Biaya Mahal Kompromi
- KANOPI FEB UI
- Sep 13
- 9 min read

Ada sebuah anekdot yang cukup terngiang di kepala saya. If you can drive in South East Asia, then you can drive anywhere. Tentang kebenarannya memang relatif, tetapi ada sisi kenyataan dari anekdot tersebut. Dengan pengecualian Singapura dan Malaysia, perilaku pengendara di Asia Tenggara memiliki kebiasaan yang sama. Dominasi sepeda motor, tata ruang yang tidak teratur, dan perilaku penduduk yang khas, membuat berkendara memiliki tantangannya tersendiri.
Salah satu negara itu adalah Indonesia. Mungkin kalian pernah mengalaminya sendiri. Setiap pagi kalian berangkat ke kantor atau kampus melewati jalan yang sama. Suatu hari, jalan tersebut tiba-tiba menyempit karena proyek pembangunan saluran air. Perjalanan yang biasanya sepuluh menit kini bertambah menjadi lima belas menit. Tidak ada pilihan lain sehingga kalian tetap harus melewatinya.
Pembangunan itu juga menutup putaran balik yang biasa digunakan para pengendara motor. Mereka pun dihadapkan pada dua kemungkinan, apakah harus memutar jauh dengan waktu tempuh lebih lama atau memilih melawan arus. Bagi sebagian pemotor, pilihan kedua terasa lebih masuk akal karena kerugiannya lebih kecil.
Pada pertemuan pertama di jalan itu, kalian marah karena khawatir mobil tergores oleh motor yang melawan arus. Keesokan harinya, situasi yang sama kembali terjadi. Hari ketiga pun tidak berbeda. Minggu demi minggu berlalu dan keadaan tetap sama. Hingga akhirnya, kalian mulai berpikir bahwa demi keselamatan mobil lebih baik mengalah.
Di sisi lain, pemotor juga mengambil sikap serupa. Mereka tetap melawan arus, tetapi hanya bertahan di lajur kiri agar tidak terlalu mengganggu pengendara lain.
Pernah dengar atau mengalami cerita seperti ini? Tanpa disadari, keduanya telah berkompromi. Apakah keputusannya baik atau tidak? Sikap-sikap permisif ini menjadi suatu penanda bagaimana masyarakatnya menyelesaikan sebuah masalah. Namun, jika dalam skala mikro bisa terjadi seperti ini, bagaimana di panggung nasional? Memunculkan sebuah pertanyaan, apakah sikap permisif dan kompromi ini bisa mencederai pembangunan ekonomi?
Struktur yang Mahal
Dalam panggung nasional, sikap kompromi bisa dilihat dari berbagai macam keputusan besar, seperti penunjukkan menteri negara hingga aktivitas DPR. Komposisi menteri, misalkan, mengalami lonjakan besar dari periode sebelumnya. Pada masa pemerintahan Jokowi jumlah menteri dan setara menteri mencapai 60 orang . Di masa Prabowo, jumlah tersebut bertambah hingga 132 menteri. Lonjakan ini dijustifikasikan olehnya dengan mengatakan “karena memang kita bangsa besar jumlah penduduk ke empat terbesar, luas wilayah sama seperti eropa barat terdiri 27 negara Eropa” (Yanwardhana, 2024).
Upaya mengakomodasi semua pihak politik menghasilkan dukungan solid dari lembaga legislatif untuk administrasi Prabowo. Koalisi Indonesia Maju atau KIM Plus, yang mendukungnya, memiliki 470 kursi dari total 580 kursi DPR atau sebesar 81,0 persen, sedangkan di luar koalisi tersebut, partai oposisi adalah PDIP, dengan jumlah kursi 110 atau sebesar 19 persen (Suryaningtyas, 2025). Namun, posisinya sebagai oposisi juga bisa berubah karena seperti apa yang diungkapkan oleh Ketua Umumnya, PDIP mendukung kebijakan pemerintahan Prabowo yang berpihak kepada masyarakat luas dan tidak ragu melayangkan kritik jika pemerintah menyimpang dari nilai-nilai Pancasila (Dewi, 2025).
