top of page
Mahira Alula

Eh Kecepetan Ga Si? : Sebuah Kisah Cinta Transisi Mobil Listrik


Joko, Aku Perlu Ngomong.

“Kenapa sayang?”, Kata Joko.

“Menurut Kamu, Kita Kecepetan Ga Si?”

“Maksud Kamu?”

Jadi, sebagai upaya mengurangi emisi karbon, pemerintah Indonesia gencar mengeluarkan regulasi untuk mendorong masyarakat beralih ke mobil listrik sebagai kendaraan ‘Ramah Lingkungan’.

Kamu, Joko (Presiden Indonesia 2014-2024), berharap dapat menghasilkan 2 juta mobil listrik dan 13 juta kendaraan motor di tahun 2030? 

Tidak semudah itu, Joko. Kebijakan insentif kendaraan listrik yang semakin diintensifkan malah justru dikritik oleh beberapa ekonom sebab kekhawatirannya dalam menyedot anggaran. Ditambah hipokrisi sumber daya yang belum cukup ramah lingkungan. Memangnya kita siap, Joko? Dengan kapabilitas transisi kendaraan listrik Indonesia yang belum cukup matang? (CNBC, 2024).

Kamu Mau Apa Sih?

Mau Bertahan Lama. Sebagai pasar otomotif terbesar di Asia Tenggara, transisi kendaraan listrik (EV) di Indonesia telah menjadi salah satu pilar ekonomi negara, menampung sekitar 4,4 juta tenaga kerja, dan berkontribusi signifikan kepada 4 persen dari PDB, jelas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. 

Databoks, Volume Penjualan Wholesale Mobil Listrik BEV di Indonesia per Bulan (Januari 2022-Juni 2024)


Berdasarkan data penjualan mobil listrik di Indonesia, terdapat fluktuasi hingga Juni 2024 yang mencapai 2.200 unit. Dengan adanya tren pameran otomotif seperti GIIAS 2024 yang timbul peluncuran model-model baru, permintaan konsumen naik sehingga 150% dibandingkan tahun lalu (Gaikindo, 2024). 


Biarpun, sudah waktunya ada kehijauan dalam sektor energi, meluncurkan Net Zero Emission (NZE). Indonesia menetapkan target penghapusan pembangkit listrik tenaga batu bara sebagai sumber energi nasional pada tahun 2030 dan penggunaan Energi Terbarukan sebesar 87% pada tahun 2060.


Indonesia Juga Sibuk. Sibuk dalam mewujudkan cita-cita menjadi negara maju di ajang Indonesia Emas 2045. Dengan mempercepat pertumbuhan ekonomi mencapai 6-7 persen per tahun, diperkirakan dapat menghemat energi sebesar 29,79 juta barel minyak (MBOE) dan penurunan emisi gas buang sebanyak 7,23 juta CO2 (Kompas, 2024).  


Terus Kita Ngapain Selama ini?

Terus Terang Kamu Tahu Hubungan Ini Mahal…

Diumumkan, semenjak 2 Agustus Harga BBM non-subsidi telah naik disebabkan oleh harga minyak dunia dan nilai tukar Rupiah yang melonjak. Pengumuman harga BBM pun ditunda karena masih dipantaunya penyesuaian harga jual dengan naiknya biaya produksi yang bersangkutan.  


“Tenang saja”, ucap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Kini pemerintah telah resmi memberikan bantuan subsidi untuk meningkatkan permintaan kendaraan listrik berbasis baterai (KBLBB), sejak Maret 2023. Dengan subsidi sebesar Rp 7 juta per unit untuk 200.000 motor listrik, 35.900 mobil listrik dan 138 bus listrik (MenPan, 2023).


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8 dan 9 Tahun 2024, pemerintah mendepankan insentif berupa pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 10% untuk pembelian mobil listrik, berlaku untuk mobil listrik yang dirakit dalam negeri maupun yang diimpor (CNBC, 2024). 


Sementara itu, yang Joko bangga-banggakan, kekayaan Indonesia dalam nikel, telah menciptakan peluang besar bagi bisnis di bidang energi terbarukan dan produksi kendaraan listrik. Ditunjuknya Indonesia (?) sebagai pusat pabrik nikel mengakibatkan nilai ekspor industri otomotif Indonesia mencapai IDR 70 triliun pada tahun 2022 (Maritim, 2023). 


