Judul Artikel : Adapting to the gig economy: Determinants of financial resilience among “Giggers”
Penulis : Siti Nurazira Mohd Daud, Zaiton Osman, Shamzaeffa Samsudin, Ing
Tahun Terbit : 2024
Jurnal : Economic Analysis and Policy
Diulas oleh : Anindya Ayu Putri Paramitha
Pekerjaan gig meningkatkan pertumbuhan ekonomi gig Malaysia
Negara Malaysia sedang beralih menuju ke ekonomi gig, yakni pasar tenaga kerja yang identik dengan karyawan kontrak jangka pendek atau lepas (freelancer), di mana ketergantungan pada platform digital untuk tugas on-demand mengubah cara kerja pekerjaan tradisional. Kemajuan teknologi melalui aplikasi seperti eRezeki, Grab, dan MyFutureJobs membuka peluang bagi pengangguran dan setengah pengangguran untuk mendapatkan pekerjaan. Pergeseran ini menawarkan pekerjaan berbasis daring yang fleksibel namun berpotensi tidak stabil. Fleksibilitas pekerjaan gig telah berkontribusi pada pertumbuhan sektor gig di Malaysia. Studi Zurich-University of Oxford (2018) menemukan bahwa 38% pekerja penuh waktu di Malaysia berencana bergabung dengan ekonomi gig dalam setahun, jauh melebihi rata-rata global sebesar 20%, menyoroti pertumbuhan ekonomi gig di Malaysia.
Namun, bagaimana dengan financial sustainability-nya?
Ketahanan finansial pekerja gig di Malaysia telah menarik perhatian besar terhadap potensi risiko yang terkait dengan partisipasi dalam ekonomi gig. Pekerja gig tidak dilindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan 1995 atau peraturan ketenagakerjaan lainnya, sehingga tidak berhak atas upah minimum seperti pekerja tradisional. Selain itu, pekerja gig kekurangan akses pelatihan dan manfaat kerja lainnya. Ditambah, pandemi COVID-19 memperburuk situasi dengan 46,6% pekerja wiraswasta kehilangan pekerjaan dan hanya 5% yang memiliki tabungan cukup untuk 3 bulan. Risiko finansial seperti ketiadaan perlindungan sosial, asuransi kesehatan, manfaat pensiun, dan tabungan darurat menyoroti pentingnya memahami ketahanan finansial pekerja gig di Malaysia. Walaupun pekerjaan gig umumnya tersedia dengan mudah, namun seringkali menghadapi upah yang rendah (Adermon dan Hensvik, 2022). Situasi ini menimbulkan pertanyaan: Apakah pekerja gig Malaysia tahan secara finansial tanpa manfaat perlindungan karyawan yang biasa ada di pasar tenaga kerja tradisional? Maka dari itu, penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan finansial pekerja gig di Malaysia untuk memberikan temuan bagi perumusan kebijakan.
Data dan Metodologi
Sampel terdiri dari 490 tanggapan pekerja gig berusia di atas 18 tahun yang tinggal di Malaysia, menggunakan proksi pekerja sektor informal. Pengambilan sampel dilakukan secara berlapis berdasarkan proporsi pekerja informal di setiap negara bagian Malaysia dan lima wilayah Semenanjung Malaysia: Utara, Tengah, Selatan, Pantai Timur, serta Malaysia Timur (Sabah dan Sarawak) melalui survei langsung oleh enumerator. Setelah pemeriksaan, 452 tanggapan dipilih sebagai tanggapan yang valid untuk dianalisis. Kuesioner yang digunakan terdiri dari empat bagian: profil demografi responden, pengukuran kesehatan umum dan mental responden, kerentanan finansial, ketahanan, dan literasi finansial responden, serta profil finansial responden.
Variabel
A. Variabel Dependen
Ketahanan Finansial
Ketahanan finansial pada penelitian ini menggunakan empat ukuran:
1. Sumber daya ekonomi
Poin ini mencakup pendapatan, tabungan, manajemen utang, serta kemampuan untuk menutupi biaya hidup dan mendapatkan dana darurat.
