Dari 'Michael' sampai 'Udin': Apakah Nama Depan Membentuk Prasangka?
- KANOPI FEB UI
- 2 days ago
- 9 min read

Judul Artikel : First Names and Ascribed Characteristics
Penulis : Susanna Grundmann, Bettina Rockenbach, Katharina Werner
Tahun Terbit : 2025
Jurnal : Journal of Economic Behavior & Organization
Diulas oleh Martinus Evan Aristianto
Dari 'Michael' sampai 'Udin': Apakah Nama Depan Membentuk Prasangka?
Dilema Peneliti: Bagaimana Menyampaikan Jenis Kelamin Tanpa Bias?
Imam, seorang mahasiswa psikologi tingkat akhir. Skripsinya membahas bagaimana perempuan dan laki-laki bereaksi terhadap tekanan sosial secara daring. Namun, setiap kali dia merancang eksperimen, selalu ada masalah. Jika dia menggunakan foto untuk memberikan informasi visual tentang partisipan atau tokoh dalam skenario eksperimen, foto bisa mengirimkan informasi tambahan yang tidak diinginkan, seperti ekspresi wajah dan usia (Arai et al., 2021). Contoh lain, dalam studi Balafoutas et al., (2023), seseorang cukup menebak karakteristik orang lain melalui sebuah foto. Kasus Imam ini menunjukkan betapa sulitnya menjaga keseimbangan antara memberi konteks visual dan menjaga kerahasiaan tujuan studi, sebuah tantangan klasik dalam eksperimen berbasis jenis kelamin. Di sisi lain, menyebut jenis kelamin secara eksplisit (Coffman et al., 2021; Delavande & Zafar 2019) memang tampak lebih sederhana, tetapi justru berisiko membuat responden terlalu sadar akan fokus jenis kelamin dalam studi sehingga bisa menimbulkan efek ekspektasi (mengubah perilaku supaya sesuai dengan harapan peneliti) dalam respons mereka.
Seberapa penting responden benar-benar tahu jenis kelamin tokoh dalam skenario? Bisakah kita mendesain eksperimen yang netral, tetapi tetap relevan?
Nama Depan: Solusi Mudah yang Ternyata Rumit?
Ada salah satu cara sederhana untuk menyampaikan informasi jenis kelamin dalam eksperimen, yaitu dengan menggunakan nama depan yang diasosiasikan dengan jenis kelamin tertentu, misalnya “Matthew” untuk laki-laki dan “Rebecca” untuk perempuan. Pendekatan ini sudah biasa dipakai dalam studi korespondensi, studi yang menguji diskriminasi atau bias dalam dunia nyata. Dalam studi (Petit 2007; Azmat, Petrongolo 2014; Adamovic, Leibbrandt 2022; Kline et al., 2022; Moritz et al., 2023), peneliti mengirimkan surat lamaran palsu ke perusahaan ternyata terdapat respons yang berbeda. Misalnya, dua lamaran dengan kualifikasi identik: satu atas nama “Imam”, satu lagi “Joseph”. Penelitian menunjukkan bahwa “Joseph” cenderung mendapat lebih banyak panggilan wawancara.
Realitasnya, nama yang diberikan oleh orang tua semata tidak hanya sebagai sebutan atau identitas yang diberikan kepada kita untuk menunjukkan jenis kelamin, tetapi juga bisa membawa persepsi lain, seperti kelas sosial atau kepribadian (Crabtree et al., 2023, Lockhart et al., 2023). Dengan kata lain, orang dapat membayangkan hal-hal lain hanya dari nama. Masalah ini bisa menjadi kompleks karena seseorang bisa menarik kesimpulan tanpa basis yang jelas.
Masih sedikitnya studi-studi yang membahas asosiasi antara nama dan berbagai persepsi yang ada memicu penulis untuk mencari tahu hal tersebut. Selain itu, beberapa studi belum memiliki validitas yang kuat karena sedikitnya nama yang digunakan, sedikitnya karakteristik yang diteliti, dan rendahnya jumlah responden.
