top of page
Anggia Putri

Terbitnya Matahari Timur: Mimpi Menepis Dolar?


Pasang Surut Pantai Keuangan Asia

Bak lautan megah yang penuh misteri, perekonomian dunia terus menampilkan kondisi yang tak dapat ditebak. Bersamaan dengan perahunya, masing-masing negara terus berlayar mengarungi arus ekonomi yang dipengaruhi berbagai faktor eksternal, internal, beserta dinamika kebijakan yang terus berfluktuasi, dan Asia pun menjadi salah satunya. Benua “kuning” ini terus mempersembahkan pertumbuhan ekonomi yang ciamik, ditambah dengan kekuatan ekspor yang kian meningkat dan laris manis menjadi sasaran investor asing.


Di balik gemilangnya kiprah pertumbuhan negara-negara Asia di pasar global, mata uang—sang bibir pantai dari kawasan ini terus menerus diterjang gelombang menantang dengan kekuatan tak terduga yang secara riuh mengguncang stabilitas kurs Asia. Laksana badai dan angin kencang, kekuatan Dolar Amerika Serikat dan adanya tensi geopolitik mendorong Asia ke arah tidak terduga. Di sisi lain, ketidakpastian ekonomi memunculkan spekulasi bahwa dedolarisasi menjadi solusi tepat untuk meredam badai ini. Lantas, mengapa hal-hal tersebut mengguncang mata uang Asia? Apakah dedolarisasi menjadi satu-satunya solusi? Dan akankah terdapat secercah harapan untuk masa depan yang lebih stabil, atau justru menenggelamkan Asia kembali ke masa lalu kelam? Mari kita menyelam lebih dalam, menjelajahi tiap deburan ombak yang menjadi saksi bisu perjalanan ekonomi si juara mendatang.


Di Bawah Kepakan Sayap Sang Elang

Lagi-lagi, kertas hijau itu tersenyum tatkala mata uang lokal lain lesu. Ya, dolar Amerika Serikat selalu mengepakkan sayapnya dalam tatanan mata uang dan transaksi internasional. Dinamika ini tak henti-hentinya menjadi salah satu alasan vital mata uang Asia melemah. Dan tiap kali “the most expensive good afternoon” bergema di atas mimbar ruang konferensi The Fed, saat itulah ekonomi dunia bergejolak, tak terkecuali di negara-negara kawasan permata timur.


Sepanjang triwulan pertama tahun 2024, mayoritas mata uang milik negara-negara Asia mengalami tekanan signifikan terhadap dolar AS. Pelemahan ini terus berlanjut hingga memasuki triwulan kedua. Tercatat pada bulan April tahun ini, Won Korea mengalami pelemahan terdalam, yakni 1,25 persen; disusul peso Filipina yang melemah 0,59 persen; dan dolar Taiwan melemah 0,44 persen. Selanjutnya, diikuti dengan pelemahan dolar Singapura 0,20 persen; baht Thailand 0,15 persen; dan yuan China melemah 0,04 persen. Tak luput dari itu, rupiah Indonesia juga terdepresiasi hingga sekitar 2,6 persen (Kompas, 2024). Bahkan, ringgit Malaysia telah mendekati nilai terlemahnya semenjak krisis keuangan Asia pada tahun 1998. Dilansir dari Bloomberg, pada tahun ini semua kecuali satu dari 23 mata uang utama negara berkembang telah jatuh terhadap sang Elang. 


Tidak dapat dipungkiri, dolar yang terus menguat di tengah prognosis bahwa suku bunga AS akan tetap tinggi dalam jangka waktu lebih lama memberikan efek terhadap kemerosotan mata uang Asia ke titik terlemahnya dalam lebih dari 19 bulan sejak tahun 2022, seperti yang dapat dilihat di Gambar 1.

Gambar 1. Asia Dollar Index

Sumber: Bloomberg, 2024


Peristiwa ini tidak pernah luput dari “keistimewaan” ekonomi AS sebagai negara adidaya.  Meski mayoritas perekonomian dunia hanya mengalami pertumbuhan moderat, data lapangan kerja, penjualan ritel, hingga inflasi AS kerap melampaui perkiraan analis keuangan. Hal ini berdampak pada para pedagang yang mengurangi spekulasi akan penurunan suku bunga The Fed, sehingga membantu mendorong kenaikan greenback. Tentu hal ini tak lepas dari strategi “konsekuensi ganda”  AS untuk memangkas inflasi setempat. Berdasarkan data yang dicatat oleh Trading Economics, The Fed  terus memompa suku bunga pada level tertingginya selama 23 tahun terakhir, yakni mencapai 5,50 persen. 


Antara Ketidakpastian dan Ekspektasi Hari Esok

Paradoks melemahnya mata uang Asia sebagai dampak dari penguatan dolar AS tidak terhindarkan dari riak hebat guncangan geopolitik. Menurut Joseph Stiglitz, upaya menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi yang gencar digerakkan kerap kali mendorong tersendatnya pasokan, hingga pada akhirnya membuat pasokan barang berkurang. Laga geopolitik seperti invasi Rusia ke Ukraina, dibarengi dengan rangkaian ketegangan perdagangan AS dan China, serta pertikaian ekonomi lain juga menyebabkan terhambatnya pasokan pangan, migas, dan barang-barang dunia. 


