top of page
Athillah Ayu Istiqomah

Hi Chat GPT, give me a title for a paper about degree apathy and student use of AI for assignment writing


Judul Artikel : Hey ChatGPT, give me a title for a paper about degree apathy and student use of AI for assignment writing

Penulis : David Playfoot, Martyn Quigley, dan Andrew G. Thomas 

Tahun Terbit : 2023

Jurnal : Internet and Higher Education

Diulas oleh : Athillah Ayu Istiqomah


ChatGPT: Alat Bantu atau Ancaman bagi Kredibilitas Akademik?

Pada November 2022, OpenAI meluncurkan ChatGPT, yakni sebuah sistem AI generatif yang mampu menjawab pertanyaan dengan cara yang rinci dan menyerupai manusia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa mahasiswa dapat menggunakan ChatGPT untuk menulis esai atau tugas lain tanpa mudah terdeteksi (Cotton, Cotton, & Shipway, 2023; Dehouche, 2021). Beberapa laporan awal menunjukkan bahwa esai atau jawaban ujian yang dihasilkan menggunakan ChatGPT dapat cukup berkualitas untuk lulus tugas universitas (Choi, Hickman, Monahan, & Schwarcz, 2023; Malinka, Peresini, Firc, Hujnak, & Janus, 2023). Hal ini menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan tinggi. Menurut Rudolph, Tan, dan Tan (2023), salah satu kekhawatiran utama pendidik adalah kemungkinan bahwa ChatGPT akan membuat esai tidak lagi relevan sebagai bentuk penilaian karena mahasiswa bisa "mengalihdayakan" penulisan kepada AI.


Namun disisi lain, ternyata mahasiswa memiliki beberapa pandangan skeptis dalam penggunaan AI. Mereka berpikir bahwa menggunakan alat tersebut tidak akan menghasilkan nilai yang lebih baik, dan ketergantungan pengerjaan tugas dengan AI dapat mengurangi keterampilan akademik mereka. Sejarah menunjukkan bahwa fakta bahwa mahasiswa bisa menyontek pada tugas tidak berarti mereka akan menyontek, dan tingkat keseringan fenomena ini pun terjadi secara bervariasi dalam periode waktu tertentu (Haney & Clarke, 2007; Whitley, 1998). Tingkat prevalensi menggambarkan seberapa umum atau sering suatu kondisi atau fenomena terjadi dalam populasi tertentu pada periode waktu tertentu.


Kepribadian dan Ketidakjujuran Akademik: Apakah Berhubungan?

Variasi kemungkinan menyontek di kalangan mahasiswa dapat dipengaruhi oleh ciri kepribadian. Studi menunjukkan bahwa mahasiswa dengan tingkat conscientious (kesadaran) dan kesepakatan yang tinggi cenderung lebih jujur secara akademik. Conscientious (kesadaran) adalah salah satu dari lima ciri kepribadian dalam model Big Five, yang menggambarkan sejauh mana seseorang memiliki sifat-sifat seperti disiplin diri, bertanggung jawab, terorganisir, dan teliti. Orang yang tinggi dalam conscientious (kesadaran) cenderung sangat berhati-hati, dapat diandalkan, dan cenderung mengikuti aturan serta merencanakan ke depan.


Di sisi lain, mereka yang memiliki ciri Triad Gelap seperti Machiavellianisme (cenderung memanipulasi orang lain) dan narsisme (sombong dan merasa berhak) lebih mungkin terlibat dalam ketidakjujuran akademik dan berkemungkinan besar menggunakan AI untuk menyontek


Ketidakjujuran Akademik Tidak Hanya Dipengaruhi oleh Kepribadian, tetapi juga oleh Pendekatan belajar, Motivasi, dan Kinerja Akademik

Peneliti mempertimbangkan prediktor terkait studi seperti self-efficacy keterampilan belajar, motivasi akademik, dan nilai. Self-efficacy keterampilan belajar mengacu pada keyakinan mahasiswa dalam kemampuan mereka menyelesaikan tugas akademik. Mahasiswa dengan self-efficacy tinggi cenderung tidak melakukan ketidakjujuran akademik karena mereka yakin dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Motivasi akademik juga berperan penting. Mahasiswa yang termotivasi untuk menguasai materi cenderung tidak menyontek, sementara yang termotivasi oleh nilai cenderung lebih mungkin melakukan plagiarisme. Mahasiswa yang tidak termotivasi sama sekali, atau apatis, lebih mungkin terlibat dalam ketidakjujuran akademik.


