Dalam riuh rendahnya dunia demokrasi Indonesia, terdengar gemuruh: “Ratu Adil”–sosok yang yang konon dinanti-nantikan seluruh negeri untuk memberikan pencerahan, membawa kesejahteraan, dan membela rakyat kecil. Namun, istilah “Ratu Adil” semakin meredup, tenggelam dalam kabut politik, menjadi sebuah utopia yang mengaburkan pandangan. Era demokrasi terasa mematahkan mitos ini; setiap orang tampaknya berharap pada diri sendiri, tanpa lagi mencari sosok pemimpin yang ideal. Apakah Ratu Adil masih diperlukan?
Demokrasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Konsep demokrasi, dalam bentuknya yang paling sederhana, dapat didefinisikan menggunakan dua kata Yunani, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), membentuk kata demokrasi, yang berarti “pemerintahan oleh rakyat”. Ini merupakan gagasan awal tentang demokrasi. Semenjak berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1991, demokrasi sebagai ideologi politik tampak tak tergoyahkan, bahkan terbentuk konsensus bahwa demokrasi telah memenangkan predikat “sistem pemerintahan terbaik”. Tetapi, belum berjalan lama, gagasan ini sudah mengalami disrupsi. Banyak negara yang diragukan kredibilitas demokrasinya. Terdapat ungkapan bahwa people power hanya menjadi tirani kelompok berkepentingan. Demokrasi yang sering dianggap mati pada ujung senapan kudeta, nyatanya lebih tercekik ketika oligarki mengatasnamakan rakyat untuk kepentingannya sendiri.
Ketidakpercayaan terhadap kinerja institusi demokrasi sebenarnya dibuktikan oleh sejarah demokrasi itu sendiri. Aristoteles (1912) mengemukakan bahwa “tidak aman untuk mempercayakan rakyat dengan jabatan-jabatan tertinggi dalam negara, baik karena kefasikan maupun ketidaktahuan mereka.” Namun, optimisme demokrasi dicerminkan dalam kerangka pertumbuhan ekonomi. Seperti yang dapat dilihat pada grafik 1, demokrasi justru menghasilkan korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi di suatu negara (Acemoglu et al., 2019). Penelitiannya yang mencangkup 184 negara dalam periode 1960 hingga 2010, menunjukkan negara-negara yang tadinya bukan negara demokrasi akan mengalami resesi dalam waktu dekat sebelum demokratisasi, dan kondisi ini masih akan berlanjut selama beberapa tahun setelahnya. Selama kurun waktu lima tahun (setelah demokratisasi), belum terdapat signifikansi dalam pertumbuhan, tetapi dalam jangka waktu 10 hingga 15 tahun mereka (negara-negara demokrasi baru) menjadi sedikit lebih kaya, dan kemudian pada akhir 20 tahun, mereka memiliki PDB yang lebih tinggi sekitar 20 persen. Selama periode 60 tahun tersebut, negara-negara yang mengalami demokratisasi umumnya tidak melakukannya secara tiba-tiba, tetapi pada saat terjadi krisis ekonomi. Hal ini memberikan gambaran tentang jalur pertumbuhan demokrasi, di mana mereka memulai dengan growth rate yang lambat setelah mencoba pulih dari keterpurukan ekonomi. "Diktator runtuh ketika menghadapi krisis ekonomi," kata Acemoglu.
Grafik 1. PDB per kapita sebelum dan setelah demokratisasi
Sumber: University of Chicago (2019)
Acemoglu menjelaskan bahwa tidak mengherankan melihat efek signifikan dari peristiwa ini (demokratisasi), karena negara non-demokrasi yang cenderung otoriter memiliki banyak kekurangan. Negara-negara demokrasi cenderung berinvestasi secara luas, terutama dalam kesehatan dan sumber daya manusia (pendidikan), bidang yang sering diabaikan oleh negara otoriter. Banyak peristiwa reformasi yang menghilangkan praktik-praktik kroni pada rezim non-demokratis kemudian beralih menjadi negara demokrasi yang kebijakannya cenderung pro-reformasi dan menunjukkan kenaikan pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, pertumbuhan pada negara non-demokratis tidak selalu menunjukkan hasil yang berlawanan. Dalam beberapa kasus, seperti China dan Singapura yang dipimpin secara otoriter, mereka menunjukkan keberhasilan ekonomi yang ditandai oleh pertumbuhan pada angka dua digit. Hal ini bahkan jarang terjadi di demokrasi Barat. Mengapa demikian? Selain karena adanya fenomena benevolent dictatorship, proses pengambilan kebijakan oleh seorang diktator bisa terjadi lebih cepat sehingga dapat memicu pertumbuhan lebih efisien, dan faktor penting lainnya adalah negara-negara tersebut memang tidak didesain untuk menjadi negara demokrasi sejak awal.
