top of page

Adiksi Marjinal: Ketika Naik Gaji, Rokok Makin Susah Mati


Sumber: dokpri
Sumber: dokpri

Judul Artikel   : The impact of minimum wage increases on cigarette smoking

Penulis            : Chen Huang, Feng Liu, Shijun You

Tahun Terbit   : 2021

Jurnal              : Health Economics

Diulas oleh Gregorius Samuel Parsaoran Sinaga

 

 

Disparitas Kerusakan: Perbedaan Penggunaan Rokok antara Kelompok Keahlian dan Pendapatan

Merokok dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti masalah jantung, stroke, dan kanker, yang sering kali menjadi penyebab kematian. Menurut Xu et al. (2015), biaya kesehatan yang dihabiskan untuk menangani masalah yang disebabkan merokok mencapai 170 Miliar Dolar AS per tahun. Berdasarkan data dari CPS-TUS (Current Population Survey-Tobacco Use Supplement) di Amerika Serikat, pada tahun 1998, 35,2% populasi berpendidikan SMA atau lebih rendah  merokok, sedangkan hanya 12% populasi berpendidikan tinggi yang merokok. Ada selisih 23,2 poin persentase dalam data tersebut. Seiring waktu (sampai dengan 2015), jumlah keseluruhan perokok menurun, dan selisih ini juga berkurang, meskipun masih signifikan pada angka 18,6 poin persentase.



Gambar 1. Persentase Populasi Berkeahlian Tinggi dan Rendah yang Merokok.

Sumber: Huang et al. (2021)

 

Berdasarkan data tersebut, penelitian ini difokuskan untuk menelaah dampak dari kebijakan yang diarahkan ke kelompok masyarakat yang berkeahlian atau berpendidikan rendah, karena dinilai dapat memberikan dampak keseluruhan yang lebih besar dalam mengurangi perilaku merokok. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Horn et al. (2017), 56% penduduk berpendidikan di bawah SMA memiliki pendapatan 3 USD per jam di sekitar upah minimum negara bagiannya, bagi kelompok berpendidikan SMA ke atas, persentase ini hanya 8%. Temuan ini mengimplikasikan bahwa terdapat hubungan berbanding terbalik antara tingkat pendidikan dan kemungkinan memiliki pendapatan upah minimum. Oleh karena itu, Huang et al. (2021) meneliti hubungan antara upah minimum dan perilaku merokok.

 

Upah minimum bisa mempengaruhi perilaku merokok pada golongan berpendapatan upah minimum dengan berbagai cara, tergantung apakah bagi mereka rokok tersebut adalah barang normal atau barang inferior. Tentunya juga ada kekhawatiran ada efek yang berlawanan, misalnya penurunan jumlah tenaga kerja atau PHK yang disebabkan kenaikan upah minimum. Akan tetapi, perlu dipertimbangkan juga bahwa dengan di PHK, seseorang bisa saja memiliki keleluasaan untuk merokok yang lebih tinggi karena tidak lagi menghabiskan banyak waktu di bangunan kantor. Selain itu, bisa saja terdapat efek psikologis, dengan rendahnya pendapatan atau jika terkena PHK, seseorang mungkin saja bertambah stress sehingga lebih banyak merokok. Sebaliknya, apabila pendapatan meningkat, bisa jadi tingkat stress seseorang turun, sehingga kecenderungannya untuk merokok berkurang. Hal-hal ini mendukung argumen bahwa benar atau salahnya hipotesis akan tetap terbukti dalam penelitian.

 

 

Celah Penelitian yang Diisi:

Penelitian mengenai dampak upah minimum terhadap kesehatan individu semakin berkembang, khususnya oleh komunitas kesehatan masyarakat. Fokus utamanya meliputi kesehatan umum, kesehatan mental, berat lahir, dan perilaku (Leigh et al., 2019), namun hasilnya masih beragam. Horn et al. (2017) menemukan bahwa kenaikan upah minimum memperburuk kesehatan pria usia kerja yang menganggur, sementara Andreyava dan Ulkert (2018) menunjukkan peningkatan perilaku berisiko seperti merokok pada individu berpendidikan rendah. Sebaliknya, Du dan Leigh (2015) serta Wehby et al. (2016) menemukan bahwa kenaikan upah minimum dapat mengurangi merokok dan meningkatkan berat lahir. Lenhart (2017) juga melaporkan peningkatan kesehatan secara umum di Inggris.

