top of page
Ruiza Rhavenala Rahman

TAPERA: Cita-Cita yang Terlukis di Langit atau Beban yang Menghimpit?

Beribu tahun, beranak pinak, tanpa terlelap, kami bertanya di manakah tanah serta mata airnya? - Merdeka, Efek Rumah Kaca


Di manakah tanah serta mata airnya? Mimpi tentang rumah masih berpendar di langit malam, mana investasi untuk masa depan kita? Apa arti kemakmuran, jika hanya sebatas kata. Kebijakan demi kebijakan dilahirkan oleh para kuasa untuk mengurai simpul persoalan perumahan. Backlog adalah gambaran akumulasi tugas atau pekerjaan yang belum selesai atau belum diatasi dalam suatu proses atau sistem. Dalam konteks kepemilikan rumah, backlog menjelma menjadi bayang-bayang yang merayap dalam keheningan, menggerayangi kesejahteraan masyarakat Indonesia, menyelimuti harapan mereka dalam kabut ketidakpastian. Backlog kepemilikan rumah tercipta dari celah antara mereka yang menyediakan dan mereka yang mendambakan. Melimpahnya penawaran hunian rumah (oversupply housing), namun di sisi lain, langka rumah yang terjangkau bagi mereka yang memerlukan (undersupply affordable housing). Persoalan mendasar ini bagai dua sisi mata uang, menciptakan jurang yang tak terjembatani antara harapan dan kenyataan.


Tujuh puluh delapan tahun Indonesia merdeka, namun angka backlog perumahan nasional justru kian menggunung, mencapai 12,7 juta unit (LPEM FEB UI, 2024). Alih-alih menurun, masalah ini terus membayangi. Selain itu, jika kita berkaca pada hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia pada triwulan I 2024, menunjukan bahwa perkembangan harga properti residensial di pasar primer meningkat sebesar 1,89%  (y-o-y), indeks harga ini meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar 1,74% (y-o-y) (Bank Indonesia, 2024). 


Data tersebut mengindikasikan kenaikan jumlah backlog perumahan dan peningkatan persentase harga properti memberikan realita mimpi akan hunian layak masih tetap menjadi bayang-bayang harapan masyarakat bangsa. Lantas, dimana andil pemerintah dalam mewujudkan kestabilan harga pasar rumah yang terjangkau, dan memberikan hunian layak bagi mereka yang memerlukan? Hunian layak masih menjadi mimpi yang jauh dari genggaman. Tantangan besar ini mengintai di balik setiap langkah, menggema dalam setiap upaya mewujudkan cita-cita pembangunan nasional.


Riuh Kebijakan TAPERA

Dengan kuasa, mereka membuat kebijakan guna menyelesaikan persoalan ini. Lahir sebuah produk hukum dan kebijakan yang dinamakan tabungan perumahan rakyat (TAPERA). RUU ini dirancang untuk menghadirkan harapan baru, sebuah skema tabungan perumahan yang menyinari mimpi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah sendiri. Dengan mengusung semangat “gotong royong”, rancangan kebijakan ini iuran sebesar 3% disusun dengan skema cost-sharing: 2,5% dari pekerja dan 0,5% dari pemberi kerja, jika pekerja tersebut bekerja mandiri akan membayar seluruh iuran Tapera sebesar 3%. Berbeda dengan kebijakan pendahulunya, sasaran kebijakan ini diperluas yang sebelumnya hanya menyasar para pegawai negeri sipil (PNS), kebijakan ini sektor swasta dan pekerja luar negeri yang bekerja di Indonesia turut andil dalam pembayaran Tapera. Setelah satu tahun menabung melalui iuran ini, pekerja dapat mengajukan kepemilikan rumah dengan cicilan ringan hingga tiga dekade. Kebijakan ini, diformulasikan untuk memberikan secercah harapan berupa janji akan masa depan yang lebih cerah, tempat di mana mimpi akan rumah dapat terwujud.


Namun, kebijakan tersebut membuat riuh di antara dinding harapan dan kenyataan, membawa janji akan rumah yang diinginkan dalam bayang-bayang lara. Penolakan banyak terjadi, dari kalangan pekerja dan pemilik usaha yang mewarnai ruang publik. Dari sisi tenaga kerja, program kebijakan ini memberikan tambahan potongan pada pendapatan mereka, mengingat para pekerja selama ini sudah menanggung banyak iuran lainnya. Total iuran pungutan pekerja menjadi bertambah, dan mencapai sekitar 11,5% lebih dari anggaran upah, hal ini tentu akan berimbas pada penurunan daya beli masyarakat (LPEM FEB UI, 2024). 


