasi. Pada 2019, proporsi pekerja informal tercatat 57,27 persen. Angka ini
sempat menurun menjadi 56,64 persen pada 2020 akibat intervensi pemerintah selama
pandemi, seperti subsidi upah bagi pekerja formal. Namun, pascapandemi proporsinya justru
meningkat lagi: 59,12 persen pada 2022, 59,17 persen pada 2024, hingga mencapai 59,40
persen pada 2025 (BPS, 2025). Dengan kata lain, meskipun perekonomian pulih, pemulihan
lapangan kerja didominasi oleh pekerjaan informal, bukan pekerjaan formal.

Grafik 1. Tren pekerja formal dan informal di Indonesia, 2019–2025 (BPS, Sakernas).
Grafik di atas memperlihatkan bahwa proporsi pekerja informal bukan saja stagnan,
tetapi cenderung meningkat pasca-2020. Hal ini menandakan bahwa informalitas merupakan
fenomena struktural, bukan sekadar siklus ekonomi. OECD (2021) menekankan bahwa
negara dengan tingkat informalitas di atas 50 persen sulit meningkatkan produktivitas jangka
panjang karena mayoritas pekerja terjebak dalam pekerjaan berteknologi rendah dan berupah
minim.
Dampaknya luas. Dari sisi fiskal, BPS (2023) mencatat rasio penerimaan pajak
Indonesia hanya sekitar 10,4 persen dari PDB, jauh di bawah rata-rata OECD yang lebih dari
30 persen. Hal ini terjadi karena mayoritas pekerja informal tidak tercatat dalam sistem
perpajakan. Dari sisi sosial, pekerja informal tidak memiliki jaminan pensiun maupun
perlindungan pengangguran. Bank Dunia (2021) melaporkan bahwa pekerja informal di
Indonesia merupakan kelompok paling rentan saat pandemi karena tidak mendapat
perlindungan pesangon. Dari sisi mobilitas sosial, Financial Times (2024) mencatat bahwa
kelas menengah Indonesia menyusut 20 persen dalam enam tahun terakhir, salah satunya
akibat dominasi pekerjaan informal yang tidak memberikan kestabilan penghasilan.
Desa sebagai Episentrum Informalitas
Struktur ketenagakerjaan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari karakter pedesaan. BPS
(2024) mencatat bahwa di sektor pertanian yang identik dengan desa sebanyak 87,3 persen
pekerja masih berstatus informal. Di sektor akomodasi dan makanan, proporsinya mencapai
69,4 persen, sementara di industri pengolahan sekitar 40,8 persen tenaga kerja tetap informal. Data ini menunjukkan bahwa pembangunan desa yang selama ini digadang-gadang justru
belum berhasil mengurangi informalitas.
Inisiatif pemerintah seperti Dana Desa dan BUMDes memang meningkatkan aktivitas
ekonomi lokal, tetapi sering kali bersifat inkremental. Banyak BUMDes beroperasi dengan
tata kelola seadanya, sehingga pekerja tetap informal meski secara administratif usaha
tersebut “resmi”. Dengan kata lain, pembangunan desa konvensional belum menjawab akar
persoalan informalitas.
Kondisi ini memperlihatkan paradoks: desa selalu disebut sebagai tulang punggung
ekonomi nasional, tetapi pekerja desa adalah yang paling rapuh. Tanpa transformasi desa,
upaya mengurangi dominasi pekerja informal akan sulit tercapai. Inilah yang menjadikan
desa bukan sekadar latar belakang, tetapi arena utama reformasi pasar tenaga kerja Indonesia.
Rural Tokenization and Circular Economy: A Framework for Transition
Solusi yang ditawarkan adalah menjadikan desa sebagai frontier ekonomi baru
melalui konsep Rural Tokenization & Circular Economy Sandbox. Tokenisasi
memungkinkan aset desa—seperti kopi, rempah, energi terbarukan mikrohidro, hingga jasa
komunitas—diubah menjadi digital tokens berbasis blockchain yang dapat diperdagangkan
dengan transparansi dan traceability. Dengan koperasi digital desa sebagai pengelola, pekerja
yang semula informal kini tercatat sebagai anggota koperasi dan bagian dari sistem distribusi
nilai, sehingga mereka memperoleh status semi-formal.
Integrasi tokenisasi dengan ekonomi sirkular memperkuat aspek keberlanjutan.
Limbah pertanian dapat diolah menjadi biochar, kotoran ternak menjadi biogas, dan plastik
menjadi material bangunan. Proses ini menciptakan jenis pekerjaan baru yang dapat
dipayungi koperasi, sehingga pekerja informal sektor pertanian atau limbah beralih menjadi
pekerja semi-formal dengan akses BPJS Kesehatan atau jaminan kecelakaan kerja. OECD
(2022) menyebut pendekatan soft formalization ini efektif untuk negara dengan dominasi
informalitas tinggi, karena memungkinkan pekerja masuk sistem formal bertahap tanpa beban
regulasi penuh.