Selain hal-hal tersebut, kekhawatiran eskalasi perang Israel-Hamas ikut serta menekan pergerakan mata uang Asia, tak terkecuali rupiah. Perang antara Hamas dan Israel yang tiada kunjung usai meningkatkan ketidakpastian akan kestabilan kondisi politik, ekonomi, dan sosial budaya. Konflik perang Israel-Hamas cenderung bereskalasi, area konflik semakin meluas sehingga masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar (Sulistyowati, 2023).


Kekhawatiran ini berbuntut pada permainan “aman” agen ekonomi pasar keuangan untuk berlabuh ke “the safe haven”, sang dolar AS. Ditemani dengan melemahnya mata uang, pelarian modal dari Asia tersebut ramai terjadi sepanjang tahun 2023 (Richardson, 2023). Perilaku untuk beralih ke perairan tenang dalam samudera pasar uang ini teruntai jelas pada teori ekspektasi rasional, bagaimana informasi terbaik yang terkoyak di pasar dan pesan dari masa lalu—tentang pilunya tahun 1997 silam mempengaruhi pengambilan jejak segelintir arsitek pasar. Ekspektasi para pelaku pasar ini tidak akan sepenuhnya benar, tapi diyakini akan membawa ke takdir yang lebih nyaman.


Dedolarisasi, Kompas Pelayaran Terbaik?

Hingga detik ini, mata uang dunia masih bertumpu terhadap keperkasaan dolar AS. Seruan “dedolarisasi” pun bergelora di tengah ketidakpastian global, memberikan secercah harapan bagi perekonomian Asia untuk keluar dari ketergantungan terhadap kekuatan negeri Paman Sam. Dedolarisasi merupakan reformasi yang terjadi akibat defisit neraca pembayaran yang terjadi di Amerika Serikat, berbuntut pada gejolak sensitif dolar AS manakala isu global mengapung di udara (Kemenkeu, 2023). Negeri Paman Sam juga tak luput dari fenomena keruntuhan institusi-institusi perbankan raksasanya yang melanda pada 2023 silam, menimbulkan getaran pada aktivitas transaksi dan investasi jangka panjang. 


Indonesia, beriringan dengan negara tiger dan tiger cub economies mematangkan kompas dedolarisasi mereka melalui pengadopsian local currency transaction (LCT) dan local currency settlement (LCS). Tak hanya itu, kelima anggota ASEAN selain Indonesia, yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura juga bergandengan tangan dalam memperluas konektivitas pembayaran regional (RPC). Inisiatif tersebut dirintis dengan meluncurkan kode respon cepat universal (QR) sebagai sistem pembayaran nirkontak untuk barang dan jasa antar negara sehingga mendorong inklusi keuangan yang lebih besar bagi konsumen di wilayah tersebut (Rachma et al., 2023).


Harapan bahwa denominasi dolar membawa kurs Asia menuju perairan tenang tak terlewatkan dari dampak positif peristiwa ini. Salah satunya adalah memperkuat ketahanan dari shock eksternal karena guncangan yang terjadi di negara yang dijangkar (anchor country) tidak akan ditransmisikan secara sepenuhnya ke negara yang menjangkar (Bappenas, 2023).


Teruntuk perekonomian Tanah Air, pembebasan dari hegemoni dolar akan melemahkan nilai tukarnya terhadap Rupiah, mengurangi pengaruhnya bagi perekonomian domestik, sekaligus mengurangi beban sektor keuangan negara (Faiz, 2023). 


Setidaknya, sama seperti pesepakbola yang tidak lelah demi menembus gawang lawan, perjuangan ini tak akan singkat. Pengimplementasian LCT dan LCS terus terhambat karena posisi dolar yang masih dominan sebagai raja mata uang dunia. Butuh periode panjang dalam adaptasi ini, sekaligus konsistensi, kebijakan, dan kerja sama kokoh—terutama di Asia.


Pesan dari Masa Lalu?

Dalam wawancaranya dengan Bloomberg, Chatib Basri pernah berkata, “setiap kali mata uang terdepresiasi, kita mengalami trauma ini karena pengalaman tahun 1998”. Bukan suatu rahasia bahwa pelemahan kurs Asia akibat “pukulan” dolar dan ketidakpastian global membawa kita pada ketakutan akan episode penuh lara dalam kisah finansial Asia. 


Namun, Asia terus belajar dari masa lalu dan menguatkan fundamental ekonomi mereka. Fondasi ekonomi Asia, dari neraca perdagangan sampai fleksibilitas kurs menjadi garda terdepan melawan gejolak finansial dunia, serta turut membangkitkan keyakinan akan perjalanan Asia sebagai lokomotif ekonomi global.


Maka perlu ada kerja keras dari negara-negara Asia untuk berdiri tegak menghadapi volatilitas yang tidak terelakkan lewat kebijakan. Layaknya pernyataan Chatib Basri, “biarkan nilai tukar bergerak mengikuti pasar, namun lakukan beberapa intervensi—langkah kehati-hatian dan beberapa manajemen aliran modal”.


Meski dedolarisasi tidak akan sepenuhnya menghapus peran dolar sebagai bintang dan membutuhkan lika-liku yang tak singkat, tetapi ini dapat membuka tabir pengurangan dominasi absolut greenback dan memberi kemandirian bagi mata uang Asia untuk menjaga diri dalam petualangan di keuangan global.


Sebab, sudah saatnya nahkoda keuangan lain ikut berlayar dalam samudra ini.


Diulas oleh: Anggia Putri T. | Ilmu Ekonomi 2023 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2024/2025


Referensi

37 views0 comments

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page