Judul Artikel : Historical or Contemporary Causes of Corruption: International Evidence
Penulis : Zhang Qia, Jin Yanting
Tahun Terbit : 2023
Jurnal : Finance Research Letter
Diulas oleh : Muhammad Afnan Ahzami
Agenda Menyelesaikan Korupsi
Korupsi adalah fenomena multi-dimensi yang memengaruhi semua aspek sosial melewati batas ruang dan waktu. Di satu sisi, agenda global untuk memerangi korupsi semakin meningkat, sementara di sisi lain, skandal korupsi terus saja berulang. Hal ini menjadi perhatian serius, mengingat bagaimana tingkat korupsi di suatu negara merupakan indikator penting bagi kondisi penegakan hukum, ekonomi, budaya, dan politik di negara tersebut (Wilson, 2008).
Dampak dari korupsi yang signifikan terhadap kesejahteraan negara-negara di dunia telah mendorong banyak penelitian untuk menggali lebih dalam mengenai apa alasan korupsi merajalela di beberapa negara, sementara di negara lain berhasil dicegah? Indeks Persepsi Korupsi Internasional (ICI), sebuah barometer persepsi korupsi global, memberikan gambaran sekilas tentang tingkat korupsi di setiap negara. Publikasi ini menggambarkan tingkat korupsi di seluruh dunia yang menunjukkan bahwa negara berkembang umumnya lebih korup dibandingkan negara maju.
Akar dari Korupsi
Korupsi yang bersifat temporal dan meluas telah mendorong sejumlah besar ilmuwan, baik konservatif maupun modern, untuk melakukan sejumlah besar penelitian mendalam. Ada empat teori dan pandangan utama tentang penyebab korupsi, yaitu:
Minimnya checks and balances dan pengawasan terhadap kekuasaan
Fenomena modernisasi
Lembaga yang tidak efisien
Faktor kebudayaan
Singkatnya, para peneliti telah melakukan analisis dan argumen yang mendalam mengenai penyebab korupsi dari perspektif historis, institusional, ekonomi, dan budaya. Akan tetapi, studi yang ada didominasi oleh analisis teoritis dengan sedikit analisis empiris. Penelitian-penelitian ini memberikan kontribusi penting terhadap eksplorasi penyebab korupsi, tetapi tidak mengeksplorasi akar historis korupsi dalam hubungannya dengan penyebab kontemporernya. Bahkan, lebih jarang lagi memberikan analisis kuantitatif tentang berbagai penyebab korupsi dan bukti empiris yang meyakinkan tentang tata kelola penyelesaian korupsi.
Analisis Teoritik secara Historis dan Kontemporer
a. Akar Historis Korupsi
Banyak penelitian telah memberikan argumentasi terkait korelasi antara sejarah suatu negara terhadap kecenderungan korupsi di negara tersebut. Contohnya seperti perbedaan pendapatan regional yang disebabkan oleh kekayaan alam (Ray, 2002) dan perbedaan tingkat sistem hukum nasional (Kim et al., 2017) yang berdampak pada tingkat korupsi.
Lebih spesifik, artikel jurnal ini membahas beberapa aspek sejarah yang menjadi pertimbangan dalam menentukan variabel historis pada tingkat korupsi, seperti 1) Tipe kode negara, 2) Dominasi diskriminasi rasial dalam suatu negara, 3) Sumber daya alam yang melimpah.
b. Penyebab Kontemporer Korupsi
Korupsi sebagai masalah multi-dimensi juga didefinisikan berdasarkan penyebab yang hadir secara kontemporer. Asumsi secara umum, negara maju atau kaya cenderung mempunyai kemampuan untuk membentuk model institusi dan pemerintahan yang lebih baik (lebih bersih). Beberapa variabel dalam artikel jurnal ini diekspektasikan memberikan korelasi negatif terhadap tingkat korupsi, seperti 1) Tingkat PDB per kapita, 2) Tingkat kebebasan pasar dan keterbukaan ekonomi, 3) Tingkat demokrasi, 4) Peran pers dan media, 5) Refleksi orientasi pasar suatu negara, 6) Tingkat penetrasi pendidikan, 7) Tingkat gaji aparatur negara.