Terakhir, pencapaian akademik sebelumnya, yang diukur dengan nilai yang diperoleh di semester sebelumnya, juga dianggap sebagai prediktor ketidakjujuran akademik. Penelitian menunjukkan hubungan negatif yang kuat antara pencapaian akademik dan kemungkinan ketidakjujuran akademik. Mahasiswa yang cenderung mendapatkan nilai baik akan lebih sedikit melakukan ketidakjujuran akademik karena mereka tidak merasa perlu melakukannya.


Sebuah Penelitian Dilakukan untuk Mengukur Risiko dan Motivasi Penggunaan AI dalam Ketidakjujuran Akademik

Penelitian ini mengukur kesediaan mahasiswa menggunakan ChatGPT atau alat AI lainnya untuk menyontek, serta faktor risiko yang mereka pertimbangkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan menggunakan AI untuk menyontek menurun seiring dengan meningkatnya risiko tertangkap dan beratnya hukuman. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah memberikan panduan bagi institusi pendidikan tinggi untuk mengurangi dampak negatif penggunaan AI dalam tugas akademik.


Bagaimana Penelitian Ini Dilakukan?

Sampel:

  • Seratus enam puluh mahasiswa sarjana direkrut dari [REDAsi]. 

  • Partisipan berusia antara 18 hingga 45 tahun (M = 21,48; SD = 4,10). 

  • Seratus dua puluh empat mahasiswa adalah perempuan (77,5%), 35 adalah laki-laki (21,9%) sementara 1 partisipan menjawab "lainnya" (0,6%). 

  • Sampel terdiri dari 40 mahasiswa tahun pertama (25%), 68 mahasiswa tahun kedua (42,5%) dan 52 mahasiswa tahun ketiga (32,5%). 

  • Ada 139 mahasiswa domestik (86,9%), sementara 21 partisipan adalah mahasiswa internasional (13,1%). 


Variabel:

1. Degree Apathy Scale (DAS)

Degree Apathy Scale (DAS) adalah skala yang berisi 8 item yang mengukur kurangnya minat, antusiasme, atau perhatian mahasiswa terhadap gelar mereka, tingkat keterlibatan mereka dalam kursus. Responden memberikan tanggapan pada skala likert 7 poin (1 = Sangat tidak setuju hingga 7 = Sangat setuju). Lima dari item dibalik skornya dan kemudian rata-rata dihitung. 

Tabel 1. Item Individu mengenai Degree Apathy Scale (DAS)


2. Big Five Inventory (BFI)

Big Five Inventory (BFI; John & Srivastava, 1999) adalah metode untuk mengukur 5 ciri kepribadian utama, yaitu:

  1. Conscientious (seberapa teliti, terorganisir, disiplin, dan bertanggung jawab seseorang).

  2. Ekstroversi (sejauh mana seseorang bersifat ramah, suka bergaul, dan energik).

  3. Agreeableness (seberapa kooperatif, hangat, dan mudah bergaul seseorang).

  4. Neurotisism (sejauh mana seseorang mengalami emosi negatif seperti kecemasan, kemarahan, atau depresi).

BFI terdiri dari 44 item yang mengukur masing-masing ciri kepribadian melalui serangkaian pernyataan yang dapat dijawab oleh responden menggunakan skala likert 5 poin (1 = Sangat tidak setuju hingga 5 = Sangat setuju). 


