top of page
Athillah Ayu Istiqomah

LIFE AFTER DIVORCE: Dampak Kepemilikan Rumah terhadap Tingkat Kesejahteraan setelah Perceraian


Judul Artikel : What do housing wealth and tenure have to do with it? Changes in wellbeing of men and women after divorce using Australian panel data

Penulis : Stéfanie André, Caroline Dewilde, Ruud Muffels

Tahun Terbit : 2019

Jurnal : Social Science Research

Diulas oleh : Athillah Ayu Istiqomah


Perceraian dan Dampak Negatifnya pada Kesejahteraan Psikologis dan Finansial


Di Australia, angka perceraian terus menurun dari 2,7 per 1000 penduduk pada tahun 1980 menjadi 2,1 per 1000 penduduk pada tahun 2013. Usia rata-rata untuk bercerai adalah 45 tahun untuk laki-laki dan 42 tahun untuk perempuan. Dari perceraian tersebut, 48% mencakup anak-anak di bawah usia 18 tahun (AIFS, 2018).  


Sudah banyak penelitian yang menjelaskan bagaimana perceraian memberikan efek negatif pada kesejahteraan psikologis dan kesejahteraan finansial baik laki-laki maupun perempuan. Risiko perceraian juga dikorelasikan dengan meningkatnya ketimpangan pendapatan dan kekayaan. Terdapat tiga alasan utama yang dapat menjelaskan mengapa perceraian dikaitkan dengan penurunan kesejahteraan subjektif, yakni:

  1. Perceraian bisa menjadi pengalaman emosional yang sangat mengganggu.

  2. Perceraian menyebabkan hilangnya partner relationship.

  3. Perceraian menyebabkan menurunnya sumber daya yaitu hilangnya pendapatan dan peningkatan pengeluaran yang terkait dengan hilangnya skala ekonomi dan tidak tersedianya perumahan yang terjangkau. 

   (Kalmijn dan Monden, 2006;Uunk, 2004)


Kepemilikan Rumah vs Kesejahteraan Setelah Perceraian: Apakah Ini Berkorelasi?


Rumah dipandang sebagai tempat berlindung yang aman dan memberikan stabilitas bagi keluarga (Mallett, 2004). Kepemilikan sebuah rumah dapat berdampak pada tingkat kesejahteraan subjektif seseorang. Sebuah penelitian yang mencakup 16 negara menunjukkan bahwa seseorang yang menyewa rumah dengan periode waktu yang lama memiliki kesejahteraan subjektif yang lebih rendah dibandingkan seseorang yang memiliki rumah (Herber dan Mulder, 2016). Disamping itu, rumah dipandang sebagai tempat ekspresi diri (Gram-Hanssen dan Bech-Danielsen, 2004). 


Setelah perceraian, akan ada pihak yang “meninggalkan” rumah dan akan ada yang “menetap” di rumah perkawinan (rumah yang dimiliki dan ditempati ketika menikah). Bagi mereka yang pergi, fungsi psikologis, tempat tinggal, dan investasi dari rumah dalam kasus mobilitas tempat tinggal sebagian akan hilang. Disamping itu, mereka yang pergi harus mencari tempat tinggal lain yang dimana itu merupakan suatu beban dan membutuhkan biaya. Namun bagi mereka yang tetap tinggal, mereka kini harus membayar beban hipotek yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang tetap tinggal mungkin akan lebih tertekan secara finansial namun mereka tetap bisa mendapatkan manfaat psikologis dari rumah. Namun, apakah itu benar?


Konsep Moderating Effect dari Kepemilikan Rumah


Efek moderasi mengacu pada pengaruh suatu variabel terhadap hubungan antara dua variabel lainnya. Dalam kasus ini, peneliti ingin melihat bagaimana status kepemilikan rumah bisa mempengaruhi hubungan antara perceraian dan kesejahteraan sosial dari pihak yang bercerai. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, makna psikologis dari rumah, beban keuangan, masalah keterjangkauan serta kemungkinan untuk pindah merupakan suatu hal yang dapat mempengaruhi kesejahteraan. 


Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat dampak perceraian terhadap kesejahteraan dalam jangka pendek dan jangka panjang, tergantung pada: 1) apakah responden tetap tinggal atau keluar dari rumah perkawinan (rumah yang ditinggali ketika masih menikah); 2) apakah rumah perkawinan responden disewa atau dimiliki. Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti menciptakan 6 kategori (teoritis) – 'situasi perceraian-perumahan' – yang dapat dialami seseorang yang dibagi menjadi 2 kelompok utama:


Pertama,

Bagi mereka yang ketika menikah dan tinggal di rumah perkawinan milik sendiri.