Apa yang Sedang Dicari di Balik Eksperimen Ini?
Ternyata, tidak hanya jenis kelamin, nama depan juga membawa berbagai persepsi sosial, seperti tingkat percaya diri, keberanian mengambil resiko, bahkan daya tarik. Dalam konteks eksperimen sosial, hal ini penting karena persepsi bawaan terhadap nama ini bisa menjadi 'variabel pengganggu' yang tidak disengaja. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk:
Menunjukkan bahwa stereotip jenis kelamin yang selama ini dibahas di literatur-literatur juga melekat pada nama-nama tertentu sehingga ekspektasi orang bisa terbentuk hanya dari nama.
Membuktikan bahwa nama-nama dengan jenis kelamin yang sama pun bisa punya persepsi yang berbeda secara konsisten.
Menghasilkan sebuah kompilasi nama yang disertai dengan persepsi publik terhadap karakteristik dari nama-nama itu, meskipun masih terbatas pada nama-nama yang diasosiasikan dengan orang kulit putih.
Bagaimana Peneliti Menjawab Pertanyaan Ini?
Penyeleksian Nama
Dari banyaknya nama perempuan dan laki-laki, peneliti menetapkan 5 kriteria, yaitu (1), popularitas nama di US dan UK, (2) timelessness, (3) probabilitas tinggi dimiliki oleh orang kulit putih, (4) tidak diasosiasikan dengan nama-nama keluarga kerajaan, dan (5) mengindikasikan jenis kelamin yang jelas. Dengan adanya kriteria yang jelas, potensi bias dapat diminimalisasi. Berdasarkan kriteria itu, peneliti menggabungkan data nama populer untuk laki-laki dan perempuan yang berasal dari data Social Security Administration (USA, 1975-2021) and the Office for National Statistics (UK, 1974-2017) serta data-data demografi dari pengajuan kredit rumah supaya dapat memilih nama-nama yang umum, relevan, dan punya informasi latar belakang yang berguna (misalnya soal etnis, umur, status sosial) (Tzioumis, 2018).
Untuk mengukur tingkat popularitas, peneliti menghitung berdasarkan seberapa sering sebuah nama ada di negara Amerika Serikat (1) dan Inggris (2) pada periode waktu tertentu. Timelessness diukur dari berapa lama sebuah nama dapat bertahan di periode waktu tertentu, baik itu di Amerika Serikat (3) dan Inggris (4). Kemudian, probabilitas tinggi sebuah nama dimiliki oleh orang kulit putih (5) dilihat dari persentase nama depan orang-orang yang ada di dalam daftar pengajuan kredit rumah dalam studi Tzioumis (2018).
Oleh karena empat kriteria pertama memiliki satuan yang berbeda dengan kriteria kelima, peneliti mengkonversi empat kriteria pertama menjadi persentase, dengan membandingkan nilai aktual dan nilai maksimumnya. Setelah semua nilainya sama dalam bentuk persentase, peneliti menjumlahkannya serta diberi bobot yang setara untuk menentukan skor akhir dari setiap nama, mulai dari 0 s.d 100. Penyaringan terakhir, peneliti menginginkan nama-nama yang dikenal oleh semua generasi, baik itu tidak terlalu modern atau jadul. Tak hanya itu, nama-nama yang digunakan harus netral supaya orang tidak langsung mengasosiasikannya dengan figur-figur terkenal, seperti keluarga kerajaan.

Tabel 1. Nama-nama Terpilih berdasarkan Urutan Abjad
Bagaimana Studi Ini Dirancang?