3. The Short Dark Triad (SD3)

The Short Dark Triad (SD3; Jones & Paulhus, 2014) adalah langkah untuk mengukur triad gelap dari ciri kepribadian: 

  1. Machiavellianisme (kecenderungan seseorang untuk memanipulasi orang lain).

  2. Narsisme (memiliki perasaan berlebihan tentang pentingnya diri sendiri).

  3. Psikopati (kurangnya empati, perasaan bersalah, dan penyesalan, serta perilaku impulsif dan antisosial).

SD3 terdiri dari 27 item. Responden dapat merespons menggunakan skala likert 5 poin (1 = Sangat tidak setuju hingga 5 = Sangat setuju). 


4. Study Skills Self-Efficacy (SSSES)  

Skala Self-Efficacy Keterampilan Belajar (SSSE; Silver et al., 2001) adalah langkah untuk mengukur keyakinan mahasiswa terhadap perilaku keterampilan belajar mereka. SSSE memiliki 32 item dan dapat digunakan sebagai alat tri-faktorial yang mengukur:

  1. Rutinitas belajar

  2. Pemikiran kritis berbasis teks

  3. Penggunaan Sumber Daya

Dalam studi ini peneliti menggunakan skor total. Partisipan ditanya "Seberapa percaya diri Anda dalam melakukan perilaku ini?" dan kemudian merespons item seperti "Memahami apa yang saya baca dalam buku teks", "Membaca secara kritis" dan "Mengambil tes yang meminta saya membandingkan berbagai konsep". Partisipan memberikan tanggapan pada skala likert 5 poin (1 = Sangat sedikit hingga 5 = Sangat banyak).


5. ChatGPT: Pengalaman dan Niat Masa Depan Mahasiswa 

Bagian dari kuesioner ini dirancang untuk mengukur pengalaman dan niat mahasiswa menggunakan ChatGPT atau alat penulisan AI lainnya. Mahasiswa diminta untuk merespons pertanyaan-pertanyaan berikut menggunakan opsi "Ya" atau "Tidak". Untuk dua pertanyaan terakhir, "Lebih baik tidak mengatakan" ditambahkan sebagai opsi tambahan.  

  1. Apakah Anda pernah mendengar tentang ChatGPT atau alat penulisan AI?  

  2. Apakah Anda akan menggunakan ChatGPT atau alat penulisan AI untuk membantu Anda menulis tugas universitas (misalnya, esai)?  

  3. Apakah Anda pernah menggunakan ChatGPT atau alat penulisan AI untuk membantu Anda menulis tugas universitas (misalnya, esai)?  


6. ChatGPT: Penggunaan yang Dimaksudkan berdasarkan Tingkat Risiko dan Hukuman 

Bagian terakhir dari kuesioner ini, partisipan ditanya seberapa mungkin mereka akan menggunakan ChatGPT atau alat penulisan AI untuk membantu mereka menulis tugas di bawah berbagai kondisi hukuman jika mereka tertangkap. Ada tujuh tingkatan hukuman, dimulai dari tidak ada hukuman, kemudian gagal dalam kelas tertentu hingga dikeluarkan dari universitas. Selanjutnya, mereka mengulangi tugas yang sama, hanya kali ini mereka diminta seberapa mungkin mereka akan menggunakan ChatGPT atau alat penulisan AI di bawah kondisi risiko yang berbeda. Ada tujuh kemungkinan "ketahuan" berkisar dari 0%, 50%, hingga 99%. Untuk pertanyaan risiko dan hukuman, partisipan menunjukkan kemungkinan menggunakan skala likert 5 poin dari  (1 = Tidak sama sekali hingga 5 = Sangat mungkin).


Prosedur:

Partisipan diminta untuk berpartisipasi dalam studi melalui email yang berisi tautan ke survei yang di-hosting secara online melalui Qualtrics.


Terdapat 3 pertanyaan utama yang akan dijawab dalam penelitian ini

Pertanyaan 1 : Sejauh mana partisipan a) mengetahui tentang ChatGPT atau alat AI serupa, b) bersedia menyalahgunakan AI dalam tugas akademik dan c) telah menyalahgunakan AI sebelumnya.

Pertanyaan 2 : Bagaimana karakteristik partisipan yang bersedia menggunakan atau sudah menggunakan alat AI dalam tugas akademik. Ini diperiksa menggunakan model regresi logistik. 

