top of page

Bantal vs Dompet: Semakin Kaya, Semakin Kurang Tidur?

ree

Judul Artikel : Sleep hours fall as income rises: Macro and micro evidence on sleep inequality around the world

Penulis : Cristián Jara, Francisca Pérez , Rodrigo Wagner

Tahun Terbit : 2025

Jurnal : Economics and Human Biology

Diulas oleh : Nabilah Claranisa


Dunia yang Tidak Pernah Tidur: Benarkah Tidur Menjadi Barang Mewah?

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, mulai dari pusat bisnis metropolitan hingga media sosial, kita disuguhkan narasi terkait produktivitas tanpa henti demi meraih kesuksesan finansial. Waktu menjadi aset yang paling berharga. Rasanya, 24 jam tidak pernah cukup. Alokasinya pun diperhitungkan sedemikian rupa, mulai dari bekerja, networking, hingga menikmati hasil kerja keras melalui berbagai aktivitas rekreasi (leisure) seperti hangout, menonton TV, dan sebagainya. Namun, di balik alokasi dan semangat mengejar produktivitas, terselip satu harga mahal yang harus dibayar: waktu tidur yang semakin menipis. Dengan berbagai keterbatasan waktu dan luasnya ambisi yang ingin dicapai, waktu tidur seakan bertransformasi layaknya barang mewah.


Secara logika, kondisi ekonomi yang lebih baik seharusnya membuka jalan menuju kualitas istirahat yang lebih memadai. Peningkatan pendapatan dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan waktu tidur (Hajdu, 2024; Avery et al., 2022). Namun, pada saat yang sama, ia juga menghadirkan sebuah paradoks. Pendapatan yang lebih tinggi memungkinkan akses pada berbagai aktivitas rekreasi yang sebelumnya tidak terjangkau sehingga menciptakan sebuah trade-off berupa seseorang rela mengorbankan waktu tidurnya demi rekreasi tersebut (Aguiar et al., 2021; Billari et al., 2018).

 Di dunia yang seakan tak pernah tidur, istirahat cukup menjadi salah satu harga tersembunyi yang harus dibayar untuk sebuah kehidupan‘sukses’.


Apa yang Ingin Diteliti?

Berangkat dari paradoks di atas, penelitian ini bertujuan untuk memetakan ketimpangan tidur dengan pendapatan melalui beberapa fokus:

  1. Analisis makro: apakah benar negara yang lebih kaya (PDRB per kapita tinggi) memiliki rata-rata jam tidur penduduk yang lebih rendah? 

  2. Analisis mikro: di dalam satu negara, apakah benar orang-orang berpendapatan teratas tidur lebih sedikit daripada pendapatan terbawah?

  3. Jika memang benar, aktivitas apa yang menjadi trade-off waktu tidur tersebut?


Ketimpangan Tidur dalam Literatur Terdahulu

Untuk membangun argumennya, penelitian ini berangkat dari 3 literatur utama, yakni:

  1. Hubungan tidur dan berbagai hasil ekonomi: Biddle dan Hamermesh (1990) memandang tidur tidak hanya sebagai aktivitas biologis, melainkan sebuah pilihan ekonomi. Beberapa literatur menemukan hubungan negatif antara kondisi ekonomi stabil (gaji tinggi, pengangguran rendah, dan sebagainya) dengan durasi tidur (Asgeirsdottir dan Ólafsson, 2015; Sedigh et al., 2017; Szalontai, 2006; dan lain-lain).


  1. Alokasi waktu dan persaingan dengan rekreasi: literatur alokasi waktu (time use) dipelopori oleh Becker (1965) dan dikembangkan oleh Aguiar dan Hurst (2007). Beberapa penelitian sebelumnya berfokus pada trade-off antara kerja dan rekreasi. Sementara penelitian ini berkontribusi penting dengan menempatkan tidur sebagai variabel sentral yang "bersaing" langsung dengan aktivitas rekreasi lainnya.


  1. Hubungan timbal balik tidur dan produktivitas: berdasarkan literatur terdahulu, peneliti menyadari adanya potensi kausalitas terbalik (reverse causality) berupa tidur yang baik meningkatkan produktivitas dan pendapatan, sementara yang ingin diketahui peneliti adalah hubungan pendapatan dengan tidur. Dengan menemukan bahwa orang berpendapatan tinggi justru tidur lebih sedikit, penelitian ini menunjukkan bahwa ada mekanisme lain yang dominan sehingga mengalahkan efek positif tidur terhadap pendapatan.