Tabel 2. Kategori dan Karakteristik

Tabel 3. Bentuk Kuesioner Sebelum dan Sesudah Diacak
Peneliti coba membuat eksperimen survei dari rancangan yang sudah dibuat sebelumnya melalui situs AsPredicted. Survei ini memakai sistem “between-subjects design”, setiap peserta hanya menilai satu nama yang dipilih secara acak. Dari situ, responden diminta menilai nama itu (misalnya Anna) berdasarkan 22 karakteristik berbeda, seperti: “Apakah dia baik hati, percaya diri, dan sebagainya. Setiap karakteristik dijawab berdasarkan skala likert, dari 1 sampai 7, di mana 1 = “sangat tidak”, sedangkan 7 = “sangat iya”. Peneliti juga membagi 22 karakteristik menjadi 4 kategori besar, yaitu 1. Prosocial traits (4 buah), 2. Work-related competencies (9 buah), 3. Assertive traits (5 buah), dan 4. Further personal traits (4 buah). Untuk mencegah peserta tidak terpengaruh urutan pertanyaan, peneliti mengacak urutan karakteristiknya. Pertanyaannya juga dikelompokkan 3–4 butir dan setiap blok serta isi pertanyaannya juga diacak.
Setelah bagian utama, responden diminta menjawab 7 pertanyaan mengenai demografi. Bagian ini muncul setelah penilaian karakteristik supaya responden tidak langsung memikirkan mengenai latar belakang duluan. Tak hanya mengenai karakteristik dan demografi, responden juga diminta menjawab tugas dari studi lain, seperti pendapat apakah orang dengan nama tersebut bakal sukses ketika mengerjakan suatu tugas?, bahkan juga ditanyakan pendapat mengenai keinginan untuk memberikan nama itu ke anak dari responden.
Berbeda dengan studi lain, penelitian ini menggunakan studi eksplorasi, di mana peneliti belum memiliki dugaan pasti mengenai hasilnya. Namun, bagaimana cara peneliti memilih nama, karakteristik yang dinilai, target dari jumlah responden, apa saja kriteria yang boleh disertakan, dan berbagai rencana analisis data, peneliti mengupayakan bahwa studi ini tetap transparan dan bisa dipercaya.
Pelaksanaan Survei dan Pengumpulan Data
Peneliti melakukan survei online untuk mengumpulkan data pendapat banyak orang terhadap nama-nama tertentu. Survei ini dilaksanakan pada bulan Juli 2022 di platform Qualtrics, responden dicari dari Prolific, situs untuk merekrut orang-orang yang ingin menjadi responden survei. Untuk menentukan jumlah responden (sample size), sebelum survei dimulai peneliti melakukan perhitungan statistik yang disebut power test sehingga jumlah 4.000 orang responden tidak asal pilih, melainkan sudah dihitung matang-matang supaya hasilnya bisa dipercaya. Umur responden juga dipilih antara rentang usia 18–65 tahun untuk mewakili usia kerja. Selain itu, untuk memastikan komposisi responden yang seimbang, peneliti sengaja membagi rata berdasarkan jenis kelamin (50% perempuan dan 50% laki-laki), negara asal (50% Inggris dan 50% Amerika Serikat), dan kelompok usia yang dibagi menjadi 3 kelompok.
Untuk menarik responden, peneliti menginformasikan hanya butuh waktu 5 menit untuk menyelesaikan survei. Selain itu responden mendapatkan bayaran sebesar £0.75, yang menurut klasifikasi Prolific termasuk kategori “Baik”. Namun, tidak semua orang rentang usia tersebut dapat menjadi responden, ada syarat yang harus dipenuhi, seperti memiliki approval rating di Prolific minimal 95% dan bahasa Inggris merupakan bahasa pertama mereka. Dari hasil survei didapatkan informasi hanya 2,9% responden yang berhenti di tengah jalan atau drop out.
Pentingnya Pengecekan: Memastikan Responden Terdistribusi Rata
Setelah mendapatkan jumlah responden yang diinginkan, yaitu sebesar 4.000 orang. Peneliti mengalokasikan secara acak seluruh responden untuk menilai salah satu dari 20 nama yang menjadi fokus penelitian. Meskipun dibagi secara acak, peneliti juga memeriksa data karakteristik demografi dari seluruh responden untuk melihat apakah responden dengan karakteristik berbeda sudah tersebar di antara 20 kelompok nama. Peneliti menggunakan uji Chi2, hasil yang didapat tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam karakteristik responden di antara ke-20 kelompok nama. Artinya, data kelompok sudah seimbang sehingga jika ada perbedaan kemungkinan besar disebabkan oleh persepsi yang ditimbulkan dari 20 nama itu sendiri. Oleh karena hasil penilaian yang diberikan oleh responden dari Inggris dan Amerika Serikat, responden laki-laki dan perempuan serta responden yang lebih tua dan lebih muda ternyata sangat mirip, peneliti memutuskan untuk menggabungkan data dari seluruh responden tanpa perlu memisah-misahkan sehingga analisis bisa lebih sederhana.
