top of page
Arsy Atrisya

Lalu, Siapa yang akan Mengajarkan Anak-anak Kita?

Updated: Nov 28


Demi melepas penat di penghujung minggu, ada sepasang kekasih yang sedang makan di restoran sederhana. Dua piring nasi hangat, lauk pauk renyah, dan gelas minuman menyegarkan terasa begitu mewah. Sang lelaki mengisyaratkan kepada pelayan untuk mengeluarkan tagihan mereka, yang pada akhirnya berkisar Rp 250.000. Tanpa mereka sadari, uang yang mereka keluarkan untuk sekali makan, seharga dengan hasil jerih payah satu bulan sebagai seorang guru honorer.


Sistem pendidikan selalu menjadi perbincangan yang hangat pada setiap tahun perubahan politik. Hal tersebut rupanya terpampang nyata dalam sistem pendidikan kita dari segi pelaksanaannya, kebijakan yang diterapkan maupun hasil akhir. Berbicara tentang hasil akhir, Indonesia memiliki salah satu kemampuan kognitif paling rendah secara global (PISA, 2022). Skor Indonesia untuk kompetensi literasi, sains dan matematika lebih dari 100 poin di bawah rata rata OECD. Pelajaran vital seperti membaca, menulis dan menghitung berawal di ruang kelas, yang berarti kompetensi guru linear dengan prestasi sang anak. Untuk memajukan bangsa Indonesia, tidak hanya dimulai dari siswanya melainkan juga pengajarnya. Namun, jika pengajar sendiri tidak sejahtera, bagaimana ia bisa mensejahterakan siswanya? 


Orang bilang tanah kita tanah surga, tapi bagaimana dengan guru?


Ketabahan hati para sosok berjasa ini seringkali diuji. Kenyataannya, seorang guru di NTT hanya mendapatkan gaji sebesar Rp 250.000 setiap bulannya—Ironi, bukan? Bagaimana ia bisa hidup dengan dana tersebut?  Data survei IDEAS menunjukkan 74% guru honorer di Indonesia memiliki penghasilan di bawah 2 juta dan 20,5% di antara mereka berpenghasilan di bawah Rp 500.000. 


Di negeri kita, kesejahteraan guru masih tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Hal ini tercermin dari tingkat UMR yang berlaku di Sumba, NTT. Pada tahun 2023, tingkat UMR wilayah tersebut sampai Rp 2.123.994. Dengan upah dari kasus di atas, menjadi guru saja tak cukup. Agar kebutuhannya terpenuhi, guru melakukan pekerjaan sampingan seperti menjadi guru bimbingan belajar, berdagang, hingga menjadi kreator konten. 


Sumber: IDEAS, 2024 


Tak hanya mencari pundi-pundi tambahan di ladang lain demi mencukupi hidup sehari-hari, guru juga harus menghadapi kenyataan pahit. Rupanya, 42% individu yang terjerat oleh pinjaman online memiliki profesi sebagai guru (OJK, 2021), hampir setengah dari sampel tersebut. Sejauh ini, Indonesia memiliki 3,39 juta guru pada tahun 2024 (BPS, 2024). Walaupun jumlah tenaga kerja pendidik dalam negeri  sudah terlihat cukup, nampaknya Indonesia masih kekurangan 1,3 juta guru di tahun 2024. Di tengah kekurangan guru yang mendesak, ribuan guru Indonesia jatuh ke dalam  perangkap utang. Beban ganda ini tidak hanya mengancam kesejahteraan guru, tetapi juga kualitas pendidikan anak bangsa.


Taman Ilmu yang Mulai Layu 


Guru sesungguhnya jantung dari pendidikan. Walaupun pemerintah berperan sebagai otak yang memberi arahan, apapun yang terjadi di lingkup  sekolah adalah karena peran  guru. Pastinya, menjalani pendidikan juga bukan hal yang mudah. Lalu, mengapa individu memilih untuk terus menuntut ilmu? Ternyata, satu tahun tambahan sekolah dapat meningkatkan pendapatan sekitar 5.7% (IFLS,2023), fakta ini  menggambarkan pentingnya pendidikan bagi seorang individu. Tentu saja, hal tersebut  menjadi tantangan bagi sang guru, karena keberlangsungan akademik siswa berpatok kepada guru yang mengajarkan komponen dasar pendidikan. Sayangnya, tugas mulia ini tidak disandingi dengan insentif sepadan. 