Porsi penduduk kelas menengah Indonesia di angka 20 persen dari total penduduk atau setara dengan 52 juta penduduk Indonesia berada pada kelas menengah, angka ini mengalami peningkatan luar biasa dalam dua dekade terakhir (World Bank, 2020). Tak melarat, namun jauh dari konglomerat, mereka menjalani hidup serba pas seperti jeans sekarang. Hal ini tercermin dari jumlah pendapatan bersih yang sedikit, akibat jumlah pengeluaran yang harus mereka tanggung cukup banyak, baik berupa iuran, kebutuhan pokok, dan kebutuhan lainnya. 

Rata-rata pengeluaran kelompok kelas menengah berkisar antara Rp 1,2 juta hingga Rp 6 juta, pengeluaran tersebut mendekati dari pendapatan mereka, kebijakan ini terasa seperti "mengais di padang gersang", menambah beban pada sektor formal dan informal yang sudah terhimpit. Skema ini malah menjadi beban tambahan bagi mereka yang bukan termasuk masyarakat berpenghasilan rendah, terutama kelas menengah yang selama ini terabaikan dalam berbagai skema kebijakan publik. Sementara itu, kualitas regulasi dan institusi masih belum mendukung dalam transformasi pelebaran pada sektor informal. Kelas menengah baik dalam sektor informal dan formal, sebagai certified complainer akan bersuara mengenai ketidaksiapan kualitas institusi yang "menggerogoti" harapan dan harta mereka.


Menyelesaikan Keterjangkauan Rumah?

Harapan akan rumah masa depan dan terselesaikannya backlog perumahan tampaknya banyak menghadapi rintangan. Rintangan ini mencakup kenaikan harga yang pasti akan terjadi, dampak dari penawaran rumah yang relatif tetap tak berubah. Seperti mimpi yang terhalang kabut tebal, impian memiliki rumah terasa semakin jauh dari jangkauan.


Kebutuhan perumahan masyarakat Indonesia tumbuh bagai deret ukur, sementara penawaran rumah meningkat layaknya deret hitung, hal ini tercermin dari kurva penawaran yang bersifat inelastis, sedangkan kurva permintaan bersifat elastis. Indonesia emas pada tahun 2045 akan di dominasi oleh tenaga kerja usia produktif, kemungkinan besar akan terjadi job-residence spatial mismatch akibat dari tenaga kerja yang relatif memilih tinggal di area yang terhubung dengan pusat kota, akibat upah yang diberikan lebih baik dari pada daerah suburban. Urbanisasi tenaga kerja ke kota tentunya akan menyebabkan peningkatan permintaan untuk rumah, secara kurva akan meningkatkan rata-rata harga rumah dan angka backlog perumahan.


Kenaikan harga properti, bisakah kita menyeimbanginya? Belum lagi bayangan inflasi yang terus menghantui, harga perumahan pun terus melambung, menorehkan jarak yang kian lebar antara harapan dan kenyataan. Permasalahan kian meruncing ketika fungsi TAPERA yang hanya menghimpun dana tak mampu memastikan ketersediaan rumah yang layak dengan pusat kota, ditambah dengan kondisi sekarang, industri perumahan diprivatisasi, harga perumahan melambung tinggi. Tercatat, meski kebijakan seperti Bapertarum-PNS telah hadir untuk menyelesaikan masalah perumahan, namun realitanya masih ada sekitar dua juta pegawai negeri sipil di Indonesia yang belum memiliki tempat tinggal mereka sendiri (CNBC, 2023). Kebijakan ini seakan menari di permukaan masalah, tanpa menyentuh akar permasalahan backlog perumahan. 


Selain itu, kebermanfaatan kebijakan TAPERA ini tidak bersifat universal. Manfaat TAPERA adalah memperoleh KPR rendah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kebijakan ini bersifat redistributif, mengalir dari penghasilan menengah dan tinggi ke penghasilan rendah. Seperti beban yang tak terduga, kebijakan ini dapat menghimpit kalangan kelas menengah jika mereka dipaksa untuk membayar iuran TAPERA, menambah beban pada pundak yang sudah lelah. Mereka (kelas menengah) hanya dapat menikmati dana dan imbal hasil iuran ketika kepesertaannya berakhir. Kebijakan ini terasa tumpang tindih antara layanan pemerintah lainnya. Program TAPERA yang bertujuan menyalurkan rumah terjangkau bagi masyarakat berpendapatan rendah semakin membingungkan masyarakat kelas menengah. Di satu sisi, ada program serupa, Jaminan Hari Tua (JHT), yang juga menawarkan KPR, menciptakan ambiguitas dalam kebijakan yang diterapkan, kebijakan ini justru menambah beban tambahan iuran para pekerja untuk kalangan non-berpenghasilan rendah.


Polemik Investasi Publik Terulang Kembali?