Terus, Apa Hasil dari Penelitian Ini?
Konfirmasi Awal: Nama Memang Cerminkan Stereotip Jenis Kelamin
Untuk membuktikan konsep awal dan rencana awal, peneliti ingin melihat apakah perbedaan jenis kelamin yang sering disebut di penelitian lain muncul juga di data dengan menggunakan tabel 4 yang menunjukkan selisih antara rata-rata nilai laki-laki dan perempuan. Peneliti menggunakan uji Mann-Whitney dan koreksi Anderson’s sharpened q-values supaya lebih akurat. Jika selisihnya positif, sifat itu lebih kuat diasosiasikan dengan nama laki-laki dan sebaliknya. Dapat dilihat bahwa, sifat overconfident, willing to take risks, dan competitive dominan untuk laki-laki, di mana cocok dengan banyak penelitian sebelumnya (Anderson, 2008). Sementara perempuan, hampir mayoritas karakteristik, tetapi karakteristik paling kuat pada inequality averse dan attractive. Namun, ada hal yang menarik, untuk dua kompetensi penting terkait pekerjaan (skilled & capable as a leader) dan assertive traits (confident), peserta tidak menganggap adanya perbedaan jenis kelamin.
Untuk memastikan hasil penelitian tidak in-group bias, peneliti menggunakan analisis Difference In Difference. Setelah dicek, untuk sebagian besar karakteristik, cara menilai peserta perempuan dan laki-laki tidak beda signifikan antara nama laki-laki dan perempuan. Selain mengecek in-group bias, peneliti juga mengecek bias usia, secara umum tidak ada perbedaan besar antarkelompok usia. Oleh karena itu, in-group bias dan bias usia terbukti tidak mengganggu hasil utama penelitian.

Tabel 4. Perbedaan Karakteristik Bawaan Berdasarkan Jenis Kelamin
Temuan Kunci: Beda Nama (Walau Sesama Jenis), Beda Persepsi
Kembali ke tujuan awal di mana peneliti ingin mengetahui apakah nama depan yang berbeda memicu persepsi karakteristik yang berbeda pula. Peneliti menggabungkan beberapa karakteristik dari tabel 2 menjadi 3 kategori besar, yaitu (1) prosocial traits, (2) work-related competencies, dan (3) assertive traits. Pada Gambar 1 menunjukkan rata-rata nilai (sumbu Y) untuk tiap nama di tiap 3 kategori sifat (sumbu X). Kolom kiri untuk 10 nama cowok (lingkaran), kolom kanan 10 nama cewek (segitiga) dengan skala nilai 1–7, netral di 4.

Gambar 1. Rata-rata penilaian terkait sifat prososial, kompetensi kerja, dan sifat asertif
Gambar 1 menunjukkan rata-rata skor penilaian sifat untuk berbagai nama. Pada kategori 'assertive traits', dapat diamati secara visual bahwa nama laki-laki Ryan memiliki titik data dengan posisi vertikal tertinggi, menunjukkan rata-rata skor assertive traits tertinggi dalam kelompok nama laki-laki. Sebaliknya, nama Joseph memiliki titik data dengan posisi vertikal terendah pada kategori ini, mengindikasikan rata-rata skor assertive traits terendah di antara nama-nama laki-laki tersebut.