Dengan kekuatan mayoritas dan bermacam ideologi partai berada disamping pemerintahannya, usaha-usaha untuk mengadvokasikan keresahan isu masyarakat seharusnya menjadi mudah bukan? Nyatanya tidak selalu begitu. Isu yang diangkat oleh seorang anggota DPR sering kali tidak mencerminkan kepentingan konstituennya, tetapi kepentingan pihak lain.
Bahkan dalam beberapa kasus, anggota dewan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan ketua partainya. Seperti apa yang diungkapkan oleh Politikus Senior, Bambang Pacul, “bahwa yang namanya kekuasaan di Republik ini tergantung ketua partai” (Simanjuntak, 2023). Pernyataan itu muncul ketika ia menyoroti bahwa semua RUU harus disetujui oleh ketum partai.
Situasi tersebut disebabkan oleh barrier to entry yang cukup tinggi untuk menjadi seorang anggota dewan. Salah satu tantangannya adalah modal uang. Estimasi modal yang dibutuhkan pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014, Pramono Anung, yang menemukan bahwa rata-rata biaya kampanye calon anggota legislatif (caleg) DPR naik 1,5 kali lipat, dari Rp3,3 miliar pada Pemilu 2009 menjadi Rp4,5 miliar pada Pemilu 2014 (Prihatini, 2025). Dalam artikel yang sama, ia mengatakan modal terkecil yang bisa dikeluarkan adalah Rp300 juta, sementara yang terbesar Rp6 miliar.
Selain modal uang, calon anggota dewan juga membutuhkan popularitas dan dukungan partai agar bisa terpilih. Ketiga variabel ini menjadi syarat perlu agar seseorang dapat bertarung dalam pemilihan umum. Namun setelah terpilih, anggota dewan seringkali harus berkompromi tentang isu apa yang bisa dibawa atau advokasikan. Kutipan Bambang Pacul sebelumnya menegaskan hal tersebut.
Situasi ini juga didukung oleh sifat manusia Indonesia yang diungkapkan oleh Mochtar Lubis sebagai sikap feodalisme. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk survive bersedia mengubah keyakinan-nya (Lubis, 2025). Dengan kultur dan sistem barrier tersebut, hal ini memperkuat sikap loyalitas para anggota dewan terhadap partainya.
Kondisi ini membuat seorang Presiden harus piawai dalam berpolitik. Untuk menjalankan kebijakan yang diinginkan, ia perlu dukungan dari lembaga legislatif agar tidak ada reaksi negatif. Namun permasalahannya adalah lembaga tersebut seringkali memiliki visi yang berbeda. Seringkali ini kemudian yang menyebabkan kompromi di panggung nasional. Jalan tengah ini lahir karena struktur yang menghasilkan pembuat kebijakan memiliki barrier to entry yang tinggi, sehingga kompromi menjadi hasil akhir dari sistem tersebut.
Efek terhadap Pembangunan Ekonomi
Sikap kompromi yang tak bisa dipisahkan akhirnya memiliki dampaknya tersendiri untuk ekonomi. Tentunya dengan kehadiran koalisi besar dan satu, menciptakan kondisi negara yang stabil. Seperti yang terjadi di Pemerintahan Jokowi di periode kedua dan Pemerintahan Prabowo sekarang, kondisi politik elit relatif stabil.
Kondisi stabilnya ini memudahkan untuk mengeluarkan kebijakan yang cepat. Dalam kondisi yang urgent, kestabilan ini menjadi hal yang baik. Seperti saat kondisi Covid-19, situasi makroekonomi yang buruk memaksa pemerintah untuk mengambil defisit yang besar, tetapi aturan saat itu tidak memperbolehkannya. Dengan mayoritas anggota dewan di pemerintahan, aturan dirubah agar memperbolehkan defisit yang besar dari yang semula maksimal 3% menjadi lebih besar dari itu (Irawan, 2020). Kestabilan ini menunjukkan bagaimana kompromi bisa menghasilkan kebijakan yang cepat.