Bayang-bayang kelam kasus penyalahgunaan investasi publik seperti Asabri dan Jiwasraya menciptakan skeptisisme di kalangan publik, yang memandang Tapera tidak berbeda dengan Asabri dan Jiwasraya yang penuh masalah. Tercatat BPK menemukan bahwa BP Tapera memiliki tunggakan terhadap 125.690 ASN Pensiun dan Ahli Waris (Kompas.id, 2024). Hal ini ditengarai oleh sistem birokrasi, sistem birokrasi menjadi sorotan, apakah mereka siap menjalankan kebijakan dengan cakupan lebih luas, meliputi sektor non-formal? Pertanyaan ini menggantung di udara, sementara ketidakpastian membayangi. 


Jika akumulasi kejadian ini dan track record kasus korupsi menyebabkan masyarakat distrust terlebih dahulu dan menciptakan skeptisisme di kalangan publik. Distrust akan kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi peringatan, bagaimana kebijakan yang seharusnya diambil sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah backlog rumah. 


Dalam menjalankan kebijakan ini, perlu ada trust oleh masyarakat akan kebijakan publik. Kebijakan ini merupakan upaya redistributif dari kalangan non-kelas bawah. Kebijaksanaan para pemangku kepentingan sangat dinantikan untuk menjalankan amanah ini dengan penuh tanggung jawab. Transparansi menjadi landasan penting untuk memastikan kebijakan ini mencakup seluruh tenaga kerja, tidak hanya aparatur sipil negara (ASN), tetapi juga pegawai swasta dan pekerja lepas. Hal ini untuk menghindari terciptanya distrust terhadap kebijakan publik.


Tanam Paksa Menjadi Tabung Paksa, Berkaca Pada Filipina

Melihat secara objektif, program Tapera ini bisa kita katakan sebagai compulsory saving yang cukup baik untuk negara-negara berkembang yang memiliki masalah dalam pengelolaan keuangan, negara-negara berkembang relatif cenderung memiliki literasi finansial yang kurang dibandingkan negara maju. Bila kita merujuk pada Niebyl (1943), compulsory saving berguna untuk mencegah ketidakstabilan ekonomi, mengurangi tekanan inflasi, dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hal ini berimplikasi pada, negara memaksa individu untuk menyisihkan sebagian pendapatan mereka, program tabungan wajib dapat meningkatkan tingkat tabungan nasional. Penemuan ini linear dengan teori Solow-Swan, tingkat tabungan yang lebih tinggi dapat mengarah pada tingkat investasi yang lebih tinggi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan output dan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan tabungan ini bisa menjadi sumber dana yang stabil untuk investasi publik dan swasta. 


Negara Filipina, menjadi salah satu dari sekian negara lainnya yang menerapkan kebijakan serupa dengan Indonesia. Pag-IBIG Fund atau Home Development Mutual Fund (HDMF), adalah program tabungan nasional yang menyediakan solusi perumahan bagi warga Filipina. Program ini dirancang untuk membantu pekerja menabung dan meminjam uang untuk keperluan perumahan, dan tidak di limit melalui kelas dan limitasi rumah, hanya dibedakan melalui pembayaran menurut pendapatan peserta. Dengan kebijakan ini, mereka membuat sistem yang tidak membebankan kepada masyarakatnya, dan tidak restriktif kepada satu dan dua kalangan saja, yang membuat kebijakan yang dikeluarkan tidak berat sebelah. Tercatat penyaluran KPR Pag-IBIG Fund 92.84% rakyat membayar tepat waktu, dan tingkat kepuasan terhadap layanan ini mencapai 99,4% (Pag-IBIG Fund annual report, 2023)


Bagaimana Dengan Tapera Selanjutnya?

Menjadi pertanyaan kembali apakah kebijakan TAPERA benar-benar menjadi solusi efektif dalam mengatasi defisit perumahan dan seberapa cepat pemerintah dapat mengatasi masalah tersebut? Bagaimana pemerintah membangun trust kepada masyarakat Indonesia? job-residence spatial mismatch menjadi persoalan penting selain dari cara pemerintah menggalang dana untuk membantu warga mendapatkan hunian. Ketidaksiapan program TAPERA ini dirasa terlalu terburu-buru untuk direalisasikan, bagaimana tidak persoalan tunggakan yang ditemukan oleh BPK memberikan pertanda bahwa kualitas regulasi dan institusi perlu dibenahi terlebih dahulu. Rumah yang jadi bayang-bayang merayap dalam senyap, menciptakan kesejahteraan yang hanya berbentuk ilusi. Ini masalah kuasa, alibi-mu berharga, kalau masyarakat tak percaya lantas kau mau apa? 


Ruiza Rhavenala Rahman | Ilmu Ekonomi 2022 | Manager Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2024/2025


References
31 views0 comments

コメント

5つ星のうち0と評価されています。
まだ評価がありません

評価を追加
bottom of page