Tidak hanya itu, guru dituntut untuk bisa mengupayakan segala hal yang ada di sekitarnya. Di wilayah terpencil Indonesia, dimana sarana untuk pembelajaran terbatas, guru dituntut  untuk kreatif mencari solusi. Tetapi kalau tidak ada sarana yang memadai, bagaimana guru juga dapat melakukan pengajaran secara maksimal? Ditambah lagi, sistem pendidikan sangat erat dengan kebijakan pendidikan yang diatur oleh pemerintah. Dengan adanya kabinet dan pengurus baru, tidak jarang sistem pendidikan dijadikan tanah liat yang bebas diubah bentuknya oleh para pembuat kebijakan. 


Jejak yang Diwariskan 


Ketidakpastian kebijakan dan upah minim dengan tuntutan kerja yang tinggi, tentu wajar  jika  individu kompeten menjauhkan diri dari sektor pendidikan. Mereka memilih untuk mulai dari nol dan secara progresif merintis karirnya di bidang lain, karena mereka sadar bahwa upah yang ditawarkan di sektor pendidikan tidak mencapai reservation wage yang mereka ekspektasikan. Reservation wage adalah tingkat upah terendah yang akan diterima oleh suatu individu yang tidak memilih untuk tetap menganggur. Dengan kompetensi yang mereka miliki, tingkat pendidikan yang tinggi, dan faktor kondisi ekonomi di saat itu, reservation wage dapat semakin naik. Jikalau hal ini terjadi dan tidak diseimbangi oleh kenaikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sekolah tidak akan mampu memenuhi permintaan tersebut dan pada akhirnya merekrut guru kurang kompeten tetapi pembayaran upahnya memasuki anggaran yang dimiliki. Jika pekerjaan yang dilakukan beda dengan pendidikan dan spesialisasi individu tersebut, ini bisa menyebabkan mismatch of labour yang dapat digambarkan dengan Beveridge Curve seperti di bawah ini. 

Sumber : Christian Haefke, 2003


Pada Beveridge Curve di atas, terdapat labour market tightness di X axis dan unemployment rate pada Y axis. Labour market tightness adalah variabel yang menggambarkan lowongan kerja yang ada. Semakin besar jumlah labour market tightness berarti semakin besar kesempatan kerja yang dapat digarap oleh pengangguran. Entry cost adalah biaya yang harus dikeluarkan suatu perusahaan untuk rekrut seseorang dan semakin tinggi biaya tersebut, maka kesempatan kerja yang ditawarkan semakin sedikit. Unemployment benefit yang tinggi juga dilatarbelakangi oleh reservation wage yang tinggi, jika kedua hal ini diiringi dengan adanya entry cost,  ini bisa berdampak negatif kepada jumlahnya pengangguran di Indonesia. Perubahan labour market tightness dari 0.2 - 0.4 menandakan bahwa ada penurunan entry cost yang dapat menyebabkan berkurangnya pengangguran dan kesempatan kerja yang semakin meluas. Jika unemployment benefit nya rendah, perubahan entry cost tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Oleh karena itu ada penambahan 1 - 1.2 di labour market tightness tidak begitu besar. Untuk merangkum, reservation wage yang tinggi maka kesempatan kerja semakin sedikit. Sedangkan saat reservation wage rendah, maka semakin banyak kesempatan kerja yang tersedia. 


Permintaan akan guru yang kompeten pada bidangnya masih melambung tinggi (BPS, 2024), tetapi bangku guru kosong yang diisi seringkali tidak tepat sasaran. Hampir setengah dari guru di Indonesia belum memiliki pendidikan sarjana, realitas ini  mungkin jarang dilihat di kota-kota besar layaknya  Jakarta, tetapi  seringkali dijumpai di wilayah terpencil di Indonesia. Contohnya, pemerintah sedang menyiapkan program dimana guru honorer yang belum memiliki gelar sarjana dapat menjadi ASN di wilayah terpencil. Walaupun para HRD sering mengagungkan pendidikan tinggi, di wilayah non-metropolitan Indonesia, banyak tenaga kerja pendidik yang bersemangat untuk mengajar, namun kemampuan mereka dibatasi karena fasilitas yang tersedia. Permintaan akan guru ini juga sulit untuk dipenuhi karena banyak individu yang lebih memilih untuk mengabdi di kota dibanding wilayah pedesaan. Lagi dan lagi, sumber daya manusia yang unggul menumpuk di kota maju dan wilayah terpencil hidup serta berkebatasan. 