Dari sisi ekonomi, model ini meningkatkan nilai tambah produk desa. Bank Dunia
(2022) mencatat bahwa adopsi digitalisasi dapat meningkatkan produktivitas UMKM hingga
26 persen. Dengan tokenisasi, produk desa tidak hanya dijual sebagai barang, tetapi juga
sebagai sustainability value yang dihargai premium di pasar global. Dari sisi fiskal, transaksi
berbasis token dan koperasi digital tercatat dalam sistem, memperluas basis pajak. Dari sisi
sosial, pekerja informal memperoleh perlindungan minimum dan akses pada kredit mikro.
Tantangan dan Prospek Implementasi
Tentu saja implementasi gagasan ini menghadapi tantangan. Pertama, kesenjangan
digital masih besar. BPS (2021) mencatat lebih dari 12 ribu desa di Indonesia belum memiliki
akses internet memadai. Tanpa infrastruktur, tokenisasi tidak bisa berjalan. Kedua, risiko
spekulasi pada aset digital dapat menimbulkan instabilitas jika tidak diatur. Ketiga, regulasi
Indonesia belum mengakomodasi community tokens.
Namun, di sinilah peran sandbox regulasi. Seperti halnya sandbox fintech yang
diinisiasi OJK, sandbox desa memungkinkan inovasi dijalankan dalam kerangka eksperimen
terkontrol. Desa percontohan dapat menguji mekanisme tokenisasi, koperasi digital, dan
skema soft formalization tanpa menanggung risiko hukum penuh. Pemerintah dapat
memantau, mengevaluasi, lalu memperluas skema yang terbukti efektif.
Prospeknya besar. Indonesia memiliki lebih dari 74 ribu desa (BPS, 2022). Jika 10
persen saja mengadopsi model ini, dampak ekonominya dapat melampaui kontribusi
beberapa sektor komoditas utama. Lebih penting lagi, transformasi ini dapat mengubah jutaan
pekerja informal di desa menjadi pekerja semi-formal, mengurangi kerentanan, sekaligus
memperkuat basis kelas menengah. Dengan demikian, tokenisasi desa bukan hanya strategi
ekonomi hijau, tetapi juga strategi reformasi pasar tenaga kerja.
Conclusion
Dominasi pekerja informal di Indonesia adalah cermin dari ironi pasar tenaga kerja.
Meskipun mereka menyerap mayoritas angkatan kerja, mereka bekerja tanpa perlindungan
sosial, produktivitas rendah, dan kontribusi fiskal minim. Desa sebagai episentrum pekerja
informal memegang kunci reformasi. Namun, pembangunan desa konvensional belum
menyelesaikan akar masalah informalitas.
Melalui gagasan Rural Tokenization & Circular Economy Sandbox, desa dapat
berubah dari hinterland menjadi frontier. Tokenisasi aset desa memungkinkan pekerja
informal masuk ke dalam sistem distribusi nilai global, sementara ekonomi sirkular
menciptakan lapangan kerja baru yang lebih layak. Dengan kerangka sandbox, transisi
informal ke formal dapat dilakukan secara bertahap, adaptif, dan berbasis komunitas.
Dengan strategi ini, pekerja informal tidak lagi menjadi ironi, melainkan motor
transformasi. Desa bukan lagi sekadar penopang, melainkan pionir. Jika dijalankan konsisten,
Indonesia tidak hanya mengurangi dominasi pekerja informal, tetapi juga memperkuat
fondasi menuju visi negara maju yang inklusif dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka:
Badan Pusat Statistik. (2025, Juni 20). Keadaan angkatan kerja di Indonesia Februari 2025
(No. Publikasi: 04100.25006). Jakarta: BPS. https://www.bps.go.id/id/publication/2025/06/20/fec826c9a88adaa045a6ac9f/keadaan
-angkatan-kerja-di-indonesia-februari-2025.html
Badan Pusat Statistik. (2025, Juni 11). Keadaan pekerja di Indonesia Februari 2025. Jakarta:
n-pekerja-di-indonesia-februari-2025.html
Badan Pusat Statistik. (2024). Indikator pasar tenaga kerja Indonesia Agustus 2024. Jakarta:
aga-kerja-indonesia-agustus-2024.pdf
World Bank. (2010). Indonesia jobs report: Towards better jobs and security for all (Vol. 2).
Washington, DC: World Bank. https://documents.worldbank.org/curated/en/840381468262793742/pdf/608120PUB0
Skil10Box358333B01PUBLIC1.pdf
World Bank. (2023). Indonesia economic prospects: Investing in people. Washington, DC:
World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/entities/publication/be0cbaaa-de79-549c-bb32-12cd623ebcda
OECD. (2021). OECD employment outlook 2021: Navigating the COVID-19 crisis and
recovery. Paris: OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/19991266
OECD. (2022). OECD economic surveys: Indonesia 2022. Paris: OECD Publishing.
Financial Times. (2024, Mei 14). Indonesia’s shrinking middle class: A new challenge to
growth. Financial Times.



Comments