Secara keseluruhan, kebaruan penelitian ini adalah pendekatan lintas-negara dan multi-level dengan menggabungkan data dari 13 negara maju dan berkembang serta menganalisis bukti mikro (di dalam negara) dan makro (antarnegara) yang konsisten menunjukkan pola penurunan jam tidur seiring meningkatnya pendapatan.


Data dan Pengumpulannya

Penelitian ini menggunakan kumpulan data berskala global, yaitu Multinational Time Use Study (MTUS). MTUS adalah survei penggunaan waktu dari berbagai negara terkait aktivitas individu selama 24 jam. Sayangnya, mayoritas sampel pada MTUS adalah negara maju (Denmark, Jerman, Belanda, Norwegia, Korea Selatan, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat), serta hanya mengikutsertakan Afrika Selatan dan Slovenia selaku negara berkembang. Untuk memperkaya analisis pada negara berkembang, peneliti menambahkan data serupa dari Chili (Encuesta de Uso del Tiempo 2011), Ekuador (Encuesta Específica de Uso del Tiempo 2012), dan Peru (Encuesta Nacional de Uso del Tiempo 2010). Gabungan data ini mencakup total 13 negara dengan karakteristik ekonomi dan budaya yang beragam dengan data yang dikumpulkan antara tahun 2000 hingga 2012 (untuk MTUS menggunakan versi 5 atau versi terbaru).

Fokus utama penelitian ini adalah pada kelompok pekerja pria (bekerja 8 jam atau lebih) berusia produktif (25-65 tahun) dengan analisis yang dipusatkan pada hari kerja untuk menangkap pola yang paling relevan dengan rutinitas ekonomi. Sampel akhir yang dianalisis dalam model utama mencakup data dari lebih dari 9.700 individu. Kunci dari penelitian ini terletak pada: durasi tidur dan pendapatan rumah tangga. Durasi tidur diukur dalam jam/hari, sementara pendapatan rumah tangga dikategorikan menjadi tiga kelompok untuk analisis mikro:

  1. Kelompok Pendapatan Terbawah (Poorest 25%)

  2. Kelompok Pendapatan Menengah (Middle 50%)

  3. Kelompok Pendapatan Teratas (Richest 25%)


Pendekatan Empiris dan Variabel

Peneliti menggunakan pendekatan regresi Panel Fixed-Effects karena metode ini unggul dalam mengontrol faktor-faktor tidak teramati yang mungkin memengaruhi hasil. Secara spesifik, model ini mengontrol semua karakteristik unik yang melekat pada setiap negara (country fixed-effects). Dengan mengontrol efek ini, model dapat mengukur hubungan murni antara pendapatan dan tidur dengan membandingkan individu di dalam negara yang sama, bukan antarnegara. Model didefinisikan sebagai:

ree
  • Sᵢ꜀ adalah durasi tidur individu i di negara c.

  • Income_Groupᵢ꜀ adalah variabel dummy  dengan nilai 1 yang menunjukkan apakah individu tersebut termasuk dalam kelompok pendapatan teratas (top) atau terbawah (bottom).

  • 'Xic mencakup serangkaian variabel kontrol individu dan rumah tangga, seperti usia, status pernikahan, jam kerja, jumlah anggota keluarga, dan jumlah anak berusia di bawah 18 tahun.

  •  c adalah komponen country fixed-effects.

  • ij  adalah error term.

Selain itu, untuk memastikan validitas statistik mengingat jumlah negara yang terbatas, penelitian ini juga menggunakan teknik Wild Cluster Bootstrap untuk menghitung p-value dan melaporkan p-value dengan selisih dari top-bottom. Langkah ini penting untuk menghasilkan kesimpulan yang kokoh dan dapat diandalkan dari data yang ada.