Upaya Pemerintah Untuk Memperbaiki Situasi 


Pemerintah tampaknya turut andil untuk mengubah sistem pendidikan bangsa. Hal ini terjadi melalui pemisahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menjadi tiga bagian yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi dan Kementerian Budaya. Alhasil timbul pertanyaan dari motivasi di balik penerapan kebijakan tersebut. Hal ini diterapkan untuk memiliki fokus yang lebih rinci untuk setiap strata pendidikan. Pastinya, di setiap tingkat pendidikan memiliki permasalah sendiri, jika kementerian dibagi untuk setiap jenjangnya, isu dapat lebih mudah ditangani dan diharapkan meningkatkan keberhasilan kebijakan yang ada. 


Seringkali ada perbedaan di antara upah yang diterima oleh guru berstatus PNS dan tidak. Melihat hal ini, pemerintah ingin menyetarakan posisi dan guru yang memiliki 2 status yang berbeda. Kebijakan ini dinamakan inpassing, yang diperkirakan akan dilaksanakan pada tahun 2025. Sudah menjadi berita lama bahwa kami sering mendengan guru honorer menyuarakan pendapatnya perihal perbedaan kesejahteraan yang dirasakannya dengan guru PNS. Yang pasti, banyak guru PNS memiliki kepastian akan gajinya dan secara finansial mereka terpenuhi. Meskipun guru honorer tidak kalah kerja keras, hasil yang diperoleh tetap beda. Untuk mengurangi kasus seperti ini, pemerintah ingin menerapkan inpassing sebagai suatu bentuk apresiasi atas kontribusinya terhadap sektor pendidikan Indonesia, walau tanpa status PNS tersebut.


Akankah gaji tinggi membuat sistem pendidikan membaik?


Sebenarnya, itu yang diharapkan. Namun, suatu eksperimen yang dilaksanakan oleh World Bank mengatakan hal lain. Pada tahun 2005, telah disahkan undang-undang guru dimana pemerintah akan menambah upah guru dua kali lipat. World Bank melakukan randomised controlled trial kepada 260 sekolah yang disebar di 20 wilayah yang berbeda, guru dari 120 sekolah dinaikkan upahnya secara langsung dan guru dari 240 sekolah lainnya mendapatkan kenaikan upah secara perlahan. Jika  dilihat dari perspektif guru, mereka melaporkan adanya tingkat kesejahteraan finansial lebih tinggi dan berkurangnya pekerjaan sampingan. 


Akan tetapi, dampak yang dirasakan oleh siswa  berbanding terbalik. Hasil tes siswa  cenderung stagnan dan tidak mengalami perubahan signifikan dari hasil pembelajaran. Selain itu, guru juga tidak mengubah metode pengajaran, sehingga berujung kepada tidak adanya perbedaan dari kualitas pembelajaran sebelum dan sesudah kenaikan upah. Dengan hasil yang stagnan, World Bank menyimpulkan bahwa kenaikan upah pada guru tidak membuahkan hasil pada murid-muridnya, meskipun kenaikan upah guru ini diperkirakan dapat  menghabiskan 5% dari APBN. Kenaikan upah ini tidak efektif secara biaya maupun hasil. 


Lalu, siapa yang akan mengajar anak bangsa nanti? 


Dengan kendala finansial yang sering terjadi pada profesi guru, tak heran apabila masyarakat cenderung memilih karier di luar sektor pendidikan. Tidak hanya kesejahteraan guru, perubahan pelaksanaan pendidikan juga harus diperhatikan. Dengan memfokuskan kepada memperbaiki kompetensi guru lewat pelatihan, mengevaluasi pengalokasian dana pendidikan, dan membuat rencana jangka panjang, Indonesia dapat mencapai titik sistem pendidikan optimal. Sebab sesungguhnya, tidak hanya guru dan pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengajarkan generasi masa depan bangsa  nanti, melainkan tugas semua lapisan masyarakat sebagai warga Indonesia. Seperti yang pepatah pernah katakan, dibutuhkan satu kampung untuk membesarkan seorang anak.


Referensi

57 views1 comment

Recent Posts

See All

1 Comment

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Gea
Gea
Nov 24
Rated 5 out of 5 stars.

very well topic!! and such a good reads ❤️ thanks for making this!

Like
bottom of page