Pelaksanaan Penelitian
a. Sumber Data dan Sampel
Menghimpun data lintas negara secara empiris dalam penelitian tentang tingkat korupsi secara global tentu merupakan tantangan tersendiri. Kehadiran pejabat tinggi di tingkat sub-provinsi dalam setiap negara diukur dengan data mengenai pejabat tinggi yang dikumpulkan dari laporan media publik di internet. Sementara itu, data keberlimpahan sumber daya alam, PDB per kapita, kebebasan ekonomi, tingkat demokrasi, peran media, dan desentralisasi dihitung secara manual melalui International Statistical Yearbook (2021).
Sementara itu, data tingkat penetrasi pendidikan dan tingkat gaji aparatur negara dikumpulkan melalui database World Bank WDI. Untuk dummy variables, seperti apakah suatu negara menganut sistem hukum common law atau merupakan koloni jajahan inggris didapat melalui ensiklopedia Baidu. Secara total, data dari 180 negara telah dikumpulkan dan hanya data 168 negara yang digunakan dengan pertimbangan kekosongan data dan negara kecil dengan populasi dibawah satu juta penduduk.
b. Variabel yang Digunakan
Variabel Independen:
Pada historical roots, terdapat tiga variabel independen, yaitu proporsi populasi beragama, tingkat diskriminasi rasial, dan keberlimpahan SDA.
Variabel kontrol pada bagian historical roots meliputi dua dummy variable, yaitu status kode negara dan status bekas jajahan.
Pada contemporary causes, terdapat lima variabel independen, yaitu tingkat keterbukaan negara, PDB per kapita, tingkat demokrasi, peran media dan pers, serta tingkat marketisasi.
Variabel kontrol pada bagian Contemporary causes ada dua, yaitu tingkat penetrasi pendidikan dan rerata gaji aparatur negara.
c. Metode Penelitian
Dengan menggunakan Stepwise Regression, variabel independen pertama yang dianalisis adalah faktor-faktor historis yang memengaruhi korupsi (historical roots), termasuk variabel dummy sistem hukum secara umum, keberadaan variabel dummy kolonial, diskriminasi rasial, dan kelimpahan sumber daya yang ditentukan oleh karakteristik historis atau alamiah dari negara tersebut dan bersifat tetap dalam jangka waktu yang lama. Hal ini kemudian diikuti dengan analisis penyebab korupsi kontemporer (contemporary causes), termasuk degree of openness, PDB per kapita, tingkat demokrasi, tingkat peran media, level marketisasi (tingkat intervensi pemerintah terhadap kebijakan ekonomi), tingkat penetrasi pendidikan, dan tingkat gaji pegawai negeri.
Variabel yang hasil regresinya tidak signifikan akan dikeluarkan dari regresi pada kolom selanjutnya. Sementara itu, untuk variabel yang signifikan akan tetap dipertahankan dan secara bertahap akan ditambahkan variabel baru pada setiap kolom berikutnya. Variabel dependennya adalah Indeks Persepsi Korupsi Transparency International tahun 2016 dan hasil regresinya ditunjukkan pada Table 4 di bawah.
Hasil Stepwise Regression (Regresi Bertahap)
Semua Variabel Karakteristik Sejarah Sebuah Negara (Historial Roots) Tidak Menentukan Tingkat Korupsi Kecuali Tingkat Keberlimpahan Sumber Daya Alam
Pada bagian variabel kontrol terkait negara koloni dan common law, kedua variabel tersebut memiliki pengaruh positif terhadap indeks kebersihan korupsi, akan tetapi hal tersebut tidak signifikan dengan hasil regresi secara berurutan (-1,15) dan (2,744) sehingga tidak diikutsertakan pada kolom kedua. Sama halnya dengan variabel independen tingkat diskriminasi rasial, yang awalnya mempunyai hubungan negatif signifikan pada kolom 1 sebesar (-0,138) dan kolom 2 sebesar (-0,099), akan tetapi ketika variabel PDB per kapita dimasukkan pada kolom 3, hanya hasil regresi tingkat diskriminasi rasial saja yang berubah menjadi insignifikan (-0,0003). Hal ini diasumsikan karena peningkatan PDB per kapita suatu negara berasosiasi terhadap level integritas yang semakin tinggi dan minimnya tingkat korupsi, yang nantinya berkorelasi terhadap implementasi good governance yang semakin baik dalam tata kelola pemerintahan dan mengurangi isu rasial dalam perumusan kebijakan.