2. Sumber daya finansial
Poin ini dinilai dari akses dan permintaan terhadap produk dan layanan finansial.
3. Pengetahuan dan perilaku finansial
Poin ini berkaitan dengan pemahaman individu dan kepercayaan pada produk dan layanan finansial, penggunaan nasihat finansial, dan perilaku finansial proaktif.
4. Modal sosial
Poin ini mencakup hubungan sosial individu dengan teman, keluarga, komunitas, dan pemerintah, yang dapat memberi dukungan finansial dan nasihat dalam pengambilan keputusan.
Poin-poin tersebut berasal dari 17 item pada kuesioner yang diukur dengan skala likert 4 poin, dimana 1 = sangat tidak setuju, hingga 4 = sangat setuju. Berikut item-itemnya:
Kemudian, hasilnya dirata-ratakan dan dibagi menjadi 4 kategori yang membentuk data ordinal untuk variabel dependen. Di mana skor, (1) 1–1.75 = ketahanan finansial sangat rendah, (2) 1,76–2,5 = ketahanan finansial rendah, (3) 2,51–3,25 = ketahanan finansial tinggi, dan (4) 3,64–4,00 = ketahanan finansial sangat tinggi.
B. Variabel Independen
Literasi Finansial
Penelitian ini menggunakan sembilan item untuk mengukur literasi finansial dengan skala likert 4 poin, dimana 1 = sangat tidak setuju, hingga 4 = sangat setuju. Pengukuran ini mencakup pengetahuan dasar konsep keuangan. Berikut item-itemnya:
Sosiodemografis
Penelitian ini mempertimbangkan indikator sosiodemografis seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerja gig, dan kategori pekerjaan gig, yang didasarkan pada penelitian sebelumnya (Clark et al., 2021; Demertzis et al., 2020; Wiersma et al., 2020).
Metode
Metode penelitian terdiri dari dua bagian. Pertama, peneliti mengkalibrasi skor ketahanan finansial menggunakan skor rata-rata. Kemudian, peneliti menggunakan model ordered probit regression untuk menganalisis faktor–faktor yang berkontribusi terhadap ketahanan finansial pekerja gig di Malaysia.
Hasil dan Kesimpulan
Apa saja yang mempengaruhi ketahanan finansial pekerja gig?
Berdasarkan pada tabel regresi di atas, pekerja gig dengan penghasilan di bawah RM 4849 signifikan mengurangi probabilitas ketahanan finansial pada tingkat signifikansi 0,01, ceteris paribus. Kemudian, pekerja gig dengan penghasilan di atas RM 15.039 signifikan meningkatkan ketahanan finansial pada tingkat signifikansi 0,01%, ceteris paribus. Semakin bertambahnya usia mengurangi probabilitas ketahanan finansial pada tingkat signifikansi 0,05, ceteris paribus. Selain itu, pekerja gig dengan literasi finansial yang tinggi juga signifikan meningkatkan probabilitas ketahanan finansial dengan tingkat signifikansi 0,01, ceteris paribus. Ketiga variabel tersebut tetap menjadi variabel yang kuat mempengaruhi ketahanan finansial bahkan setelah mempertimbangkan endogenitas dengan metode ERM diikuti juga berpengaruhnya tingkat pendidikan.
Seberapa besar determinan tersebut mempengaruhi ketahanan finansial pekerja gig?
Seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap dependen pada model ordered probit regression dilihat dari tabel marginal effect. Tabel di atas menunjukkan bahwa pekerja gig dengan pendapatan yang tinggi dapat memberikan stabilitas finansial yang lebih baik bagi dirinya. Di mana, pekerja gig dengan pendapatan di bawah RM 4849 signifikan meningkatkan probabilitas seseorang dengan ketahanan finansial yang sangat rendah dan rendah secara berurutan sebesar 4,1% dan 9,8% ceteris paribus. Kebalikannya, untuk seseorang dengan ketahanan finansial yang tinggi dan sangat tinggi secara berurutan signifikan menurunkan probabilitas sebesar 11,9% dan 1,8%, ceteris paribus. Adapun, pekerja gig dengan pendapatan di atas RM 15,039 signifikan mengurangi probabilitas seseorang dengan ketahanan finansial yang sangat rendah sebesar 6,5% dan rendah sebesar 33,8%. Kebalikannya, untuk seseorang dengan ketahanan finansial yang tinggi dan sangat tinggi secara berurutan signifikan meningkatkan probabilitas sebesar 27,6% dan 12,7%, ceteris paribus.
Kemudian, pekerja gig yang lebih muda mungkin memiliki keunggulan atau karakteristik tertentu yang berkontribusi pada kemampuan mereka untuk mempertahankan tingkat ketahanan finansial yang lebih tinggi. Di mana, setiap peningkatan usia pekerja gig signifikan meningkatkan probabilitas untuk memiliki ketahanan finansial yang sangat rendah sebesar 0,1% dan rendah sebesar 0,3%, ceteris paribus. Kebalikannya, semakin bertambahnya usia pekerja gig signifikan menurunkan probabilitas untuk memiliki ketahanan finansial yang tinggi sebesar 0,4%, ceteris paribus. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah uang yang dikumpulkan, tahapan dalam karier, atau tanggung jawab finansial yang dimiliki oleh seorang pekerja gig.
Di sisi lain, pekerja gig dengan literasi finansial yang baik dapat meningkatkan stabilitas finansial mereka. Di mana, pekerja gig dengan literasi finansial yang lebih tinggi signifikan menurunkan probabilitas untuk memiliki ketahanan finansial yang sangat rendah sebesar 4,7% dan rendah sebesar 8,1%, ceteris paribus. Kebalikannya, pekerja gig dengan literasi finansial yang tinggi signifikan meningkatkan probabilitas untuk memiliki ketahanan finansial yang tinggi sebesar 11, 5% dan sangat tinggi sebesar 1,3%, ceteris paribus. Hal ini dapat terjadi karena individu dengan literasi finansial yang baik mungkin menunjukkan keterampilan dalam pengambilan keputusan finansial yang lebih baik, kesiapan, dan kemampuan untuk mengatasi tantangan finansial dengan efektif.
Apa saja motivasi seseorang untuk menjadi pekerja gig?
Peneliti menemukan bahwa ketahanan finansial memainkan peran penting dalam motivasi pekerja gig. Berdasarkan jawaban responden, terdapat 3 alasan utama seseorang menjadi pekerja gig yakni, “ingin otonomi dan kontrol”, “satu-satunya cara untuk menghasilkan pendapatan”, dan “untuk mendapatkan uang tambahan”. Hasilnya, pekerja dengan ketahanan finansial yang sangat rendah dan rendah cenderung bekerja sebagai pekerja gig karena “satu-satunya cara untuk mendapatkan penghasilan”. Kemudian, pekerja dengan ketahanan finansial yang tinggi lebih cenderung bekerja sebagai pekerja gig karena “ingin otonomi dan kendali”. Terakhir, pekerja dengan ketahanan finansial yang sangat tinggi cenderung bekerja sebagai pekerja gigi “untuk mendapatkan uang tambahan”.
Bagaimana jika berdasarkan kategori pekerjaan gig?
Peneliti membagi sektor pekerjaan gig menjadi enam. Tiga kategori dengan jumlah responden terbanyak yang diambil adalah sektor “jasa pengiriman”, “e-hailing”, dan “pendidikan”. Pada kategori “jasa pengiriman”, efek marginal menunjukkan bahwa kemungkinan pekerja gig mempertahankan ketahanan finansial menurun seiring bertambahnya usia. Kemudian, pada kategori “e-hailing” dan “pendidikan” menunjukkan bahwa mereka dengan literasi finansial yang baik lebih mungkin memiliki ketahanan finansial.