Pertanyaan 3 : Apakah peningkatan risiko atau keparahan hukuman untuk penyalahgunaan AI akan mengubah kemungkinan terlibat dalam bentuk pelanggaran akademik ini. Ini dianalisis menggunakan ANOVA berulang, di mana partisipan telah memberikan peringkat terpisah untuk kesediaan mereka menyalahgunakan AI di bawah berbagai tingkat risiko hipotesis.


Penelitian ini menemukan bahwa lebih dari setelah mahasiswa mengetahui tentang Chat GPT namun 60% diantara mereka tidak akan menggunakannya untuk menulis tugas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 83.1% dari siswa telah mendengar tentang ChatGPT/AI. Akan tetapi, 31.9% dari siswa mengatakan mereka akan menggunakan ChatGPT/AI untuk membantu menulis tugas, sedangkan 1.9% menjawab "Prefer not to say", dan 66.2% mengatakan mereka tidak akan menggunakannya. Disamping itu, 15% siswa melaporkan telah menggunakan ChatGPT/AI untuk tugas, dengan 1.9% menjawab "Prefer not to say".


Degree Apathy Scale (DAS) dan Keterampilan Belajar Self Efficacy (SSES) menjadi faktor penting dalam menentukan apakah mahasiswa akan menggunakan AI untuk tugas mereka

Penelitian ini juga menemukan bahwa hanya variabel apatis terhadap gelar (DAS) yang signifikan meningkatkan kemungkinan siswa mau menggunakan Chat GPT/ AI. Dimana setiap peningkatan 1 SD dalam apati terhadap gelar meningkatkan kemungkinan siswa untuk menggunakan AI sebesar 117.3%. Namun, untuk model sudah menggunakan Chat GPT, variabel keterampilan belajar (SSES) yang signifikan mengurangi kemungkinan penggunaan Chat GPT/AI yakni sebesar 3.9% jika SSES naik 1 SD.

Tabel 3. Regresi Logistik yang Memprediksi Peserta yang akan Menggunakan dan telah Menggunakan Alat ChatGPT/AI untuk Membantu Tugas-Tugas Universitas


Akan tetapi, analisis tersebut belum cukup karena 17% dari mahasiswa tidak pernah mendengar tentang alat ChatGPT/AI sebelum penelitian dimulai, ada kemungkinan bahwa:

  1. Mereka tidak merasa cukup memahami alat tersebut untuk memutuskan apakah mereka ingin menggunakannya.

  2. Secara default, mereka belum pernah menggunakannya sebelumnya.

Faktor-faktor ini bisa mempengaruhi sensitivitas analisis. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk menjalankan model analisis lagi, hanya dengan memasukkan peserta yang sudah mengetahui tentang ChatGPT/AI sebelum penelitian dimulai.


Tidak ada perbedaan kualitatif antara model biasa dan lanjutan: Degree Apathy Scale (DAS) dan Keterampilan Belajar Self Efficacy (SSES) tetap menjadi faktor penting

Hasilnya menunjukkan bahwa model untuk penggunaan prospektif ("Would Use (K)" dalam Tabel 3) menjadi lebih baik dengan akurasi klasifikasi yang sedikit lebih tinggi (49%). Namun, tidak ada perbedaan kualitatif lainnya; setiap peningkatan 1 standar deviasi (SD) dalam apati terhadap gelar terkait dengan peningkatan 144.6% dalam kemungkinan bahwa seorang peserta melaporkan akan menggunakan alat AI. 


Peningkatan sederhana juga ditemukan dalam model "Have Used (K)" yang memprediksi penggunaan sebelumnya (sekarang mengklasifikasikan 23% kasus dengan benar), dengan setiap peningkatan 1 SD dalam SSSE terkait dengan penurunan 5% dalam kemungkinan telah menggunakan alat AI dalam tugas sebelumnya,


Jadi, intinya ketika analisis dilakukan hanya pada mereka yang sudah tahu tentang ChatGPT/AI sebelumnya, model prediksi menjadi lebih akurat. Apati terhadap gelar (DAS) dan keterampilan belajar (SSES) tetap menjadi faktor penting dalam menentukan apakah mahasiswa akan menggunakan AI untuk tugas mereka.