Meskipun peneliti sudah mendapatkan hasil yang diharapkan, peneliti tetap melakukan pengujian apakah kekuatan nama dalam menjelaskan persepsi sifat terpengaruh dari aspek demografi. Hasil regresi menunjukkan bahwa efek nama secara umum tidak berubah setelah variabel demografi dimasukkan. Tak hanya berdasarkan uji regresi, peneliti juga melakukan tes tambahan dengan membandingkan studi Crabtree et al., 2023, yang meneliti persepsi status sosial (pendapatan, pendidikan) untuk kombinasi nama depan & belakang. Peneliti membandingkan hasil untuk 4 nama yang sama (David, James, Michael, Thomas) dengan kasus dalam studi Crabtree saat nama-nama ini dipasangkan dengan nama belakang 'putih' (karena studi ini tanpa nama belakang). Hasilnya cocok, baik studi Crabtree et al., 2023 dan studi ini tidak menemukan perbedaan signifikan dalam persepsi status sosial atau pendidikan antar 4 nama tersebut. Oleh karena itu, nama depan memang punya ‘kekuatan’ untuk membentuk persepsi orang tentang sifat seseorang, terlepas dari jenis kelamin maupun bayangan status sosialnya.
Kesimpulan
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa nama depan tidak hanya berfungsi sebagai penanda jenis kelamin yang netral, tetapi juga membawa persepsi yang bersifat kompleks. Nah, yang paling penting ditemukan adalah, ternyata anggapan orang soal nama itu bisa beda-beda banget, bahkan untuk nama-nama yang jenis kelaminnya sama. Jadi, misalnya nih, dua nama buat cewek bisa aja bikin orang mikir sifat yang beda banget. Begitu juga kalau bandingin dua nama buat cowok. Ini artinya, setiap nama populer itu kayak punya 'kesan' atau 'ciri khas' uniknya sendiri di pikiran banyak orang.
Diskusi dari Sudut Pandang Penulis
Gagasan fundamental bahwa nama depan bukanlah sebuah ‘kanvas kosong’ tampaknya sangat relevan, bahkan mungkin relevansinya lebih kuat dan kompleks, di Indonesia. Jika dalam konteks Amerika Serikat dan Inggris nama-nama populer yang cenderung 'putih' seperti "Ryan" atau "Victoria" saja sudah memicu persepsi sifat yang berbeda secara signifikan, bagaimana dengan lanskap nama di Indonesia yang jauh lebih kaya dan beragam?
Berbeda dengan fokus studi asli pada nama-nama populer Anglo-Saxon yang relatif homogen secara etnis (dan sengaja dipilih sedemikian rupa untuk meminimalkan bias), Indonesia adalah rumah bagi ribuan suku bangsa dan berbagai agama dengan tradisi penamaan yang sangat bervariasi. Nama di Indonesia seringkali secara eksplisit menjadi penanda kuat untuk etnisitas, agama, dan bahkan generasi.
Upaya untuk memisahkan efek nama dari efek sosio-demografis akan jauh lebih sulit dilakukan di Indonesia karena nama seringkali merupakan proxy kuat untuk etnis dan agama, memisahkan 'efek murni' nama dari bias atau stereotip yang melekat pada kelompok etnis/agama tersebut menjadi tantangan metodologis yang luar biasa. Apakah persepsi terhadap nama "Bambang" lebih banyak dibentuk oleh asosiasi dengan budaya Jawa atau oleh karakteristik intrinsik yang (mungkin) diasosiasikan dengan bunyi nama itu sendiri? Kemungkinan besar, keduanya berkaitan erat. Menemukan nama yang dianggap 'netral' dari asosiasi etnis atau agama hampir mustahil.
Studi ini sebaiknya dilihat sebagai fondasi dan inspirasi untuk melakukan penelitian serupa yang berakar pada realitas keragaman nama dan asosiasi sosial yang unik di Indonesia. Memahami bagaimana nama seperti 'Michael' dan 'Udin' dipersepsikan secara berbeda, baik di luar maupun di dalam negeri, adalah langkah penting untuk membongkar lapisan-lapisan prasangka yang mungkin tanpa sadar kita bawa.
Comments