top of page
Samuel Khairos Sitompul

Blue Collar: Peningkatan dan Pembaruan Kemampuan untuk Meraih Oportunitas dalam Perang Dagang


Blue collar, mungkin istilah ini terdengar asing bagi orang Indonesia. Berdasarkan artikel yang berjudul “What Is Blue Collar? Definition and Job Examples”, blue collar adalah istilah yang digunakan untuk pekerja yang melakukan pekerjaan kasar di luar kantor. Istilah blue collar sendiri muncul dari pakaian yang dipakai oleh pekerja tersebut yang berkerah biru. Hal ini juga digunakan untuk memisahkannya dengan pekerja kantoran yang mengenakan kemeja putih, sehingga disebut white collar. 


Di Indonesia pekerja blue collar sering diidentikkan dengan pekerja yang berpendidikan rendah dan memiliki status sosial yang rendah. Hal ini didasari dari pekerjaan kasar yang mereka lakukan dan gaji yang relatif rendah. Dilansir dari Badan Pusat Statistik Sumatera Barat (2024) rata-rata gaji Tenaga Usaha Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, Kehutanan, dan Perburuan serta Tenaga Produksi, Operasi Alat Angkutan, dan Pekerja Kasar berada di angka Rp 2.294.900,5, gaji ini dibawah rata-rata yang berada pada angka Rp.2.753.517. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pekerjaan blue collar memiliki gaji 16,66% lebih rendah dibanding rata-rata gaji pekerja di Sumatera Barat. 


Hal tersebut tentu saja merupakan suatu problematika yang harus diselesaikan, terutama karena sebagian besar pekerja di Indonesia bekerja pada sektor yang berhubungan dengan blue collar dan banyak diantaranya pada pekerjaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), terdapat 116.211.263 pekerja yang bekerja pada sektor yang berhubungan dengan blue collar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2023 angka ini mencakup 81,74% pekerja yang ada di Indonesia. Pekerja blue collar memiliki potensi pemecatan tertinggi, karena pekerjaanya sangat bergantung pada permintaan dan penawaran suatu barang yang diproduksi. 


Salah satu hal yang dapat memberi ancaman pada bidang ketenagakerjaan terutama pekerja blue collar adalah perang dagang yang ada. Perang dagang ada disaat satu negara memberikan suatu restriksi terhadap barang impor dari negara lain, restriksi tersebut dapat berupa pembatasan kuota impor, penetapan standar barang yang diimpor, dan adanya tarif impor. Negara yang menetapkan restriksi biasanya akan berasumsi bahwa restriksi tersebut akan meningkatkan pertumbuhan lapangan kerja lokal karena berkurangnya kompetisi dari produk impor, tetapi restriksi dalam perang dagang lebih banyak berpengaruh negatif pada pasar tenaga kerja. Perang dagang dapat berpengaruh negatif pada bidang ketenagakerjaan, karena dengan adanya adanya suatu restriksi, maka bahan baku impor yang dibutuhkan dalam memproduksi suatu barang jadi akan berkurang jumlahnya dan harganya naik akibat restriksi yang ada membuat biaya produksi naik. 


Hal tersebut akan mempengaruhi kurva Short-Run Aggregate supply (SRAS) yang bergerak ke kiri akibat harga naik. Titik ekuilibrium yang baru akan membentuk deflationary gap. Dampaknya adalah P atau price level meningkat, sementara Y atau PDB riil menurun atau terjadinya stagflation, sehingga tingkat pengangguran akan tinggi. Berbagai studi juga dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Bekkers and Schroeter (2020) yang menunjukkan bahwa perang dagang berdampak pada penurunan PDB global sebanyak 0,1% lewat peningkatan tarif langsung. 

Sumber: WallStreetMojo 


Dampak Terhadap Pekerja Blue Collar 

Bidang pekerjaan yang paling awal terkena dampak perang dagang adalah bidang pekerjaan blue collar, karena bidang pekerjaan blue collar terkait langsung dengan produksi suatu barang yang suplai bahan bakunya terganggu akibat adanya perang dagang. Akibat turunnya suplai bahan baku, maka perusahaan akan mengurangi biaya produksi lewat pengurangan biaya tenaga kerja langsung. Contohnya pada saat perang dagang AS-China, ketika presiden AS pada saat itu, Donald Trump, mengenakan kenaikan tarif impor bagi produk dari China, hal tersebut membuat naiknya pengangguran struktural pada pekerja blue collar di AS. Hal tersebut disebutkan oleh CEO dari Information Technology Industry Council (ITI), Dean Garfield (2018).