Ketidaksetaraan Tidur dalam Potret Global

Tabel 1 menyajikan data deskriptif yang menjadi fondasi bagi seluruh analisis dan menunjukkan potret awal pola tidur di 13 negara yang diteliti pada 2000-2012. Sampel penelitian ini mencakup persebaran ekonomi yang sangat luas, dari Norwegia (78.991) selaku negara termakmur hingga Afrika Selatan (11.198). Salah satu temuan menarik adalah "kemiskinan tidur" atau persentase orang yang tidur <6 jam/hari (kolom 2) yang ternyata tidak mengenal batas negara maju atau berkembang. Negara-negara seperti Inggris AS, dan Jerman menunjukkan tingkat kemiskinan tidur yang setara dengan Ekuador dan Peru (sekitar 15-16%), mengindikasikan bahwa defisit tidur adalah masalah global yang melintasi batas-batas ekonomi. 


Tabel 1. Statistik Deskrtiptif Data Tidur Menurut Negara

ree

Selain itu, poin krusial terletak pada kolom (6) yang menunjukkan selisih durasi tidur antara kelompok berpendapatan teratas dan terbawah. Angka yang didominasi oleh tanda negatif secara konsisten menunjukkan bahwa di mayoritas negara, individu yang lebih makmur secara sistematis tidur lebih sedikit. Bahkan untuk dua negara yang menunjukkan angka positif (Inggris dan Slovenia), hasil tersebut tidak signifikan secara statistik dan semakin memperkuat bahwa pola ketidaksetaraan tidur ini adalah sebuah tren global yang nyata. Hal ini disajikan lebih lanjut dalam gambar 1 dan 2. 


ree

Gambar 1. Rata-Rata Jam Tidur vs PDB per Kapita Berbagai Negara


Gambar 1 menyajikan hubungan antara PDRB per kapita dengan rata-rata jam tidur berbagai negara. Ditemukan bahwa negara dengan PDRB per kapita tinggi seperti Norwegia menunjukkan tren durasi tidur yang lebih pendek. Garis tren yang menurun merupakan hasil perhitungan regresi linear yang secara statistik mengonfirmasi adanya hubungan negatif antara kekayaan negara dan durasi tidur, menunjukkan bahwa kemakmuran ekonomi datang dengan 'biaya' berupa jam tidur yang hilang.


ree

Gambar 2. Rata-Rata Jam Tidur dan Pendapatan Tinggi vs Rendah

 

Ketika fokus dipertajam pada tingkat mikro, yaitu level kelompok pendapatan teratas dan terbawah, pola serupa muncul (gambar 2). Garis 45 derajat berfungsi sebagai garis referensi kritis: jika sebuah titik berada tepat di garis, artinya tidak ada perbedaan tidur antara kedua kelompok. Namun, terlihat bahwa mayoritas negara secara konsisten berada di atas garis, mengindikasikan bahwa jam tidur kelompok pendapatan terbawah lebih tinggi daripada pendapatan teratas


Titik-titik yang digambarkan dengan warna gelap merepresentasikan negara yang kesenjangan tidurnya terbukti signifikan, sementara titik berwarna abu-abu tidak signifikan. Secara keseluruhan, gambar 2 membuktikan fenomena ketimpangan tidur tidak hanya terjadi antarnegara, tetapi merupakan sebuah realitas yang mengakar dalam struktur sosial masyarakat yang memisahkan antara si kaya dan si miskin tidak hanya oleh jurang ekonomi, tetapi juga oleh durasi tidurnya.

 


Tidur Jadi Tanda Kelas Sosial?

Setelah menyajikan bukti visual awal, penelitian ini beralih ke pembuktian statistik yang lebih mendalam untuk mengukur dampak pendapatan terhadap durasi tidur. Hasil utama pada tabel 2 menunjukkan kelompok berpenghasilan tinggi secara konsisten tidur lebih sedikit. Kekuatan temuan ini terlihat dari hasil difference (rich-poor) yang selalu negatif dan signifikan di berbagai model, bahkan setelah memasukkan berbagai variabel kontrol.

ree

Untuk memahami besaran dampaknya, kita dapat fokus pada kolom (3) yang merupakan model paling lengkap. Koefisien poorest quartile (0,284) menunjukkan bahwa individu di kelompok pendapatan terbawah tidur sekitar 0,284 jam atau 17 menit lebih lama dibandingkan kelompok menengah. Sebaliknya, koefisien pada baris richest quartile (-0,147) mengindikasikan bahwa kelompok pendapatan teratas tidur 0,147 jam atau hampir 9 menit lebih singkat. Dengan demikian, selisih langsung antara keduanya seperti yang tertera pada baris difference (rich-poor) mencapai -0,43 jam atau 26 menit waktu tidur yang lebih sedikit bagi kelompok kaya setiap harinya. 