Meskipun pemerintah gencar memberikan subsidi, minat masyarakat untuk membeli kendaraan listrik masih rendah dikarenakan kebijakan insentif yang muncul entah dari mana, dan ditambah keraguan masyarakat untuk berinvestasi dalam pembelian mobil baru dan mahal. Tak hanya itu, fasilitas pengisian mobil listrik (charging stations) pun masih sangat terbatas —terutama di luar Jabodetabek (INDEF, 2024).


Hasil survei Continuum Indef menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Jakarta, yakni 80,77%, tidak setuju dengan program subsidi kendaraan listrik. Responden berargumen bahwa kebijakan ini tidak adil dan berpotensi membebani keuangan negara (Kompas, 2022). Jadi Selama Ini Aku Ga Berlebihan Kan?


Salahku Apa?

Kamu Menghabiskan Terlalu Banyak.

Serupa dengan pandangan mantan Menteri ESDM, Darwin Zahedy, subsidi mobil listrik dinilai tidak tepat sasaran. Ia mengkritik bahwa subsidi mobil listrik lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas, sementara mayoritas masyarakat Indonesia termasuk dalam kelompok ekonomi bawah. Dapat dikatakan, jika kebijakan insentif itupun diterapkan, apa ada dampaknya terhadap masyarakat Indonesia yang tidak berkendara mobil? Jadi Semua Ini Sebenarnya Untuk Siapa…?


Terlebih tipisnya dompet Indonesia, subsidi pengurangan PPN untuk mobil listrik yang mencapai 10% telah dipandang sebagai beban. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mendorong permintaan konsumen, banyak yang berpendapat bahwa subsidi tersebut terlalu besar dan perlu ditinjau ulang, khawatir menjadi pemborosan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Kompas, 2022).


Jadi Kapan Kamu Tidak Berketergantungan? 

Kontribusi ekspor produk otomotif masih tergolong lebih rendah dibandingkan jumlah impornya, di mana hanya tercatat sebesar 5.96% atau 1.504 unit (Ekongo, 2023). Sementara impor produk otomotif menyumbang 18,2% dari keseluruhan impor kendaraan sejumlah 13.863 unit (KAIDA, 2024). Celah tersebut menyebabkan defisit perdagangan, dimana uang mengalir keluar negeri lebih banyak daripada uang masuk. Aduh Joko, Apa yang bisa dibanggakan jika tetap didikte oleh kekuatan global? Apalagi ujung-ujungnya tetap ketergantungan pada komponen luar negeri...


Kamu Ngebandingin Aku?

Oh, Jelas.

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Core, menekankan pentingnya pemantauan jangka panjang terhadap kebijakan insentif. Menurutnya, dari segi urgensi, insentif ini belum tentu se-mendesak bantuan saat pandemi yang merupakan ancaman darurat. Selain itu, dari segi alokasi anggaran, ia menilai insentif mobil listrik lebih menguntungkan orang kaya dibandingkan UMKM yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. 


Ekonom Senior, Faisal Basri memperingatkan potensi konflik antara kebijakan insentif kendaraan listrik dengan upaya pemerintah dalam mendorong penggunaan transportasi umum. Sebagai contoh, wacana pengurangan subsidi KRL dapat berdampak pada kenaikan tarif dan mengurangi minat masyarakat menggunakan transportasi publik. 


"Yang bikin kita miris, waktu yang bersamaan subsidi penumpang KRL akan dipotong 50%. PSO (public service obligation) untuk dua koma sekian triliun akan dipotong jadi satu koma sekian triliun," ungkapnya.


Faisal menekankan bahwa insentif kendaraan listrik, bagaimanapun tujuannya, pada akhirnya akan dinikmati oleh pemilik kendaraan pribadi. Beliau berpendapat bahwa untuk memperbaiki tata kelola transportasi di Indonesia, APBN seharusnya diprioritaskan untuk mendukung pengembangan transportasi umum yang lebih terjangkau dan menarik bagi masyarakat (CNBC, 2024)

Production Possibility Curve (PPC), Course SideKick, 2023. 12.6 Kompromi antara Output Ekonomi dan Perlindungan Lingkungan – Prinsip Ekonomi


Karena itu, Faisal mempertunjukkan sebuah trade-off dalam pemilihan kebijakan. Dilema antara memprioritaskan produksi kendaraan listrik, atau meningkatkan produksi kendaraan umum untuk mengurangi emisi karbon.