Sementara itu, pada variabel sumber daya alam, hipotesis penulis artikel jurnal terkait semakin besar keberlimpahan SDA suatu negara akan berdampak negatif pada indeks kebersihan korupsi (positif terhadap tingkat korupsi). Hal tersebut dibuktikan melalui hasil regresi yang dapat dilihat pada tabel 4. Pada 8 kolom, variabel SDA secara signifikan konsisten berkorelasi negatif terhadap indeks kebersihan korupsi. Data ini sejalan dengan penelitian Wilson (2008) yang menyatakan bahwa tingginya biaya pengelolaan sumber daya alam secara umum disebabkan oleh tingginya rente yang sering kali dibayarkan untuk akses terhadap pengembangan dan hak ekstraksi kepada pihak pemerintah, yang kemudian memengaruhi keputusan para pembuat kebijakan dalam pengembangan dan alokasi sumber daya.
Variabel Independen Kontemporer (Contemporary Causes) Terbukti Ampuh dalam Mencabut Akar Korupsi, Kecuali Tingkat Keterbukaan Perdagangan
Berdasarkan hasil regresi pada bagian variabel kontemporer, mayoritas variabel cenderung sesuai dengan ekspektasi penulis jurnal (lihat expected symbols). Bisa dilihat pada variabel PDB per kapita, dari kolom 3 (1,627) hingga kolom 8 (1,782) secara konsisten menunjukan korelasi positif yang signifikan pada indeks kebersihan korupsi (korelasi negatif pada tingkat korupsi). Secara konsep, perilaku korupsi cenderung mengaburkan batas antara wewenang sektor privat dan publik. Jika dielaborasikan, semakin besar perekonomian suatu negara, maka negara tersebut cenderung lebih mudah dalam mengakomodasi sistem pemerintahan yang lebih baik, sehingga nantinya mampu mengurangi tingkat toleransi terhadap korupsi.
Tingkat demokrasi suatu negara ternyata juga terbukti berkorelasi positif terhadap indeks kebersihan korupsi secara signifikan. Hal ini bisa dilihat pada kolom 4 (0,57) dan kolom 5 (0,55) yang hasil kedua regresinya stabil dan tidak berbeda jauh, tetapi kemudian meningkat ketika variabel marketisasi kebijakan pemerintah dimasukan dalam proses regresi (semakin signifikan) pada kolom 6 (1,50). Menurunnya tingkat korupsi akibat proses demokratisasi terjadi karena dalam tata kelola negara yang lebih demokratis, pengawasan dalam perumusan kebijakan menjadi lebih ketat, sehingga mengurangi potensi pemangku kebijakan untuk mengadopsi perilaku koruptif.
Peran media pada kolom 5 (0,004), marketisasi pada kolom 6 (0,016), tingkat penetrasi pendidikan pada kolom 7 (0,0055), dan tingkat gaji pegawai (ASN) pada kolom 8 (0,0087) juga menunjukkan signifikansi dan korelasi positif terhadap indeks kebersihan korupsi. Hasil regresi dari keempat variabel ini menunjukkan kesamaan dalam signifikansi dan arah hubungan karena keterhubungan setiap variabel terhadap tingkat pembangunan ekonomi suatu negara. Hasil tersebut berbeda dengan tingkat keterbukaan perdagangan (diukur melalui proporsi impor terhadap PDB) yang menunjukan korelasi positif tapi tidak signifikan pada kolom 2 (0,0160). Hal ini mungkin terjadi akibat bagaimana tingkat keterbukaan ekonomi tidak berimbas secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang holistik dan mendorong perubahan tata kelola pemerintahan menjadi lebih efisien.