Berkebalikan dengan tesis sebelumnya (negara yang mengalami demokratisasi akan cenderung meningkatkan pertumbuhan ekonomi), ketika sebuah demokrasi berubah menjadi otoriter, dampak ekonominya seringkali negatif. Hal ini dikarenakan, dalam demokrasi, kebijakan ekonomi dimaksudkan untuk dibuat secara konsensus, dari sisi eksekutif dan legislatif. Ketika lembaga legislatif tidak lagi dapat efektif menjalankan fungsi ini, seperti di Venezuela dan Turki, atau karena mereka didominasi oleh partai penguasa, seperti di Hungaria, tidak ada yang dapat mencegah pemimpin otoriter dari membuat pilihan buruk yang dapat merugikan ekonomi (Bellinger & Son, 2019). Turkish currency & debt crisis menjadi saksinya, ketika Presiden Erdogan mencoba untuk masuk ke ranah moneter, yang berakibat krisis berkelanjutan.
Demokrasi saat ini menghadapi tantangan yang berbeda dari masa sebelumnya. Di bawah kepemimpinan Viktor Orban, Hungaria mengalami penurunan demokrasi secara perlahan dengan digunakannya mayoritas parlemen untuk menguasai regulator, media, sistem peradilan, dan aturan pemilihan. Pendekatan ini mengubah bentuk demokrasi menjadi semangat negara satu partai, di mana kekuasaan dipertahankan dengan cara manipulasi aturan dan institusi. Fenomena serupa terjadi di negara-negara lain termasuk Polandia, Inggris, dan Amerika Serikat, di mana populisme dan sinisme politik merusak legitimasi dan stabilitas institusi demokratis (The Economist, 2019).
Demokrasi dengan segala optimismenya ternyata sangat sulit untuk dipertahankan. Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk menjalankan demokrasi sesuai gagasan awal?
Pembangunan Dimungkinkan
Ketika kita berkaca pada sejarah perekonomian Indonesia, terdapat pergerakan kepemimpinan dari rezim otoriter yang konservatif menjadi negara demokrasi dalam waktu yang singkat. Tidak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi memang terjadi pada zaman Soeharto. Namun, Orde Baru di Indonesia adalah contoh bagaimana tindakan represif dibenarkan demi pembangunan ekonomi. Pembangunan yang seharusnya mencerminkan efek trickle down malah membawa efek backwash. Sektor keuangan Indonesia menjadi runtuh pada krisis keuangan Asia 1997 yang disebabkan oleh merajalelanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam bidang keuangan, di mana kredit diberikan tanpa adanya asesmen yang sesuai. Namun, dari peristiwa ini kita belajar bahwa sejatinya krisis dapat dihindari apabila demokrasi berjalan, kritik dimungkinkan, transparansi dan pembangunan institusi yang baik dapat diperjuangkan. Dalam sistem otoriter, hal-hal tersebut sering dianggap sebagai tindakan subversif, mengakibatkan kebijakan yang bermasalah menjadi sulit untuk dikoreksi.
Suatu negara tidak hanya memiliki tuntutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembangunan menjadi penting agar kualitas hidup masyarakat dapat meningkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pembangunan institusi yang berkelanjutan. Institusi adalah penopang penting dalam pembangunan ekonomi, mengingat terdapat resiko adanya kegagalan pasar (market failure) sebagai akibat dari informasi yang “mahal” (adanya asymmetric information) dan keterbatasan rasio pelaku pasar untuk mengelola informasi, seperti yang diungkapkan oleh North (1995) dengan terminologi “Bounded Rationality”. Institusi hadir untuk mengurangi ketidakpastian. Reformasi institusi diperlukan untuk mencapai perubahan mendasar yang berkelanjutan dalam organisasi, koordinasi, dan regulasi kegiatan ekonomi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi sehingga lebih banyak masyarakat dapat merasakan kesejahteraan. Namun, Rodrik (1989) mengungkapkan bahwa sumber perbaikan efisiensi bukan hanya terletak pada reformasi itu sendiri, melainkan pada reformasi yang dipandang kredibel. Untuk mencapai hal ini, demokrasi dan meritokrasi memiliki peran yang penting, mendorong adanya pembangunan institusi yang transparan dan antikorupsi.
Menjadi “Ratu Adil” dalam Demokrasi
Demokrasi memang rumit. Namun, demokrasi ada untuk mengawal pembangunan ke arah yang berkelanjutan. Berdasarkan penelitian dari Economist Intelligence Unit, Indonesia menyandang predikat Flawed democracy (demokrasi cacat). Ini merupakan peringatan bagi Indonesia, masih terdapat banyak PR yang perlu dikerjakan kedepannya.