Ketika bercerai:

1.1. Tetap tinggal di rumah perkawinan milik sendiri.

1.2. Pindah dari rumah perkawinan dan membeli rumah baru milik sendiri.

1.3. Pindah dari rumah milik sendiri ke rumah sewaan. 


Kedua,

Bagi mereka yang ketika menikah dan tinggal di rumah sewaan.

Ketika bercerai:

2.1. Tetap tinggal di rumah sewaan tersebut.

2.2. Pindah dari rumah sewaan ke rumah sewaan yang lain.

2.3. Pindah dari rumah sewaan ke rumah milik sendiri.


Bagaimana Penelitian Ini Dilakukan?


Data

Penelitian ini menggunakan Household, Income and Labor Dynamics in Australia Survey (HILDA) yakni sebuah survei panel rumah tangga yang representatif secara nasional. HILDA dilakukan setiap tahun sejak tahun 2001 dan mencakup data mengenai topik-topik seperti pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan kesejahteraan. Penelitian ini menggunakan keempat belas gelombang (2001–2014)


Sampel     

Penelitian ini berfokus pada kelompok yang paling berisiko terhadap perceraian yakni mereka yang berusia 25–55 tahun dalam panel gelombang 1 yang menikah/hidup bersama (atau yang menikah/hidup bersama selama periode observasi (gelombang 2–14)), yang kemudian diikuti seiring berjalannya waktu. Sampel yang digunakan hanya mencakup responden yang sudah menikah dan responden yang bercerai dan/atau berpasangan kembali selama periode panel tersebut.

Penelitian ini menyajikan hasil analisis untuk laki-laki dan perempuan secara terpisah. Berdasarkan Tabel 1., secara keseluruhan, sampel penelitian terdiri atas 41.242 person-years dengan 911 perceraian (2,2%) untuk perempuan dan 36.512 person-years dengan 832 perceraian (2,3%) untuk laki-laki.


Variabel  

Variabel dependen: 

3 indikator kesejahteraan subjektif (Diener dkk., 1999):

  1. Kepuasan hidup (evaluasi global terhadap kehidupan seseorang)

  2. Kepuasan finansial (kepuasan terhadap situasi keuangan pribadi)

  3. Kebahagiaan sebagai gabungan ukuran pengaruh positif dan negatif (misalnya kegembiraan, kecemasan,depresi, dll).


Ketiga indikator ini diukur dengan skala 0 (tidak bahagia/ tidak puas) hingga 10 (sangat bahagia/ sangat puas).


Variabel independen:

Peneliti mengkodekan “peristiwa perceraian” dengan membandingkan ID responden antara dua gelombang. Seorang responden bercerai bila ia berganti dari ID pasangan menjadi tanpa ID pasangan atau bila ia berganti ID pasangan di antara dua gelombang. Penelitian ini memasukkan perceraian dan hidup bersama (tapi tidak menikah). Penelitian ini juga mengontrol durasi pernikahan, waktu sejak perceraian (durasi perceraian) dan waktu sejak rujuk kembali (durasi kembali bersama). Kepemilikan rumah diukur sebagai pemilik rumah (digadaikan atau langsung) atau penyewa (swasta atau sosial). Kekayaan perumahan diukur sebagai nilai rumah dikurangi sisa hipotek. Untuk analisis kekayaan perumahan (hanya responden yang bercerai), kami menggunakan nilai perumahan pada tahun sebelum perceraian terjadi sebagai variabel time-invariant. Artinya kekayaan perumahan merupakan ciri yang tetap pada pasangan dan tidak dibagi - bagi antar pasangan. Kekayaan perumahan mengalami deflasi karena perubahan harga (tahun dasar 2010=0) (OECD, 2017) dan kami mengambil logaritma natural.


Penelitian ini juga mengontrol faktor demografis seperti usia dan jenis kelamin yang dilaporkan sendiri dengan (0) laki-laki dan (1) perempuan. Peneliti selanjutnya memasukkan jumlah anak. Pendapatan yang dapat dibelanjakan disetarakan dengan membaginya melalui akar kuadrat ukuran rumah tangga dan disesuaikan dengan inflasi menggunakan Indeks Harga Konsumen (OECD, 2017). Semua model dikontrol berdasarkan wilayah dan gelombang. Peneliti tidak menemukan dampak regional yang besar maupun dampak krisis keuangan.