Namun, cepat tidak selalu tepat. Seperti apa yang diungkapkan oleh Abhijit Banerjee dan Esther Duflo (2010) tidak jarang kebijakan yang keliru justru lahir dari niat yang mulia. Namun, niat mulia saja tidak cukup. Kebijakan yang dibuat harus memiliki kajian yang kuat karena menyangkut stakeholder yang banyak. Seperti keputusan pemerintah untuk mengeluarkan Koperasi Desa Merah Putih. Menurut Budi Arie, tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi salah sasaran dari bansos (Syarifudin, 2022).
Namun, yang menjadi masalah adalah mekanisme program tersebut. Laporan CELIOS (2025) menemukan bahwa program ini memiliki sifat sentralistik. Instruksi dijalankan secara top-down dan partisipasi masyarakat menjadi formalitas. Selain itu, pengurus Kopdes dipilih langsung oleh elit desa. Dengan sistem ini, program ini justru menjadi ajang elite capture. Hal ini karena Kopdes memiliki hak eksklusif untuk distribusi obat, pertanian, cold storage, dan lainnya (CELIOS, 2025). Akibatnya, alih-alih memberdayakan masyarakat, pengelolaan beresiko dikuasai segelintir elit.
Program lainnya yang merupakan produk dari kompromi adalah Makan Bergizi Gratis. Tujuan dari program ini adalah untuk mengatasi gizi buruk dan stunting di Indonesia (Setneg, 2025). Sejalan dengan apa yang dikatakan Banerjee dan Duflo, program ini memiliki niat yang mulia. Dengan potensi bonus demografi yang ada, pemerintah perlu memastikan kesehatan generasi muda agar peluang ini tidak menjadi sia-sia. Kehadiran program ini juga mengurangi beban orang tua. Anak bisa berfokus sekolah dan keluarga bisa menabung lebih banyak karena biaya makan anak berkurang.
Namun, masalah muncul apabila program ini menjadi Silver Bullet atau solusi untuk segala masalah. Program ini memiliki anggaran yang besar, tetapi serapannya masih lambat. Dari dana yang dianggarkan sebesar Rp 71 triliun, MBG baru menyerap Rp 10,3 triliun atau 14.5% (Arini, 2025). Selain penyerapan lambat, opportunity cost yang dikeluarkan sangatlah besar. Dalam rapat bersama komisi IX DPR, Kementerian Keuangan akan menggelontorkan dana sebesar Rp 335 trilliun dan sebanyak Rp 223,6 triliun akan berasal dari pos pendidikan. Artinya 29% APBN Pendidikan 2026 akan dialihkan untuk MBG. Saat program utama tergerus untuk membiayai program pendukung, evaluasi menjadi keharusan. MBG memang mulia, tetapi dengan 29% anggaran pendidikan yang harus dikorbankan. Apakah itu resiko yang layak untuk diambil? Jika tidak ada kompromi yang berlebih, program ini seharusnya bisa dikaji lebih mengenai efektivitasnya. Belum lagi, masalah di lapangan seperti keracunan. Setidaknya 1.376 anak sekolah diduga menjadi korban keracunan MBG di berbagai daerah (Rizky et al, 2025).
Selain berpotensi mengeluarkan kebijakan yang keliru, kompromi yang berlebih ini juga berpotensi mengurangi aktivitas check and balance. Dalam koalisi pemerintahan sekarang, terlihat elite politik lebih terorganisir. Hal ini menjadi alarm yang berbahaya karena elite yang terorganisir cenderung sulit memunculkan check and balance karena mudahnya mempengaruhi antar politisi (Acemoglu et al, 2013).
Pengurangan aktivitas check and balance dapat dilihat dari kebijakan “reaktif” pemerintah. Aktivitas check and balance yang baik bisa mencegah sebelum isu kebijakan menjadi bola liar. Namun, situasi sekarang menunjukkan kebijakan seringkali dikeluarkan begitu saja dan ketika masyarakat tidak menyukainya, baru pemerintah memberhentikan hal tersebut. Hal ini menunjukkan kebijakan yang dibuat seringkali tidak berbasis bukti dan mengandalkan “insting”. Akhirnya, siklus yang terjadi adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan setengah matang, masyarakat marah, pemerintah datang memberhentikannya.