Dalam Road to Serfdom (1944), Hayek menekankan bahwa demokrasi pada dasarnya adalah sarana, demokrasi tidak sempurna atau pasti. Hayek mengatakan bahwa setidaknya di dalam negara yang sangat homogen (dalam kebijakan, partai, dan yang lainnya), pemerintahan demokratis bisa sama menindasnya dengan kediktatoran yang terburuk sekalipun. “It may well be true that our generation talks and thinks too much of democracy and too little of the values which it serves,” ucap Hayek.
Demokrasi memungkinkan setiap suara bergema. Kita tidak memerlukan konsep Ratu Adil sebagai satu sosok dengan kuasa yang mengatur seluruh bangsa, seolah-olah memperjuangkan "kesejahteraan" rakyat. Demokrasi memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses tersebut. Demokrasi memungkinkan setiap orang untuk menjadi “Ratu Adil” dalam perannya masing-masing. Masyarakat harus memiliki kesadaran, sebuah panggilan untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan dan menuntut adanya reformasi institusi. Demokrasi itu mahal. Kita yang mewarisi demokrasi, harus bertanggung jawab menjaganya.
Mengutip dari Reinhold Niebuhr, “Kemampuan manusia untuk mewujudkan keadilan membuat demokrasi mungkin, tetapi kecenderungan manusia untuk bertindak tidak adil membuat demokrasi mutlak dibutuhkan.”
Jocelyn Emmanuella Mok | Ilmu Ekonomi 2023 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2024
Referensi
Acemoglu, Daron, et al. “Democracy Does Cause Growth.” SSRN Electronic Journal, vol. 127, no. 1, 2019, https://doi.org/10.2139/ssrn.2411791.
Aksara, Omah. “Ratu Adil Yang Dinantikan.” Medium, 19 July 2017, medium.com/@omahaksara/ratu-adil-yang-dinantikan-803b4439b63b.
Amartya Sen. Poverty and Famines : An Essay on Entitlement and Deprivation. Oxford, Oxford University Press, 1981.
Basri, Muhamad Chatib. “Kritik Menyelamatkan Pembangunan.” Kompas.id, 1 Dec. 2021, www.kompas.id/baca/opini/2021/12/02/kritik-menyelamatkan-pembangunan?open_from=Tagar_Page. Accessed 22 Feb. 2024.
Dizikes, Peter. “Study: Democracy Fosters Economic Growth.” MIT News | Massachusetts Institute of Technology, 7 Mar. 2019, news.mit.edu/2019/study-democracy-fosters-economic-growth-acemoglu-0307.
Economist, The. “Where Democracy Is Most at Risk.” The Economist, The Economist, Feb. 14AD, www.economist.com/graphic-detail/2024/02/14/four-lessons-from-the-2023-democracy-index. Accessed 15 Feb. 2024.
Hayek, F. A., & Caldwell, B. (1944). The Road to Serfdom: Text and Documents - the Definitive Edition. https://en.wikipedia.org/wiki/The_Road_to_Serfdom
Heo, Uk, and Alexander C. Tan. “Democracy and Economic Growth: A Causal Analysis.” Comparative Politics, vol. 33, no. 4, July 2001, pp. 463–473, www.jstor.org/stable/422444, https://doi.org/10.2307/422444.
Ikhsan, M. (2003). REFORMASI INSTITUSI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI. LPEM FEB UI, No.1/2003. https://www.lpem.org/wp-content/uploads/2013/09/WP-1.pdf
Przeworski, Adam. Democracy and Economic Development. Ohio State University Press, 2000.
Samarasinghe, A. (1994). Democracy and Democratization in Developing Countries. Data for Decision Making Project, 6. https://www.hsph.harvard.edu/international-health-systems-program/wp-content/uploads/sites/1989/2020/04/No-7-1.pdf
Son, Byunghwan, and Nisha Bellinger. “Is Authoritarianism Bad for the Economy? Ask Venezuela – or Hungary or Turkey.” The Conversation, 4 Feb. 2019, theconversation.com/is-authoritarianism-bad-for-the-economy-ask-venezuela-or-hungary-or-turkey-106749.
The Economist. (2019, August 29). The corrupting of democracy. The Economist. https://www.economist.com/leaders/2019/08/29/the-corrupting-of-democracy
Witianti, Siti. “DEMOKRASI DAN PEMBANGUNAN.” Jurnal Wacana Politik, vol. 1, no. 1, 2 Mar. 2016, https://doi.org/10.24198/jwp.v1i1.10547.
1 комментарий