Metode 

Penelitian ini menggunakan analisis regresi panel fixed effect linier untuk memperkirakan rata-rata perubahan kesejahteraan dalam diri seseorang yang terkait dengan perceraian pada laki-laki dan perempuan secara terpisah. Dengan demikian, peneliti membandingkan perubahan-perubahan dalam individu dan oleh karena itu dapat mengendalikan heterogenitas yang tidak teramati, yaitu karakteristik individu yang tetap. 

     

Ternyata, Laki-Laki Lebih Menderita Setelah Bercerai Dibandingkan Perempuan!

Tabel 3. menunjukkan hasil analisis regresi panel fixed effect yang berfokus pada pengaruh transisi dari status menikah ke bercerai (efek jangka pendek) dan waktu yang telah berlalu sejak perceraian (efek jangka panjang) terhadap perubahan kesejahteraan individu. Hasil regresi memperlihatkan pengaruh “peristiwa perceraian” terhadap kesejahteraan subjektif (kepuasan hidup, kepuasan finansial, dan kebahagiaan) bersifat negatif dan signifikan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Setelah mengontrol mobilitas permukiman dan status kepemilikan, perkiraan ini masih tetap konsisten. Dampak perceraian adalah (−0,27) bagi perempuan dan (−0,43) bagi laki-laki untuk kebahagiaan; (−0,37) untuk perempuan dan (−0,48) untuk laki-laki untuk kepuasan hidup; dan (−0,24) untuk perempuan dan (−0,29) untuk laki-laki untuk kepuasan finansial. Dari hasil juga dapat dilihat bahwa dampak perceraian tidak dapat dijelaskan oleh apakah orang yang bercerai tetap tinggal di rumah perkawinan atau tidak, juga tidak dapat dijelaskan oleh masa tinggal mereka saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi 'rumah' dalam rumah perkawinan tidak mampu menahan dampak negatif perceraian. 


“Laki-laki mengalami penurunan tingkat kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kepuasan finansial yang lebih besar dibandingkan perempuan akibat perceraian.”


Tetap Tinggal di Rumah Perkawinan Milik Sendiri Setelah Bercerai Tidak Sepenuhnya Berakhir Bahagia Bagi Perempuan

Selanjutnya peneliti ingin menganalisis perceraian terhadap kesejahteraan subjektif untuk situasi kepemilikan perceraian yang lebih rinci dengan menggunakan panel fixed effect.

Tabel 4. menunjukkan bahwa perempuan yang pindah ke rumah sewaan dari yang sebelumnya tinggal di rumah perkawinan milik sendiri relatif lebih bahagia dibandingkan perempuan yang tetap tinggal di rumah milik perkawinan setelah perceraian (−0,00 vs −0,63), sementara tidak ada perbedaan antara tetap tinggal di rumah milik perkawinan atau pindah dan membeli rumah milik sendiri (−0,54 vs. − 0,63). Bagi laki-laki, peneliti menemukan bahwa dampak perceraian terhadap kebahagiaan akibat berpindah dari rumah milik perkawinan ke rumah sewaan (−0,65) lebih negatif dibandingkan tinggal di rumah milik perkawinan (−0,53) atau pindah dan membeli rumah milik sendiri (−0,59). 


Selain itu, bagi mereka yang ketika menikah tinggal dirumah sewaan, peneliti menemukan bahwa perempuan memiliki kondisi yang lebih bahagia jika mereka tetap tinggal di rumah sewaan (0,02) dibandingkan ketika mereka pindah ke rumah sewaan lain (−0,22). Disisi lain, laki-laki tingkat kebahagiaan laki-laki akan lebih baik jika mereka tetap tinggal di rumah sewaan ataupun pindah ke rumah sewaan lain (−0.27, −0.26) dibandingkan dengan pindah dan membeli rumah milik sendiri (−0.42). 


Secara keseluruhan, hasil-hasil ini menunjukkan bahwa potensi dampak positif dari kepemilikan rumah perkawinan terhadap perasaan “stabil” bagi perempuan tampaknya tidak sebanding dengan beban keuangan yang harus ditanggung, yakni pembayaran hipotek yang lebih besar. Bagi laki-laki, penelitian ini menemukan bahwa pindah rumah memiliki dampak yang lebih negatif terhadap kebahagiaan dibandingkan tetap tinggal di rumah perkawinan milik sendiri.