Kesimpulan
Penelitian menunjukkan bahwa pendapatan, usia, dan literasi finansial memiliki peran yang kuat pada ketahanan finansial pekerja gig. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sedikit lebih dari separuh (52,4%) pekerja gig dikategorikan memiliki ketahanan finansial rendah, yang terkait dengan kemampuan pekerja gig untuk pulih dari guncangan atau kejadian yang tidak pasti, menunjukkan kemampuan terbatas mereka untuk bangkit setelah peristiwa dan pengalaman buruk, beradaptasi dengan perubahan situasi, dan menghadapi tekanan lingkungan. Secara khusus, pekerja gig memiliki sumber daya ekonomi dan finansial yang tidak mencukupi serta jaringan sosial yang kurang, mengindikasikan bahwa mereka paling tidak mungkin pulih dari situasi finansial yang buruk. Kemudian, lebih dari separuh responden memiliki utang dan merasa tidak nyaman dengan kemampuan mereka untuk melunasi utang mereka.
Meskipun begitu, lebih dari separuh responden memiliki pengetahuan dasar tentang konsep keuangan yang kritis. Pada saat yang bersamaan, lebih dari 70 persen responden mengharapkan dukungan dari komunitas dan pemerintah, yang menekankan perlunya intervensi pemerintah pada tahap awal ekonomi gig ini. Memanfaatkan fleksibilitas ekonomi gig, meningkatkan keterampilan digital, dan mengikuti perkembangan e-commerce akan meningkatkan tingkat pendapatan dan kualitas hidup pekerja gig. Literasi finansial yang tinggi akan mencerminkan kemampuan yang baik dalam keputusan finansial dan ketahanan finansial mereka.
Review Pengulas: Apakah ekonomi gig solusi untuk pengangguran?
Ekonomi gig, fenomena yang muncul akibat transformasi digital, menghadirkan skema kerja baru di mana pekerja tidak diikat kontrak formal dan dibayar berdasarkan hasil kerja. Di Indonesia, ekonomi gig mulai ramai sejak kemunculan Gojek di tahun 2015, menawarkan solusi bagi tingginya jumlah pekerja informal dan pengangguran. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2015 – Agustus 2023 menunjukkan bahwa 60% pekerja di Indonesia didominasi pekerja informal. Hal ini sejalan dengan tren penurunan pengangguran di kota-kota besar sejak munculnya ekonomi digital, terutama di sektor transportasi, logistik, dan jasa antar makanan daring. Tetapi, sama halnya dengan Malaysia belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur dan melindungi pekerja gig di Indonesia.
Di balik fleksibilitas dan semangat wirausahanya (to be your own boss), ekonomi gig menyimpan potensi kerentanan bagi para pekerjanya. Berdasarkan penelitian di atas, sebagian besar responden memiliki pendapatan yang rendah dengan alasan pekerjaan gig adalah satu-satunya sumber pendapatan. Ketidakpastian pendapatan, minimnya jaminan sosial, dan risiko terjebak dalam "low-skilled labor trap" menjadi tantangan yang perlu dihadapi. Meskipun ekonomi gig menawarkan solusi bagi fenomena pengangguran, hal ini dapat menjadi bumerang bagi kualitas sumber daya manusia negara karena masyarakat mudah mendapatkan pekerjaan tanpa harus memiliki keahlian dan pendidikan yang tinggi. Hal tersebut berpotensi menurunkan produktivitas negara yang nantinya memengaruhi perekonomian negara. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang adil dan berpihak pada pekerja, program pelatihan dan pengembangan keterampilan, serta penguatan jaminan sosial dan perlindungan bagi pekerja informal. Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan dari berbagai pihak, ekonomi gig berpotensi menjadi solusi nyata bagi permasalahan ketenagakerjaan, bukan hanya solusi sesaat yang berpotensi menimbulkan masalah baru.
Comments