Terdapat hubungan bersifat kurvilinear antara Risiko dan Hukuman terhadap Penggunaan AI

Gambar 2. Kemungkinan Menggunakan ChatGPT/AI untuk Menulis Tugas sebagai Fungsi dari Risiko Ketahuan (kiri, oranye) dan Tingkat Hukuman Jika Ketahuan (kanan, hijau)


Penelitian ini menemukan bahwa risiko tertangkap dan tingkat hukuman berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan mahasiswa menggunakan AI untuk tugas akademik. Dengan menggunakan metode ANOVA berulang, ditemukan bahwa semakin tinggi risiko tertangkap, semakin kecil kemungkinan mahasiswa akan menggunakan AI. Hubungan ini bersifat kurvilinear, artinya penurunan kemungkinan penggunaan AI terjadi dengan cepat seiring peningkatan risiko, namun efek ini menunjukkan hasil yang semakin menurun ketika risiko mencapai lebih dari 75%.


Dalam hal hukuman, ditemukan bahwa semakin berat hukuman, semakin kecil kemungkinan mahasiswa menggunakan AI. Hubungan ini juga bersifat kurvilinear. Misalnya, jika tidak ada hukuman, kemungkinan penggunaan AI berada pada tingkat "sedikit" hingga "moderat". Kemungkinan ini menurun secara signifikan dengan setiap peningkatan hukuman hingga pada tingkat hukuman terberat, yaitu pengusiran dari universitas.


Diskusi dan Pandangan Pengulas Mengenai Penelitian Ini:

Berdasarkan paper yang diulas, penelitian ini menemukan bahwa apati terhadap gelar (DAS) adalah prediktor terkuat dari kemauan untuk menggunakan ChatGPT/AI untuk menulis tugas. Hal ini mengkonfirmasi fakta yang sering diketahui oleh akademisi, yaitu bahwa siswa yang menunjukkan sedikit minat pada mata kuliah yang mereka ambil dan hanya ingin "lolos" lebih cenderung tidak terlibat dan memiliki hasil akademik yang lebih buruk. Selain itu, tidak adanya efek signifikan dari faktor kepribadian mungkin disebabkan oleh penggunaan laporan diri, yang mungkin tidak sepenuhnya akurat karena beberapa peserta mungkin menyembunyikan perilaku curang mereka yang sebenarnya.


Temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan risiko tertangkap dan tingkat hukuman mengurangi kemungkinan siswa menggunakan AI untuk curang. Oleh karena itu, diperlukan metode sederhana yang dapat digunakan untuk mengurangi kecurangan akademik yang terkait dengan penggunaan AI. Metode penilaian alternatif dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi kecurangan yang melibatkan AI. Misalnya, presentasi lisan atau blog video, penerapan pengetahuan teoritis untuk memecahkan masalah dunia nyata, atau menggunakan AI sebagai bagian dari tugas yang harus dikritik, dapat menjadi alternatif untuk mengatasi kecurangan. Ini bertujuan agar pengerjaan tugas dapat dinilai sesuai kemampuan siswa, bukan keterampilan dari ChatGPT/AI yang digunakan.


Perlu dipertimbangkan bahwa penelitian ini dilakukan pada awal Maret 2023 ketika ChatGPT baru mulai dikenal secara luas dan sering dibahas dalam konteks kecurangan. Hal ini menambah keyakinan bahwa peserta menganggap penggunaan AI sebagai bentuk kecurangan akademik. Namun, di masa sekarang, telah terjadi sedikit pergeseran penggunaan ChatGPT/AI sebagai asisten yang mempermudah pengerjaan tugas, sementara ide dan kerangka pemikiran tetap berasal dari individu. Dengan demikian, ChatGPT tidak lagi sepenuhnya dinilai sebagai bentuk kecurangan, tetapi sebagai wadah untuk mengeksplorasi ide dan pemikiran saat mengerjakan tugas.


24 views0 comments

תגובות

דירוג של 0 מתוך 5 כוכבים
אין עדיין דירוגים

הוספת דירוג
bottom of page