Penelitian ini mengisi celah dengan empat kontribusi:

1) Fokus khusus pada perilaku merokok sebagai objek penelitian, bukan sekadar mekanisme yang mendasari perilaku hidup sehat, termasuk dimensi seperti partisipasi, konsumsi, penghentian, dan kekambuhan;

2) mempertimbangkan pengaruh pajak rokok negara bagian (state) yang sebelumnya diabaikan;

3) fokus pada pekerja berpendidikan rendah usia 21–54 tahun serta analisis pada kelompok usia muda dan heterogenitas efek;

4) pengujian ketahanan hasil melalui pendekatan metodologis yang lebih lengkap, termasuk studi semu (pseudo event study untuk mendukung metodologi difference-in-difference), menggunakan data nominal minimum wage, current real minimum wage, dan one-year lag current minimum wage, placebo test, dan spesifikasi model alternatif (level log model, linear, quadratic, dan probit)

 

Penggunaan Data

 

Penelitian Huang et al. (2021) menggunakan data dari CPS-TUS (Current Population Survey - Tobacco Use Supplements). Responden dari survei ini adalah penduduk AS berusia 15 tahun ke atas yang tidak sedang bertugas dalam militer, tidak dalam penjara, dan tidak sedang dirawat.  Dari tahun 1998 sampai dengan 2015 (rentang waktu yang dianalisis), terdapat 21 gelombang survey. Dari seluruh data responden yang terdapat pada CPS-TUS, penelitian Huang et al. (2021) hanya menggunakan data responden berpendidikan rendah (di bawah SMA) yang sedang bekerja pada model utama, kemudian pada uji paralel menambahkan seluruh responden. Dalam penelitian ini Huang et al. (2021) menggunakan beberapa variabel dependen (yang dipengaruhi) yang datanya diperoleh dari kuesioner yang ada pada CPS-TUS, lengkapnya ada dalam matriks berikut:


Tabel 1.Rincian Variabel Dependen Pada Kuesioner CPS-TUS

Variabel Dependen

Pertanyaan pada Kuesioner

Kriteria Definisi

Kecenderungan (partisipasi)  untuk merokok (Smoking Participation)

"Apakah Anda saat ini merokok setiap hari, beberapa hari, atau tidak sama sekali?"

Dijawab "setiap hari" atau "beberapa hari" → dikategorikan sebagai perokok saat ini.

Jumlah rokok yang dikonsumsi per hari

(Numbers of Cigarettes consumed)

- "Berapa jumlah rata-rata rokok yang Anda hisap per hari?" (untuk perokok harian) - Hitungan jumlah hari merokok × jumlah rokok per hari ÷ 30 (untuk perokok tidak rutin)

Perokok harian: berdasarkan jumlah rata-rata per hari. Perokok tidak rutin: dihitung dari 30 hari terakhir (jumlah hari merokok dikali jumlah rokok dibagi 30).

Probabilitas berhenti merokok

(Smoking Cessation)

"Sekitar waktu ini 12 bulan lalu, apakah Anda merokok setiap hari, beberapa hari, atau tidak sama sekali?"

Jika merokok tahun lalu tapi tidak merokok tahun ini → kode 1 (berhenti). Jika tetap merokok → kode 0.

Probabilitas mulai merokok (termasuk kambuh)

(Smoking Initiation and Relapse)

Sama dengan pertanyaan tentang status merokok 12 bulan lalu, ditambah dengan: "Apakah Anda pernah merokok setidaknya 100 batang rokok sepanjang hidup Anda?"

Jika tidak merokok tahun lalu, tapi merokok tahun ini → kode 1 (mulai merokok). Jika tetap tidak merokok → kode 0.