Faktor Eksternal Pemerintahan dan Faktor Tingkat Pembangunan Ekonomi Menjadi Penentu Utama Terhadap Tingkat Korupsi
Faktor eksternal pemerintahan seperti tingkat demokrasi, peran media, proses marketisasi, dan tingkat penetrasi pendidikan secara empiris menjadi faktor signifikan dalam meningkatkan indeks kebersihan korupsi (berkorelasi negatif terhadap tingkat korupsi) pada suatu negara. Hal ini diasumsikan terjadi akibat berkurangnya intervensi pemerintah yang berdampak pada berkurangnya kesempatan para pemangku kebijakan untuk mengadakan rent-seeking dalam program-program pemerintah. Ditambah, semakin demokratis suatu negara juga dapat diartikan sebagai semakin efektifnya check and balances dalam tata kelola pemerintahan, yang berimbas pada pengawasan dan pelaksanaan program kebijakan yang lebih transparan dan akuntabel. Hal ini juga linear dengan tingkat penetrasi pendidikan, yaitu ketika terjadi peningkatan angka dan kualitas pendidikan, maka masyarakat akan beradaptasi terhadap pemikiran individu berpendidikan yang lebih akademis, empiris, dan mematuhi hukum.
Tingkat pembangunan ekonomi, yang dihitung melalui variabel PDB per kapita dan tingkat gaji pegawai negeri, juga memainkan peran penting dalam mengurangi tingkat korupsi. Hal ini terjadi akibat pengaruh dominan kemakmuran suatu negara (welfare state) terhadap peningkatan efisiensi sistem pemerintahan. Ditambah, semakin makmur suatu negara, kebutuhan masyarakat cenderung terpenuhi, yang kemudian berimbas pada berkurangnya tingkat korupsi. Selain itu, meningkatnya rerata gaji pegawai negeri secara empiris terbukti mendorong indeks kebersihan korupsi meningkat lebih tinggi. Sebagai contoh, Singapura merupakan negara yang mempunyai rerata gaji pegawai negara yang paling tinggi, yang berdampak pada indeks kebersihan korupsi yang tinggi, yaitu peringkat lima teratas secara internasional.
Review Pengulas: Who Guards The Guardians?
Selama satu dekade terakhir, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang dirilis oleh Transparency International Indonesia mengalami stagnasi dengan skor yang sama dalam selang waktu 10 tahun, yaitu 34 pada 2014 dan 34 pada 2023. Secara perhitungan, semakin mendekati angka 0, maka semakin banyak pula tingkat korupsi, begitu pun sebaliknya. Hal ini mengindikasikan proses pemberantasan korupsi yang cenderung stagnan, utamanya dengan meningkatnya kasus-kasus korupsi yang terdesentralisasi, dimulai dari level desa hingga pejabat kementerian.
Berdasarkan jurnal ini, peningkatan PDB per kapita secara empiris berkorelasi positif dan signifikan terhadap penurunan tingkat korupsi. Maka, jika kita melakukan perbandingan, selama periode tahun 2013-2022, terjadi peningkatan PDB per kapita Indonesia yang cukup signifikan, dari 38,87 juta pada 2013, mencapai 71 juta pada tahun 2022. Tanpa menghitung tingkat inflasi, adanya peningkatan PDB per kapita ini seharusnya berimbas terhadap berkurangnya tingkat korupsi, yang pada kenyataannya belum terjadi.
Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh tingkat inflasi, namun perlu dicatat, PDB per kapita saja memang tidak cukup menjadi variabel dalam menentukan perubahan tingkat korupsi. Namun, fakta tersebut dapat menjadi pendukung secara teoritis terhadap bagaimana Indonesia melihat variabel-variabel yang perlu menjadi prioritas dalam upaya penyelesaian problema korupsi. Jika dilihat, dalam upaya mengurangi tingkat korupsi, Pemerintah Indonesia perlu berfokus terhadap pengelolaan sistem dan tata kelola negara yang baik (good governance).
Indonesia sebagai negara demokrasi harus menjalankan amanat tersebut dengan cara sebagaimana disampaikan dalam Pancasila sila ke-4, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Penyusunan kebijakan yang transparan, pemberian ruang bagi pers, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, juga mengurangi tingkat intervensi pemerintah dalam tingkat tertentu dapat menjadi sarana pemerintah dalam mengurangi angka korupsi secara jangka panjang.
Comments