Temuan ini semakin diperkuat ketika diukur dalam skala persentase pada kolom 6. Hasilnya terdapat penurunan durasi tidur sekitar 5,7% bagi kelompok kaya. Selain itu, hasil tabel 2 juga menunjukkan bahwa variabel kontrol working hours memiliki koefisien negatif dan signifikan yang menunjukkan semakin lama seseorang bekerja, semakin pendek durasi tidurnya.


Menariknya, baik dari analisis mikro maupun makro, ditemukan elastisitas pendapatan terhadap tidur yang konsisten, yakni sekitar -0,04 (perhitungan terpisah dari tabel). Artinya, secara rata-rata, kenaikan 1% pada pendapatan individu atau negara berhubungan dengan penurunan sekitar 0,04% pada durasi tidurnya. 


Misteri Waktu Tidur yang Hilang

Setelah membuktikan adanya defisit tidur, penelitian ini mencari tahu ke mana waktu tersebut sebenarnya digunakan. Dengan membandingkan perbedaan alokasi waktu antara kelompok pendapatan teratas dan terbawah (Difference (rich - poor)) pada tabel 3, defisit tidur -0,453 jam pada kelompok kaya (kolom 1) tidak diimbangi oleh perbedaan signifikan pada jam kerja, perawatan diri, maupun pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, waktu yang hilang tersebut secara statistik dialihkan ke dua aktivitas utama. Pertama, terdapat peningkatan signifikan pada waktu rekreasi (leisure) sebesar 0,262 jam (kolom 4). Kedua, waktu perjalanan (commute) juga bertambah sebanyak 0,195 jam (kolom 8). Temuan ini secara kuat menunjukkan bahwa terjadi trade-off antara tidur dan aktivitas yang terkait dengan gaya hidup dan mobilitas.


Tabel 3. Dampak Pendapatan Rumah Tangga pada Rata-Rata Aktivitas Harian

ree

Untuk memahami lebih dalam alokasi waktu pada rekreasi, dirinci beberapa kategori seperti kegiatan sosial, home production (pekerjaan rumah dan childcare), dan aktivitas individu (TV, penggunaan internet, serta aktivitas daring). Hasilnya, waktu terkonsentrasi pada kegiatan sosial di luar rumah, aktivitas daring, dan penggunaan internet. Namun, apakah substitusi dengan rekreasi ini dapat menjelaskan sepenuhnya fenomena ketimpangan tidur? Peneliti kemudian melakukan analisis heterogenitas dan menemukan bahwa meskipun interaksi dengan rekreasi mampu memperkecil kesenjangan tidur, hubungan negatif antara pendapatan dan durasi tidur tetap konsisten dan signifikan secara statistik (kesenjangan tidur tidak tereliminasi sepenuhnya).


Uji Ketahanan: Kekokohan Hasil dalam Berbagai Skenario

Untuk memastikan temuan utama bukanlah sebuah kebetulan, dilakukan serangkaian uji ketahanan dengan berbagai skenario mencakup pembobotan sampel, analisis pada sampel perempuan, sampel gabungan laki-laki dan perempuan, pola tidur weekdays vs weekend,  serta perubahan definisi pekerja penuh waktu (6 jam/hari dan >30 jam/minggu dari MTUS). Selain itu, peneliti juga menguji pengaruh faktor kontekstual dan demografis mencakup area perkotaan, usia anak termuda, hingga faktor lingkungan seperti suhu rata-rata bulanan untuk memastikan temuan tidak dipengaruhi oleh kualitas tidur terkait cuaca. 

Keseluruhan skenario uji ketahanan memberikan validasi kuat terhadap temuan utama: terdapat sebuah hubungan negatif yang kokoh antara tingkat pendapatan dan durasi tidur.