Untuk kambuh, terbatas pada yang pernah merokok ≥100 batang: jika tahun lalu tidak merokok, tapi tahun ini merokok ≥100 batang → kode 1 (kambuh), jika tetap tidak merokok → kode 0. Jika tahun lalu tidak merokok dan tahun ini merokok dibawah 100 batang, maka diberi kode 0

Sumber: Huang et al. (2021)

Variabel independen (yang mempengaruhi) yang digunakan adalah rata-rata dari upah minimum pada tahun tertentu dan satu tahun setelahnya dalam suatu negara bagian (state). Alasan variabel ini digunakan adalah karena dalam satu tahun survey bisa dilakukan beberapa kali, dan untuk merekonsiliasi penelitian-penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan data dari tahun tertentu atau satu tahun setelahnya (one year lag) Data upah minimum dan kenaikannya sepanjang 1998-2015 diperoleh dari UKCPR National Welfare Database (2016).

 

Metodologi Penelitian fixed effect

Sebagai acuan dasar, digunakan persamaan fixed effect sebagai berikut:



Dimana y adalah variabel dependen kecenderungan merokok, jumlah rokok yang dikonsumsi, probabilitas berhenti merokok, dan probabilitas mulai merokok (termasuk kambuh). Index i menggambarkan individu, s menggambarkan negara bagian (state) observasi individu tersebut, dan t menggambarkan waktu observasi individu tersebut. MW adalah variabel independen upah minimum (minimum wage). X adalah variabel kontrol karakteristik suatu individu, yang mencakup usia, ras, gender, dan status pernikahan. Z adalah variabel kontrol karakteristik negara bagian yang terkait dengan variabel independen dan dependen, seperti pelarangan merokok, tingkat pengangguran, PDB per kapita, tingkat partisipasi pada program kesejahteraan SNAP (Supplemental Nutrition Assistance Program)  dan TANF (Temporary Assistance for Needy Families), pengendalian tembakau , rata-rata upah per jam, dan pajak  rokok.  adalah fixed effect dari negara bagian.  adalah fixed effect pada tahun dan bulan tertentu.  adalah variabel kontrol untuk tren waktu pada negara bagian tertentu.  adalah variabel error.

 

Hasil Metode fixed effect:

Tabel 2. Hasil Analisis Menggunakan Metode Fixed Effect Terhadap Variabel Dependen Partisipasi Merokok dan Jumlah Konsumsi Rokok

Sumber: Huang et al. (2021)
Sumber: Huang et al. (2021)

 

Tabel 3. Hasil Analisis Menggunakan Metode Fixed Effect Terhadap Variabel Dependen Probabilitas Mulai Merokok, Probabilitas Berhenti Merokok, dan Probabilitas Kambuh


Sumber: Huang et al. (2021)  
Sumber: Huang et al. (2021)  

Dapat dilihat dari baris pertama kolom 1,2,3,dan 4 pada tabel 2 bahwa apabila variabel cukai atas rokok dan kebijakan sejenis dikontrol (direpresentasikan oleh simbol ‘Y’), maka upah minimum dan partisipasi merokok memiliki korelasi positif yang signifikan. Selain itu dapat dilihat pula dari baris pertama kolom 4,5, dan 6 pada tabel 3, bahwa kenaikan upah minimum berkorelasi negatif dengan probabilitas berhenti merokok (smoking cessation). Maka dari data ini dapat disimpulkan bahwa:

  1. Kenaikan upah minimum dapat meningkatkan kecenderungan golongan berpendidikan rendah yang berada dalam tenaga kerja untuk lebih banyak merokok (partisipasi merokok)

  2. Kenaikan upah minimum dapat mengurangi kecenderungan golongan berpendidikan rendah yang berada dalam tenaga kerja untuk berhenti merokok

 

Metodologi Penelitian Difference-in-Difference-in-Differences (DDD)