Salah satu contoh yang paling baru adalah pemblokiran kepada rekening yang telah dormant. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi potensi penyalahgunaan akibat tindakan kriminal seperti transaksi narkotika, korupsi, dan kejahatan pidana lain (Rachmalia, 2025). Namun, dampaknya justru mempersulit orang-orang yang sekadar ingin menabung uangnya. Setelah gelombang protes muncul, kebijakan ini ditarik kembali. Disatu sisi, keputusan pemerintah untuk mengevalusikan kebijakannya sangat cepat, tetapi kehadiran check and balance seharusnya bisa mencegah sebelum kebijakan setengah matang ini terjadi.
Kompromi yang berlebih juga berpotensi meningkatkan biaya ekonomi yang tinggi. Dengan banyaknya pihak yang harus diakomodasi ditambah dengan sifat orang Indonesia itu sendiri, membuat kompromi seakan tak terelakan. Namun, kompromi yang berlebih dapat menciptakan kondisi kolusi. Mietzner (2025) menemukan bahwa para elit di Indonesia telah berkolusi dalam pembagian kekuasaan. Dalam artikel yang sama, seluruh aktor penting dari partai politik, militer, organisasi, dan birokrasi dirangkul ke dalam gerbong yang sama. Sikap kolusi inilah yang dapat menciptakan biaya ekonomi tinggi.
Salah satu contohnya adalah hadirnya violent non state actors yang beroperasi dengan topeng organisasi masyarakat. Wilson (2015) menemukan bahwa elite membutuhkan kekuatan dari aktor ini, sementara organisasi itu sendiri membutuhkan kedekatan dengan elite agar bisa masuk lingkaran kekuasaan. Akibatnya, situasi ini menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi. Menurut Ning Wahyu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Barat, menguraikan beberapa taktik koersif yang digunakan oleh kelompok-kelompok tersebut, termasuk intervensi dalam perekrutan karyawan dengan biaya ilegal, kewajiban pengadaan dari pemasok tertentu, serta kontrak katering eksklusif (Mardira, 2025). Bahkan menurutnya ya, bisnis telah melihat ini sebagai biaya wajib. Di kasus lain, Olken dan Barron (2007) menemukan bahwa di Aceh, total pembayaran ilegal kepada pungli rata-rata mencapai sekitar 13% dari biaya setiap perjalanan, lebih besar daripada total upah yang diterima sopir truk dan asistennya untuk perjalanan tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana kompromi berlebih bisa menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi.
Jalan Panjang Reformasi
Sulit bukan berarti tidak bisa. Dalam menyelesaikan sebuah masalah, langkah yang paling pertama untuk menyelesaikannya adalah mengetahui masalahnya itu sendiri. Sistem politik yang melanggengkan loyalitas terhadap partai politik dan bukan konstituennya menjadi akar masalahnya. Sikap kompromi yang dilihat sebagai persatuan seringkali menjadi sarana kolusi untuk pihak elite. Reformasi yang dibutuhkan harus mulai meluruskan tujuan partai itu sendiri. Partai menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan masyarakat bukan sarana elit melanggengkan kekuasaanya. Seperti apa yang Acemoglu dan Robinson (2012) katakan bahwa mencapai kesejahteraan harus menyelesaikan masalah dasar politik.
Selain itu, budaya untuk menegakan yang benar menjadi penting. Oposisi bukan antagonis dan
check and balance bukanlah alat untuk menakuti lawan politik, tetapi mekanisme yang menjaga manusia dari kekuasaan absolut. Meminjam kutipan Chatib Basri (2023) yang mengambil dari Reinhold Niebhur, “Kapasitas manusia untuk berbuat adil membuat demokrasi menjadi mungkin, dan kecenderungan manusia untuk berbuat sewenang-wenang membuat demokrasi menjadi perlu”. Persatuan memang diperlukan, tetapi selayaknya hal-hal lain, harus dilakukan dengan moderasi.
Daftar Pustaka:
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2012). Why nations fail. Currency.
Acemoglu, D., Robinson, J. A., & Torvik, R. (2013). Why do voters dismantle checks and balances? The Review of Economic Studies, 80(3), 845–875. https://doi.org/10.1093/restud/rdt007
Arini, S., C. (2025). Penyerapan Anggaran MBG Rendah, Menkeu Minta BGN Gelar Jumpa Pers Rutin. Detikfinance. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-8105563/penyerapan-anggaran-mbg-rendah-menkeu-minta-bgn-gelar-jumpa-pers-rutin.