Kesimpulan

  1. Pada tingkat makro, rata-rata jam tidur berkurang seiring dengan peningkatan PDRB per kapita. Pada tingkat mikro, ditemukan bahwa pekerja pria full-time di kuartil pendapatan teratas tidur sekitar -0,43 jam atau sekitar 26 menit lebih sedikit per hari daripada pendapatan terbawah. 

  2. Baik analisis mikro maupun makro menunjukkan elastisitas pendapatan terhadap tidur yang koheren, yakni sekitar -0,04 (kenaikan 1% pendapatan menurunkan durasi tidur sekitar 0,04%)

  3. Defisit waktu tidur yang terjadi pada kelompok pendapatan teratas ditukar dengan peningkatan alokasi waktu untuk aktivitas rekreasi dan perjalanan (mekanisme substitusi gaya hidup).

  4. Temuan utama terkait hubungan negatif antara durasi tidur dan pendapatan terbukti kokoh dan valid setelah melalui serangkaian uji ketahanan.


Diskusi dari Sudut Pandang Penulis  

Temuan penelitian mengenai ketidaksetaraan tidur ini menjadi cermin yang sangat relevan bagi dinamika sosio-ekonomi Indonesia, terutama di kota-kota besar yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Saat ini, budaya kerja modern dan hustle culture seakan mendorong etos produktivitas tanpa henti. Tekanan untuk menaiki tangga karier dan membangun jejaring sosial yang kuat seringkali memaksa masyarakat untuk menempatkan tidur sebagai prioritas terakhir. Seolah-olah durasi tidur adalah harga yang wajar untuk dibayar demi sebuah kesuksesan.


Terkait dengan alokasi waktu, defisit tidur tidak hanya datang dari ambisi personal, tetapi juga dari tantangan struktural. Kota dengan pertumbuhan ekonomi tinggi memerlukan  sistem mobilitas yang tinggi pula. Sayangnya, seringkali tuntutan mobilitas tinggi ini tidak diimbangi oleh infrastruktur yang memadai. Data dari TomTom Traffic Index (2023) menunjukkan rata-rata pengendara di Jakarta kehilangan 117 jam per tahun karena macet. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang terbuang di jalan sebenarnya memangkas alokasi waktu personal, memaksa individu untuk mengorbankan waktu istirahat mereka bahkan sebelum mereka sempat memilih alokasinya.


Di sisi lain, terkait gaya hidup, peningkatan pendapatan tidak hanya meningkatkan daya beli untuk kebutuhan pokok, tetapi juga untuk konsumsi pengalaman (experiential consumption), sebuah tren yang diminati oleh generasi muda (Dhayal et al., 2024). Menjamurnya pusat kegiatan sosial dan hiburan yang beroperasi hingga larut malam menciptakan situasi baru, yaitu waktu tidur secara langsung berkompetisi dengan berbagai aktivitas rekreasi yang dianggap sebagai bagian dari status dan kualitas hidup.


Dari lingkup kesehatan juga terjadi paradoks. Di satu sisi, pendapatan yang lebih tinggi memungkinkan akses ke sarana kesehatan lebih baik seperti pusat olahraga, makanan organik, dan layanan kesehatan premium. Namun, sebagaimana temuan penelitian ini, hal tersebut juga dapat memicu pengurangan durasi tidur. Tidur sendiri merupakan aset kesehatan dan kebutuhan biologis manusia yang fundamental. Padahal, literatur medis secara konsisten memperingatkan bahwa defisit tidur kronis memiliki kaitan langsung dengan peningkatan risiko penyakit mulai dari penyakit jantung, penurunan fungsi kognitif, sistem kekebalan tubuh, dan sebagainya. Pada akhirnya, biaya yang “dihemat” dari jam tidur yang terpangkas, kelak mungkin harus dibayar dengan harga mahal melalui tagihan medis. 


Segala hal tersebut akhirnya membawa kita pada sebuah refleksi yang lebih dalam: 


sebenarnya sampai batas manakah ambisi dapat didorong dengan terus-menerus melakukan trade-off dengan jam tidur? 

Berdasarkan pembahasan di atas, "defisit tidur" di kalangan masyarakat urban Indonesia bukan hanya masalah personal atau medis, tetapi juga sebuah konsekuensi ekonomi yang kompleks.


 
 
 

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page