Metode difference-in-difference-in-differences digunakan oleh  Huang et al. (2021) untuk mengisolasi dampak dari variabel independen terhadap variabel dependen dari dampak spesifik suatu negara bagian, meskipun model penelitiannya tidak dijabarkan, secara intuitif dapat dipahami bahwa metode difference-in-difference-in-difference dilakukan dengan menambahkan variabel kontrol di dalam kelompok (within group control) yang pada kasus ini adalah tingkat pendidikan/keahlian, dengan mereka yang berpendidikan atau berkeahlian tinggi  (berpendidikan SMA atau di atasnya) sebagai kontrol. Hasil analisisnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Hasil Analisis Menggunakan DDD Terhadap Variabel Dependen Partisipasi Merokok


Sumber: Huang et al. (2021)


Dapat diamati dari baris kedua tabel 4, bahwa upah minimum saja tidak berpengaruh signifikan terhadap partisipasi merokok. Hal ini terjadi karena seluruh sample mencakup golongan yang berpendidikan tinggi. Akan tetapi, apabila upah minimum diinteraksikan dengan variabel pendidikan rendah, maka akan terbukti suatu korelasi yang positif dan signifikan antara upah minimum, dan partisipasi merokok. Hal ini dapat dilihat pada baris 1 tabel 4.

 

 

 

Uji Kekuatan (Robustness) Terhadap Efek Plasebo (Placebo Effect)

Untuk menguji bahwa kenaikan upah minimum bukan merupakan sebuah plasebo yang menurunkan minat merokok semua orang, peneliti juga menambahkan uji dampak upah minimum terhadap perilaku merokok golongan orang yang berpendidikan tinggi (SMA dan di atasnya) dengan metode fixed effect. Efek plasebo adalah suatu fenomena yang terjadi di mana sebetulnya sesuatu tidak memiliki dampak riil, dan yang berdampak sesungguhnya adalah persepsi akan hal tersebut. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Hasil Analisis Efek Plasebo Upah Minimum Terhadap Golongan Masyarakat Berpendidikan Tinggi


Sumber: Huang et al. (2021)
Sumber: Huang et al. (2021)

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa dampak dari kenaikan upah minimum terhadap partisipasi merokok dan probabilitas berhenti merokok tidak signifikan untuk golongan berpendidikan tinggi. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh dari upah minimum terhadap perilaku merokok golongan orang berpendidikan rendah bukanlah suatu efek plasebo, dan memang mempengaruhi pola konsumsi mereka melalui mekanisme ekonomi, seperti yang sudah dibahas pada bagian pendahuluan.

 

Kesimpulan

  1. Peningkatan upah minimum, meski diharapkan dapat meningkatkan kesehatan pekerja, bisa saja malah memiliki dampak yang bertolak belakang dengan yang diharapkan, salah satunya adalah terkait perilaku merokok, seperti yang dibahas pada artikel ini.

  2. Bukti dari artikel ini menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum dapat meningkatkan perilaku merokok di kalangan pekerja berpendidikan rendah, terutama karena dampak negatifnya pada probabilitas berhenti merokok (cessation)

  3. Melalui regresi, diperkirakan bahwa peningkatan upah minimum sebesar 1 USD dapat meningkatkan probabilitas merokok sebanyak 0.7 poin persentase dan menurunkan probabilitas berhenti sebesar 1 poin persentase bagi orang berusia 15-54 tahun yang bekerja

 

 

Diskusi Dari Pandangan Pengulas

 

Bahaya kesehatan yang disebabkan oleh merokok memang sudah diketahui dari lama. Sesungguhnya, bahaya kesehatan seharusnya sudah cukup untuk mencegah seseorang merokok. Bukan hanya karena hal tersebut merugikan diri sendiri, tapi juga orang lain, seperti orang-orang yang tidak merokok tetapi berada di sekitar perokok dan menghirup asap rokok (perokok pasif), maupun anggota keluarga dari seorang perokok yang akan disulitkan apabila sang perokok sakit.