Titik produksi yang berada pada kurva Production Possibility Curve (PPC) menunjukkan sebuah trade-off alokasi sumber daya antara produksi dua kebijakan. Pergeseran kurva PPC ke luar menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi, yang berarti kapasitas produksi negara meningkat. Jika kebijakan pemerintah memprioritaskan subsidi optimal untuk kendaran listrik, hasilnya ditunjukkan pada titik T. Akan tetapi, jika pemerintah memilih subsidi untuk transportasi umum, maka dampak positifnya dapat dirasakan lebih luas dan efektif, seperti pada titik P dalam model.  


Di sisi lain, preferensi masyarakat dan permintaan terhadap jenis kendaraan menjadi salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi keputusan produksi. Sejauh ini, lebih banyak suara yang memilih pengembangan pada kendaraan umum ketimbang mobil listrik. (Kompas, 2022).


Aku Sibuk, Sibuk Berbisnis.

Oh Ternyata Selama Ini Joko Merayu Lelaki Lain?!…  

Secara personal CEO Tesla, Elon Musk, pun telah dirayu untuk berinvestasi. 

Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar dunia, bahkan berambisi menjadi pusat produksi kendaraan listrik. Ambisi ini tercermin dalam tiga tahun terakhir, di mana pemerintah telah menandatangani kesepakatan senilai sekitar 15 miliar dolar AS untuk produksi baterai dan kendaraan listrik (Jakarta Post, 2023). 


Memangnya Dia Mau Sama Kamu? Indonesia perlu belajar dari kesalahan masa lalu di sektor pertambangan timah yang telah meninggalkan bekas luka mendalam di Pulau Bangka, termasuk korban jiwa, pekerja anak, dan kerusakan lingkungan permanen. International Council Clean Transportation menyoroti masalah serius dalam sektor pertambangan nikel Indonesia. Masih banyak tambang yang beroperasi tanpa izin, menyebabkan deforestasi di kawasan lindung, pencemaran lingkungan, dan kerugian ekonomi bagi pekerja lokal. 


Meskipun Joko telah melarang ekspor nikel pada tahun 2020, namun Undang-Undang Cipta Kerja justru berpotensi melemahkan pengawasan lingkungan, membuka celah bagi proyek-proyek besar untuk menghindari persyaratan lingkungan yang ketat. Kendati demikian, pertanyaan mengenai perlindungan lingkungan dan hukum Indonesia membuat investor ragu, karena ingin menjaga reputasi perusahaan mereka. Memalukan ya, Joko. Mungkin memang saatnya pemerintah jujur dengan alasan dibalik kebijakan ini agar tidak terlihat seperti hanya kepentingan bisnis dan politik.


Kamu Pembohong, Joko!

Jadi Kamu Belum Berubah…? 

Kenyataannya, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara masih menjadi penyumbang utama dalam produksi listrik, dengan porsi sebesar 50,4% atau 31.827 megawatt. Sementara itu, pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU), dan listrik tenaga diesel (PLTD) secara bersama-sama menyumbang 87,4% atau 55.216 megawatt (CNBC, 2024).


Bagaimana nih, Joko—-pembangkit listrik tenaga batu bara masih menjadi tulang punggung sistem kelistrikan Indonesia. Dimana komitmen kamu untuk meningkatkan porsi energi baru terbarukan? (EBT).


Saat ini, pemerintah sedang uji coba teknik co-firing—mencampurkan biomassa sebesar 10% ke dalam bahan bakar batu bara—sebagai langkah untuk mengurangi ketergantungan pada batubara dan emisi. Kenyataannya metode ini justru membawa dampak negatif, karena membakar 1 juta ton biomassa di PLTU justru meningkatkan emisi sebesar 1.7 ton. 


Mengapa berlawanan dengan tujuan awal, Joko? Program co-firing di 52 lokasi PLTU, yang membutuhkan lahan untuk perkebunan energi seluas 2,33 juta hektar, tidak hanya berisiko bagi deforestasi, tetapi juga meningkatkan emisi hingga 26,48 juta ton CO2e per tahun (FWI, 2024).


Alih-alih menjadi solusi, co-firing justru memperburuk masalah lingkungan dan sosial. Ini bukanlah transisi energi yang sesungguhnya, melainkan pergeseran masalah dari satu tempat ke tempat lain. Dengan tetap bakar-membakar, berkurangnya dari mana? 


Terus Masa Depan Kita Gimana?

Jujur, Aku Belum Bisa Melihatnya…

Seiring dengan meningkatnya permintaan mobil listrik, produksi baterai untuk mobil listrik juga mengalami lonjakan, salah satunya pabrik baterai PT Hyundai LG Industry (HLI) yang baru diresmikan oleh Joko pada bulan Juli. Pembangkit listrik yang tetap menggunakan bahan bakar fosil seperti baterai mobil listrik, justru membuat limbah berbahaya yang mengancam kesehatan pekerja dan masyarakat sekitar (Tempo, 2024).