Banerjee, A., & Duflo, E. (2012). Poor economics. PublicAffairs.
Basri, M., C. (2023). Keadilan yang Terusik dan Pembangunan Ekonomi. Kompas. https://www.kompas.id/artikel/keadilan-yang-terusik-dan-pembangunan-ekonomi
Dewi, N. K. T. C. (2025, 08 Agustus). Maju-Mundur PDIP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran. Apa Kata Megawati?. Tempo. https://www.tempo.co/politik/maju-mundur-pdip-gabung-koalisi-prabowo-gibran-apa-kata-megawati--2056347
Fikri, M. Z., & Saleh, M. (2025, Juni). Koperasi Desa Merah Putih: Risiko hukum menanti kepala desa. Center of Economic and Law Studies. https://celios.co.id/ko-peras-desa-merah-putih-risiko-hukum-menanti-kepala-desa/
Irawan, K. I. (2020, 01 April). Tambahan Anggaran untuk Covid-19 Perlebar Defisit APBN. Kompas.
Mardira, S. (2025). Indonesia’s Business Sector Struggles Against Organized Extortion. Jakartaglobe. https://jakartaglobe.id/business/indonesias-business-sector-struggles-against-organized-extortion
Mietzner, M. (2025). Elite Collusion in Indonesia: How It Has Both Enabled and Limited Executive Aggrandizement. The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, 712(1), 223-234. https://doi.org/10.1177/00027162241309436 (Original work published 2024)
Lubis, Mochtar. (2025). Manusia Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Olken, B. A., & Barron, P. (2007). The simple economics of extortion: Evidence from trucking in Aceh (NBER Working Paper No. 13145). National Bureau of Economic Research. https://www.nber.org/papers/w13145
Prihatini, E. S. (2025). Riset temukan mahalnya ongkos politik caleg dalam pemilu. Apa saja peruntukannya?. The Conversation. https://theconversation.com/riset-temukan-mahalnya-ongkos-politik-caleg-dalam-pemilu-apa-saja-peruntukannya-246241
Rachmalia, M. (2025, 01 Agustus). Ini Alasan PPATK Blokir Rekening Dormant. Detik Jatim. https://www.detik.com/jatim/berita/d-8040425/ini-alasan-ppatk-blokir-rekening-dormant
Rizky., Inge, N., Saputra, Y., Aidil, M. (2025, 25 Juni). Ribuan siswa keracunan Makan Bergizi Gratis, orang tua trauma dan larang anaknya konsumsi MBG – 'Bukannya meringankan malah mau membunuh. BBC Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cm2zney05ypo
Setneg. (2025, 19 Februari). Mendukung Terselenggaranya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Papua. Kementerian Sekretariat Negara. https://www.setneg.go.id/baca/index/mendukung_terselenggaranya_program_makan_bergizi_gratis_mbg_di_papua
Simanjuntak, S. D. A. (2023, 11 April). Bagi Bambang Pacul, Kekuasaan Tetap di Tangan Ketua Umum Partai. Bisnis.com. https://kabar24.bisnis.com/read/20230411/15/1645886/bagi-bambang-pacul-kekuasaan-tetap-di-tangan-ketua-umum-partai.
Suryaningtyas, M. T. (2025). Demokrasi Indonesia dalam Dominasi KIM Plus. Kompas. https://www.kompas.id/artikel/demokrasi-indonesia-dalam-dominasi-kim-plus
Syarifudin, T. (2025). Menkop Budie Arie: Kopdes Merah Putih Dibentuk Agar Barang Subsidi Tepat Sasaran. Detik. https://news.detik.com/berita/d-8080960/menkop-budi-arie-kopdes-merah-putih-dibentuk-agar-barang-subsidi-tepat-sasaran
Yanwardhana, E. (2024, 23 Oktober). Ternyata! Ini Alasan Prabowo Punya Menteri & Wamen Banyak. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20241023153834-4-582429/ternyata-ini-alasan-prabowo-punya-menteri-wamen-banyak



amazing