Peningkatan dan Pembaruan Kemampuan Pekerja Blue Collar Turunnya suplai dan naiknya bahan baku juga dapat membuat produsen memindahkan usahanya ke negara yang tidak terkena atau terdampak dari tarif maupun kebijakan proteksi. Pada saat perang dagang AS-China, India mendapat kenaikan inflow Foreign Direct Investment (FDI) sebanyak 19,98% pada periode 2019-2020 IBEF (2024). Hal ini dapat dilihat dari Apple yang mendiversifikasi dan meningkatkan kapasitas produksinya di India untuk mengurangi ketergantungan produksi di China, Cisco juga melakukan langkah serupa dengan memindahkan sebagian produksinya ke India. 


Langkah yang dilakukan banyak perusahaan besar ini selain karena India tidak banyak terdampak oleh perang dagang AS-China, langkah ini juga dilakukan karena India yang memiliki banyak pekerja blue collar yang kompeten dan memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Langkah ini dimulai India pada tahun 2015 dengan meluncurkan program Pradhan Mantri Kaushal Vikas Yojana (PMKVY). Program tersebut distandarisasi secara nasional pada berbagai sektor kemampuan, terutama teknologi secara gratis. Program ini membuat peningkatan dan pembaruan kemampuan para pekerja blue collar maupun pemuda yang akan bekerja menjadi pekerja blue collar. Dampak dari program ini dapat dilihat dari banyaknya perusahaan terkemuka di dunia, seperti Apple dan Cisco yang membuka pabrik di India, hal ini tentu saja akan menyerap tenaga kerja dan memungkinkan adanya ekspansi pada sektor baru di bidang ketenagakerjaan. 


Apa yang Dapat dicontoh dan Dilakukan Indonesia 

Indonesia sebenarnya sudah memiliki program yang mirip, yaitu program Kartu Prakerja. Namun, hingga saat ini program tersebut masih belum efektif dalam menciptakan kompetensi bagi para pekerja blue collar. Hal ini terjadi yang pertama karena tidak relevannya keterampilan yang disediakan dengan kebutuhan industri pada saat ini, selanjutnya adalah kurangnya kontrol kualitas pelatihan program Prakerja yang membuat banyak pendaftar tidak merasakan manfaat program tersebut, dan yang paling krusial adalah minimnya partisipasi manufaktur dalam program Prakerja baik dalam penyusunan bahan dan keterampilan untuk pelatihan maupun penyerapan pekerja atau calon pekerja yang mengikuti program tersebut. 

Berikut hal yang dapat dilakukan dan diperbaiki oleh Indonesia dari program yang ada: 

  1. Melakukan kontrol yang ketat terkait bahan pelatihan yang disediakan.

  2. Mengundang industri dalam konsultasi bahan pelatihan yang akan diberikan. 

  3. Memperbanyak balai pelatihan dalam melatih para pekerja maupun pekerja blue collar dalam melakukan praktek kerja langsung.

  4. Mensosialisasikan program lebih luas, terutama kepada pekerja blue collar sebagai upaya peningkatan kemampuan. 

  5. Bekerjasama dengan manufaktur dalam penyerapan tenaga kerja dari pendaftar program Prakerja. 


Program yang disusun berdasarkan kebutuhan industri akan menciptakan angkatan kerja yang siap kerja. Para pekerja blue collar yang berada pada industri yang rawan terkena dampak perang dagang akan memiliki kesiapan dalam berpindah kerja ke industri lain yang memiliki pertumbuhan yang tinggi. Dan dengan meningkatnya kemampuan dari tenaga kerja di Indonesia, maka akan memungkinkan datangnya investasi yang akan menyerap angkatan kerja di Indonesia dan meningkatkan PDB Indonesia. Kondisi ini juga akan mengantisipasi timbulnya pengangguran struktural di Indonesia. 


Dengan koordinasi dan kontrol yang baik antara pemerintah dengan manufaktur yang ada, maka tenaga kerja Indonesia akan siap menghadapi perang dagang. Dengan kesiapan dalam kemampuan pekerja,adanya bonus demografi menjadi keuntungan bagi bidang ketenagakerjaan Indonesia apabila bonus tersebut dimaksimalkan dan menjadi oportunitas bagi Indonesia dalam perang dagang. 


Referensi 

12 views0 comments

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page