Setelah Bercerai, Laki-Laki akan Memiliki “Kepuasan Hidup” yang Lebih Baik Jika Mereka Tetap Tinggal di Rumah Perkawinan Milik Sendiri. Sementara Perempuan sebaliknya!

Untuk kepuasan hidup, peneliti menemukan bahwa laki-laki merasa lebih buruk ketika meninggalkan rumah milik perkawinan (−0,76 dan − 0,96) dibandingkan jika mereka tetap tinggal di rumah perkawinan milik sendiri(−0,55). Akan tetapi, jika sebelumnya laki-laki tinggal di rumah sewaan dan kemudian meninggalkan rumah sewaan tersebut (−0,19), kondisi kepuasan finansial mereka tidak jauh lebih buruk dibandingkan jika mereka tetap tinggal di rumah sewaan (−0,02).


Bagi perempuan, peneliti menemukan bahwa pindah dari rumah milik ke rumah milik lain (−0,58) atau ke rumah sewaan (−0,47) lebih baik dalam hal kepuasaan hidup daripada tinggal di rumah perkawinan milik sendiri (−0,82). Disamping itu, jika sebelumnya perempuan tinggal di rumah sewaan maka tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kepuasan hidup antara tinggal di rumah sewaan atau pindah ke rumah sewaan lain.


Pindah dari Rumah Perkawinan Milik Sendiri ke Rumah Sewaan Memberikan Lebih Banyak Peluang bagi Perempuan untuk Menyesuaikan Biaya Perumahan

Dalam hal kepuasan finansial, penulis menemukan bahwa perempuan yang tetap tinggal atau pindah ke rumah milik sendiri (−0.57 dan −0.53) lebih buruk secara kepuasan finansial dibandingkan pindah rumah sewaan (−0.41). Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan pindah dari rumah perkawinan milik sendiri ke rumah sewaan memberikan perempuan lebih banyak peluang untuk menyesuaikan biaya perumahan mereka, dibandingkan dengan tetap tinggal di rumah pernikahan milik sendiri. 


Menarik Kesimpulan dari Sudut Pandang Penulis:


Kepemilikan rumah sebagai salah satu cara untuk membangun kekayaan perumahan diyakini semakin berperan penting dalam memberikan kesejahteraan kepada warga. Namun, kepemilikan rumah tidak selalu berfungsi sebagai “sarang telur” yang memberikan keamanan, akan tetapi itu juga bisa menjadi sumber kecemasan finansial. Kekhawatiran tersebut muncul baik dari perubahan makro-ekonomi dan dari kondisi yang harus dipenuhi rumah tangga untuk mendapatkan kepemilikan rumah yang “berkelanjutan” dalam hal keterjangkauan dan risiko pembayaran hipotek terkait dan dalam hal memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk perbaikan, pemeliharaan, pemeliharaan, dan risiko perjalanan hidup lainnya.


Secara keseluruhan, dari penelitian ini penulis menemukan bahwa perceraian memiliki dampak negatif yang lebih kuat terhadap kesejahteraan subjektif pemilik rumah dibandingkan penyewa rumah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hal ini memang menunjukkan bahwa rumah yang dimiliki dapat menjadi beban dan bukan jaring pengaman jika terjadi perceraian. Pindah dari rumah perkawinan milik sendiri ke rumah sewaan tidak terlalu merugikan kepuasan finansial dibandingkan tinggal di rumah milik baik bagi laki-laki maupun perempuan yang bercerai, sedangkan bagi perempuan yang pindah dari kepemilikan rumah setelah perceraian tidak terlalu merugikan kepuasan hidup. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya kemampuan penyewa untuk menyesuaikan biaya perumahan dengan tingkat pendapatannya setelah perceraian. Namun bagi laki-laki, tinggal di rumah yang dihuni oleh pemilik mempunyai dampak negatif yang lebih kecil terhadap kepuasan hidup dibandingkan pindah ke luar rumah. Saat menguji secara tentatif berbagai fungsi perumahan (tempat tinggal, rumah, investasi), peneliti menemukan bahwa fungsi “rumah” dan fungsi investasi dari perumahan yang ditempati oleh pemilik lebih kuat bagi laki-laki setelah perceraian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa status kepemilikan dan jenis rumah yang dimiliki dapat memediasi hubungan antara perceraian terhadap tingkat kesejahteraan laki-laki dan perempuan.


4 views0 comments

Σχόλια

Βαθμολογήθηκε με 0 από 5 αστέρια.
Δεν υπάρχουν ακόμη βαθμολογίες

Προσθέστε μια βαθμολογία
bottom of page