Penelitian menunjukkan bahwa jumlah baterai yang mencapai akhir masa pakai akan meningkat pesat menjadi 1,6 juta ton pada tahun 2050. Daur ulang baterai kendaraan listrik juga berpotensi menghasilkan air limbah, limbah B3 dan emisi. Sementara itu, baterai lithium pada mobil listrik terdiri dari puluhan komponen berbahaya (Kasubdit PPUKLHK, 2024).


Dengan baterai mobil listrik yang tidak bisa dikelola atau daur ulang, risiko kebakaran di tempat pembuangan sampah serta dampak lingkungan dari bahan kimia berbahaya dapat menjadi ancaman bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat (DetikNews, 2024) Karena itu, timbul eksternalitas negatif— dampak buruk yang diterima masyarakat akibat suatu aktivitas ekonomi.

Revisi Ekonomi Edexcel, Grafik Eksternalitas Negatif Sebab Produksi yang Berlebih, 2018


Pada diagram eksternalitas negatif, kurva penawaran menggambarkan MSC & MPC (biaya sosial marjinal/biaya pribadi marjinal), sedangkan kurva permintaan menggambarkan manfaat sosial bagi masyarakat dan perusahaan swasta, yang dilabel sebagai MSB/MPB (manfaat sosial marjinal/manfaat pribadi marjinal).


Kurva penawaran mewakili biaya bagi perusahaan dan masyarakat. Karena adanya eksternalitas negatif, MSC bergeser ke kiri, yang mengindikasikan adanya kelebihan kuantitas produksi dari kuantitas optimal. Karena perusahaan swasta bertindak demi kepentingan pribadi, mereka akan berproduksi pada tingkat optimum swasta (b), yang menghasilkan harga P1 dan kuantitas Q1.


Di sisi lain, tingkat optimum sosial berada pada titik c. Yang berarti, dari kuantitas Q1 hingga Qsop, tingkat MSC dalam memproduksi setiap unit tambahan, akan lebih tinggi daripada MSB. Akibatnya, terjadi welfare loss (kerugian kesejahteraan) bagi masyarakat sebesar (c-a-b)


Aku Bisa Berubah.

Aku Tahu Kamu Bisa…

Pro dan kontra dari perdebatan sebuah trade-off, pengamat transportasi dari Institusi Kebijakan Transportasi dan Pembangunan (ITDP) menyarankan pencampuran dari kedua trade-off usul Faisal Basri, dengan cara memberikan subsidi kendaraan listrik diprioritaskan untuk transportasi publik. Hal ini dikarenakan transportasi publik memiliki frekuensi penggunaan yang lebih tinggi dengan tujuan utama mengurangi polusi udara secara lebih efisien (CNN, 2023)


Alasannya, subsidi untuk kendaraan umum lebih mudah dikelola, dapat mendorong peningkatan kualitas layanan transportasi umum seperti perbaikan rute, jadwal, dan memperluas akses bagi masyarakat. Selain itu, hal ini juga dapat menjadi momentum untuk mendorong transisi kendaraan listrik perlahan-lahan. Solusi tersebut membuatnya memungkinkan untuk melanjutkan tujuan utama kita, kan…?


Dibawa Pelan Aja Ya.

Menjalani kebijakan ibaratnya seperti menjalani hubungan. 


Walaupun perubahan transisi Net Zero Emission terdengar sangat menggoda— sayangnya, masih belum ada istilah kebijakan yang sempurna. 

Karena sudah cukup mengetahui bahwa sehijau-hijaunya mobil listrik—-tidak ada istilah mobil yang sesungguhnya ‘ramah lingkungan’. Sebaiknya pemerintah dapat memulai target NZE, diawali oleh langkah-langkah yang kecil dengan dana yang cukup untuk memenuhi tindakan selanjutnya. 


Dengan adanya banyak perbandingan dan pilihan (kebijakan) lain diluar sana, seharusnya Joko dapat mengambil keputusan kebijakan insentif di halaman yang sama dengan ekonomi, lingkungan, dan sosial. 


Mungkin bisa kita pelajari dari kisah cinta Joko dan Transisi Ekonomi.

Jadi, bisakah kita dibawa pelan-pelan saja..?


Referensi

87 views0 comments

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page