 

Dalam penyangkalan akan  bahaya kesehatan tersebut, sering kali advokat dari rokok akan menggunakan motif-motif sosiokultural ataupun sosioekonomi. Sering kali muncul alasan bahwa merokok memiliki manfaatnya tersendiri dalam membentuk pertemanan dan berkomunikasi dengan orang lain. Sering kali pula merokok dijustifikasi karena lapangan pekerjaan dan perputaran ekonomi yang ditimbulkan oleh produsen-produsen rokok. Sebagai contoh, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Eva Susanti menyatakan bahwa penerimaan cukai dari rokok pada tahun 2017 mencapai 147,7 triliun rupiah (Antara, 2024).

 

 Tidak bisa dipungkiri bahwa produsen rokok memang membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk Indonesia, dan terkadang memang berbagi rokok bersama dapat mempermudah interaksi dengan kelompok masyarakat tertentu. Akan tetapi, pelaku ekonomi (termasuk perokok) sering kali tidak dapat menghitung dengan tepat dampak eksternalitas dari aktivitas-aktivitasnya. Salah satu kegiatan yang memiliki dampak eksternalitas yang besar adalah merokok. Dampak eksternalitas ini tentunya akan menimbulkan biaya-biaya tambahan. Contoh dari hal ini kembali kita dapatkan dari pernyataan Eva Susanti bahwa biaya ekonomi yang ditimbulkan oleh penanganan penyakit yang disebabkan oleh rokok mencapai 431,8 triliun rupiah (Antara, 2024).

 

Biaya eksternalitas yang paling umum diketahui adalah biaya kesehatan yang sebenarnya kerap kali diremehkan oleh perokok, baik itu biaya kesehatan untuk dirinya sendiri, maupun biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh orang-orang lain karena perilakunya. Selain itu, stigma sosial juga mungkin merupakan biaya eksternalitas sosial yang dapat dengan relatif mudah dipahami dan diperhitungkan oleh perokok.

 

Akan tetapi, dari penelitian ini, diketahui juga bahwa kecenderungan merokok juga memiliki dampak makro. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan upah minimum umumnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerjanya, terutama pekerja dengan kemampuan yang rendah dan bayaran yang rendah. Tentunya hal ini dilakukan dengan harapan bahwa kenaikan kesejahteraan akan meningkatkan kualitas hidup seorang pekerja, dan bahkan keluarganya. Ketika kualitas hidup seorang pekerja membaik, diharapkan pekerja tersebut dapat lebih produktif dan menghasilkan output lebih. Begitu juga dengan keluarganya, diharapkan bahwa kualitas hidup yang lebih baik dapat meningkatkan kecerdasan dan produktivitas keturunannya pada masa depan. Akan tetapi dengan bukti bahwa sebagian dari kenaikan upah ini dialihkan kepada rokok, yang tentunya memiliki eksternalitas negatif yang besar, upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas ini bisa saja salah sasaran.

 

Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa bertindak gegabah dan menetapkan larangan yang terlalu ketat terkait rokok. Karena selain banyak pekerjaan yang berkutat di sekitar produksi dan distribusi rokok, hal ini juga menyangkut hak dan kebebasan individu. Diperlukan kesadaran yang kolektif dari seluruh lapisan masyarakat, terutama di Indonesia mengingat bahwa Indonesia adalah negara dengan total persentase penduduk yang  mengkonsumsi rokok terbesar di Asia Tenggara (38,5%) (Tambunan, 2025). Pemerintah perlu meningkatkan edukasi masyarakat bahwa beban ekonomi yang ditanggung dari perilaku merokok masyarakat Indonesia lebih tinggi dari pendapatan negara (cukai) dan manfaat ekonomi lain yang ditimbulkan.

 

 

Daftar Pustaka (untuk Diskusi dari Pandangan Pengulas):

 

Menkes: Beban kesehatan negara akibat rokok lebih gede dari pendapatan. (2024, June 4). antaranews.com. Retrieved May 9, 2025, from https://www.antaranews.com/berita/4135773/menkes-beban-kesehatan-negara-akibat-rokok-lebih-gede-dari-pendapatan


 
 
 

Comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación
bottom of page